Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BALOK-BALOK batu marmer berwarna hijau disusun vertikal. Terbagi menjadi enam potongan yang ditumpuk, batu paling bawah dan atas serta bagian tengah dibentuk mulus pada semua sisi. Marmer lain dibuat berongga simetris sembilan kotak dan ditempeli material kasar. Sebongkah material resin bercorak mutiara dengan bentuk seperti sarang lebah seakan-akan tergencet oleh susunan batu yang menyerupai pilar setinggi hampir 4 meter itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konstruksi berjudul Oikya tersebut karya seniman patung Gabriel Aries Setiadi, 40 tahun, yang tengah menggelar pameran tunggal bertajuk “Poetical Urgency”. Bertempat di Galeri Lawangwangi Creative Space, Bandung, pameran patung yang disiapkan selama setahun itu berlangsung sejak 22 Juni hingga 29 Juli 2024. Pada kreasi terbarunya ini Gabriel melakukan pendekatan baru setelah vakum berkarya selama dua tahun pada 2016-2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pendekatan baru ini lebih banyak mengeksplorasi material dan teknik yang dekat dengan elemen estetis desain interior dan arsitektur,” kata Gabriel di sela pembukaan pameran, Sabtu, 22 Juni 2024.
Seniman lulusan S-1 dan S-2 Seni Murni Jurusan Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) itu juga menyukai arsitektur. Bentuk arsitektural yang dia lihat saat melakukan perjalanan ke berbagai tempat, juga dari Internet, dirangkum citranya dan direka ulang. Selain membuat karya seni, Gabriel mengerjakan proyek elemen estetis di studionya. Pengalaman itu serta material dan tekniknya ikut mempengaruhi gagasan untuk pembuatan karya patung Gabriel sekarang.
“Menariknya, dalam pendekatan ini, sering terjadi perubahan akibat ide dan proses. Misalnya batunya retak atau pecah, warnanya kurang cocok, sehingga harus diganti,” ujarnya.
Gabriel memadukan material batu, logam, dan resin. Misalnya karya berukuran cukup besar, berjudul Aikyata, yang memiliki panjang 3,2 meter, tinggi 1,8 meter, dan lebar 80 sentimeter. Marmer hijau yang dibentuk seperti kursi atau toilet duduk dibariskan dengan bongkahan resin berkepala batu kerucut dan sebuah bola emas. Berikutnya batu tegak seperti mimbar, lalu sebongkah marmer gempal yang sisinya diukir hingga membentuk terasering.
Bertumpuk dan berjajar menjadi tata komposisi yang menonjol pada kekaryaan patung Gabriel. Dia pun cenderung menyandingkan bentuk yang halus dengan permukaan kasar dan dimensi persegi dengan bulatan seperti bola atau oval. Selain dipasang berdiri di lantai atau ditopang meja, karya berjudul Siirsel dan Fileata dipajang menempel ke dinding dengan bentuk seperti puzzle yang belum tuntas. Soal urusan tekniknya, Gabriel menggunakan cara perakitan (assembling) untuk mengkomposisikan beragam material yang dipakai. Tujuannya adalah agar karyanya punya nilai estetis secara visual.
Selain itu, dalam pameran kali ini, Gabriel melepaskan semua karyanya dari balutan narasi. Cara ini dinilainya lebih nyaman dan bisa all-out ke teknik. “Tantangannya bagaimana material bertemu dengan teknik kemudian estetis,” ucapnya. Ketika dia menerjemahkan ide pada sketsa ke material yang cocok, terkadang hasilnya meleset. Situasi lain ketika terjadi retakan pada karya resin atau nilai keindahannya terasa berkurang, Gabriel harus cepat merespons dengan karya lain.
Kurator pameran Rizki A. Zaelani menuturkan, Gabriel menekuni praktik tradisi formalisme yang sebelumnya digeluti seniman patung, misalnya lewat pameran pada 1980-an. Namun, menurut dia, Gabriel menerapkan disiplin formalisme sambil melakukan ekspansi ke wilayah multimedium. “Seni yang menarasikan kemajuan itulah yang dikenal sebagai seni rupa abstrak,” katanya.
Rizki melihat kekaryaan trimatra Gabriel berupaya menciptakan hubungan material yang bersifat natural, seperti logam dan batu, dengan benda kultural dari resin. Pada patung-patung abstrak itu, menurut dia, bisa ditemukan logika keterkaitan bentuk yang disebut Gabriel sebagai bentuk-bentuk kuncian (joined forms). Seluruh urgensi tindakan pembuatan karyanya berawal dari sensasi dan komposisi tataran estetis. Karya patung buatan Gabriel dinilai Rizki sangat kuat dengan aspek formalisme. “Namun unsur formalisme itu sendiri tidak lagi berfungsi obyektif, melainkan sangat subyektif,” tuturnya.
Seorang pengunjung pameran, Nurdian Ichsan, mengatakan kekaryaan patung Gabriel banyak memakai ingatan tentang interior dan bangunan arsitek. Dia mencontohkan penggunaan batu marmer yang bentuknya diperlakukan sama seperti yang diingat orang akan wujud tiang, meja, atau benda yang masih bisa dikenali. “Dia mengambil obyek-obyek yang menarik, lalu digabung. Begitu cara bekerjanya,” ujar seniman keramik dan dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu dalam pembukaan pameran.
Metode pembuatan karya seperti itu disebut Nurdian berbeda dengan cara yang biasa dilakukan seniman patung, yang membentuk suatu bahan sesuai dengan ide karyanya. Menurut dia, patung karya Gabriel tidak berbentuk figur orang, melainkan mirip bangunan. Karena itu, Nurdian mempertanyakan sebutan abstrak karena aspek struktur bangunannya terasa kuat.
Aikyata karya Gabriel Aries dalam pameran Poetical Urgency di Lawangwangi Creative Space, Bandung, Jawa Barat, 26 Juni 2024. Tempo/Prima mulia
Adapun Gabriel menyatakan patungnya adalah monumen dengan makna yang mendalam. Karyanya merupakan rangkuman kontemplasi berbagai bentuk interaksi budaya yang membawa pecahan pemikiran dari tempat-tempat paling jauh di masa lampau dan kini. Menurut Rizki A. Zaelani, monumen dalam tradisi seni patung adalah istilah generik yang otomatis muncul bersama ekspresi seni patung. Secara konvensional, sebuah patung dikerjakan sebagai monumen yang menjadi tanda peringatan dan penghargaan atas sebuah kejadian, peristiwa, atau sosok penting tertentu.
Namun dalam perkembangan seni patung modern, khususnya melalui ekspresi patung abstrak, kata Rizki, pengertian monumen berkembang dan berubah. Monumen tidak lagi hanya bermakna untuk merayakan sesuatu atau memelihara ingatan, tapi juga menjelaskan kapasitas karya seni patung sebagai kekuatan ekspresi yang berwatak solid, mampu berdiri sendiri, dan memiliki karakter khas.
“Sebuah karya seni sebagai monumen tidak lagi membutuhkan penjelasan narasi yang berasal dari luar, selain kemunculan kekuatan narasi yang muncul dari dalam karya itu sendiri,” ucapnya.
Gabriel, yang juga menjadi dosen di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, beranjak meninggalkan praktik karya seninya dari mengukir batu untuk mengeksplorasi paduan materi baru. Dalam tiga tahun terakhir, pada 2022-2024, dia terlibat dalam pameran Art Jakarta Gardens. Sementara itu, pada 2018, Gabriel menggelar dua pameran tunggal dengan judul “Kontras Materi” di Galeri Orbital Dago, Bandung, dan “Sela Sawala” di CG Art Space, Jakarta. Pada tahun itu juga karya instalasinya dipesan untuk acara Festival Seni Pertunjukan Internasional di Salihara, Jakarta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Formalisme Patung tanpa Narasi"