Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEKNIK melukis tak bisa diajarkan dengan filsafat, dan pandangan pelukis tak bisa dibentuk lewat teori. Hanya den kerja keras, sembari merasakan kehidupan nyata, menjawab persoalan seharii orang belajar menjadi seniman. Semangat kerja seperti itu, sampai akhir hayatnya, Selasa siang pekan lalu, tetap digenggam oleh S. Sudjojono. Pelukis yang pada tahun 1937 bersama sejumlah pelukis mendirikan Persagi --Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia -- yang dalam sejarah Indonesia dicatat sebagai awal lahirnya seni rupa modern kita. Maka, kepada masyarakat Indonesia yang bernama Hindia-Belanda, diperkenalkanlah corak baru seni rupa. Bukan semacam lukisan pemandangan gunung dengan pohon-pohon hijau rindang, yang baginya hanya merupakan karya turistis. Tapi seni lukis yang tidak hanya menggambar gubuk yang tenang dan gunung yang kebiru-biruan, melainkan pabrik gula dan si tani yang kurus, mobil si kaya dan pantalon si pemuda. Sebab, inilah realitas kita di Indonesia. Itulah sebabnya Sudjojono diejek oleh guru melukisnya yang pertama, Pirngadi. Kata guru itu, murid satu ini bila melukis seperti cangkul sawah: serba kasar sapuannya, kotor warna-warnanya. Maka, ia lebih cocok dengan guru keduanya, seorang Jepang, Yazaki, yang lukisannya impresionistis. Di masa inilah lahir karya-karya empu anak tunggal seorang perawat ini. Di Depan Kelambu Terbuka, 1939, umpamanya. Lalu setahun kemudian muncul Cap Go Meh, satu reportase keramaian perayaan tahun baru Cina. Kebebasan berekpresi, kecermatan menangkap hal yang unik, dan keberanian menggambarkan semua yang dirasakan secara jujur menjelma menjadi goresan-goresan kasar tapi ekspresif, figur-figur yang norak tapi mengundang simpati. Suatu ekspresi polos tanpa pamrih, karena itu terasa akrab. Satu lagi, Seko, 1949, potret seorang gerilyawan, yang berbau karikatural. Inilah yang kemudian selalu menyertai sebagian besar karya Sudjojono: simpatinya terhadap kegombalan sikap, pikiran, kebiasaan kita, hingga dari lukisannya yang terasa bukanlah ejekan, tapi sekadar humor. Dan itulah kemudian yang menjadikan banyak orang merasa sayang, ketika pendiri Seniman Indonesia Muda (SIM) di zaman sesudah Revolusi itu, "menyeberang". Pada 1950, Sudjojono masuk Partai Komunis Indonesia. "Mana ada partai yang waktu itu dengan konsekuen antipenjajahan?" katanya suatu saat. Dan bila ia pun meninggalkan corak ekspresionistisnya, lalu melukis realistis, karena "bentuk-bentuk yang mirip yang tampak mata itulah yang dipahami rakyat banyak." Pada periode ini ditinggalkannya hal yang dipromosikannya secara menggebu-gebu di tahun 1940-an: lukisan sebagai jiwa tampak. Juga, keyakinannya selama itu, bahwa "seni harus tidak menuruti kaidah moral atau menjadi alat bagi partai ini atau itu". Tampaknya, Sudjojono, kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, 14 Desember 1913, menganut paham realisme sosialis. Hasilnya memang ada. Pada 1956 untuk sekitar satu atau dua tahun, ia diangkat menjadi anggota MPR mewakili PKI. Tapi itulah, pelukis yang bicaranya blak-blakan dengan nada berat, dan biasanya banyak menyisipkan kata-kata Jawa, memang pada dasarnya seorang seniman. Betapa ia mengaku meyakini realisme sosialis, toh, tak terjatuh pada lukisan propaganda. Bahkan Batara Lubis 58, pelukis yang waktu itu satu kubu dengan Sudjojono, menganggap, "Sudjojono itu punya kemampuan teknik macammacam." Maksudnya, kira-kira, gaya apa saja yang dituangkannya ke kanvas, tak mempengaruhi nilai karyanya. Pendapat itu mungkin terlalu lunak. Sebab, karya periode realistis Pak Djon, demikian banyak rekannya memanggilnya, betapa pun kehilangan daya cekamnya. Dan terjadilah itu, ketika seorang penyanyi bernama Rosalina Poppeck, berdarah Jerman, menggaet hati pelukis ini. Hingga menyebabkan perceraiannya dengan Mia Bustam, istri pertama. Partai, tentu saja, tak menyetujui tingkah ini -- sementara Sudjojono menganggap ini soal pribadi. Sebuah lukisan dari tahun 1959, melukiskan Rose Pandanwangi (nama Indonesia Rosalina) telentang memakai sarung, agaknya mencerminkan konflik batin pelukis ini. Pada lukisan ada sedikit tulisan berbunyi: "Lukisan ini merupakan suatu tjita baru dari pendjelajahanku. Rose banjak menolong." Tapi baru pada 1970-an, ia kembali menemukan vitalitasnya. Maka, lahirlah sejumlah karya yang karikatural, hangat, dan akrab terasa -- hal yang menjiwai Cap Go Meh-nya. Ketajaman melihat hal-hal yang "gombal tapi menimbulkan simpati" mulai lagi muncul. Jenis karya baru yang juga mulai muncul adalah yang bertemakan kitab Injil. Setelah menikah dengan Rose, Sudjojono memang memeluk Protestan. Dalam karya bertemakan Injil inilah, ia benar-benar mengabaikan bentuk, semata mengandalkan kekuatan sapuan kuas. Lukisannya jadinya mendekati semiabstrak. Dan, sesekali, lahir pula lukisan fantasi. Maksud saya, yang tak bertemakan dari dunia nyata, tapi dari angan-angan. Inilah Aku Cinta Padamu Tanah Airku -- sebuah karya mendekati surealistis: dua anak itu berpakaian dusun tapi berdiri di sebuah teras mirip istana, dan pemandangan di luarnya begitu fantastis. Hingga akhir hayatnya, pekan lalu itu, tiga gaya itulah yang kemudian silih berganti lahir di sebuah sanggar berukuran sekitar 12 X 8 meter -- merupakan bagian rumah Sudjojono di Jalan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tak tercatat, memang, adanya karya-karya sekuat karya sekitar tahun 1940. Dan mungkin ini sebabnya, generasi muda pelukis tak ada yang berkiblat pada Sudjojono. Pengaruh Sudjojono dalam sejarah seni rupa Indonesia lebih pada gagasan-gagasannya, pada gerakan yang dibuatnya (Persagi dan SIM itu), daripada dari kekuatan karyanya. Tapi sebagai orang yang membuka sejarah seni lukis modern kita, bila Sudjojono bukan satu-satunya, setidaknya namanya tak boleh tidak harus disebutkan. Bahkan, sebagai penulis seni rupa, pun Sudjojono boleh disebutkan sebagai pelopor. Tulisan-tulisannya tentang berbagai pameran, tentang ide-ide kesenilukisan dari akhir 1930-an dan 1940-an, dibukukannya dalam Seni Loekis, Kesenian dan Seniman, 1946. Bagaikan gaya bicaranya yang tajam, terus terang, begitu pula gaya tulisannya. Dari orang seperti dialah kemudian lahir sejumlah pelukis Indonesia ternama, Nashar, Zaini (almarhum), dan Trubus (almarhum), antara lain. Apa pun ideologi yang dianut tokoh ini, yang pertama-tama adalah ia seorang seniman, sampai saat-saat terakhir. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo