Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO , Makassar:Ketika itu belum ada jam digital yang membedakan waktu. Masyarakat mengandalkan matahari sebagai penanda. Waktu berjalan alami, tidak berkejar-kejaran seperti sekarang. Saat itu belum ada ketergesa-gesaan, sehingga ada waktu untuk menari dengan penghayatan. Gerakan lambat bukan direkayasa atau dilambat-lambatkan. Tari Pakarena membawa para penarinya kembali ke masa lampau.
“Berbahagialah yang bisa menari Pakarena karena memiliki kebertubuhan lambat,” ujar Martinus Miroto, koreografer dan pengajar seni pertunjukan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, dalam workshop seni tari dalam rangkaian Hari Tari Sedunia di Fort Rotterdam, Kamis pekan lalu.
Menurut Miroto, tubuh penari seperti bank. Berisi sejarah kebertubuhan dalam konteks kebudayaan di masa lalu. Karena itu, dunia tari harus dilestarikan, karena menyimpan kebertubuhan bertahun-tahun yang lalu, yang ada di tubuh penari. Dia mencontohkan tari Pakarena dan tari-tarian Jawa. Tari tradisi yang gerakannya lambat ini sesuai dengan keadaan pada zaman itu.
Alumnus Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Yogyakarta ini mengatakan era digital sekarang pergerakannya cepat. Orang selalu tergesa-gesa. Namun para penari muda bisa masuk ke dalam dimensi waktu masa lampau. Anak yang hidup pada era digital sekarang perlu diajak masuk ke dalam dimensi waktu abad ke-13, saat tari Pakarena diciptakan.
“Karena kalau tidak, kita akan kehilangan sejarah,” kata pria kelahiran Sleman, Yogyakarta, 56 tahun lalu ini. Menurut dia, Pakarena penting untuk mempertahankan nilai-nilai waktu, ruang, dan tenaga abad ke-13.
Zaman digital juga berkaitan dengan teknologi. Hal ini, kata Miroto, mempengaruhi seni tari, terutama dalam hal pemanggungan saat ini. Seperti pada karya terakhir Miroto, yang menampilkan penari di atas panggung tapi sebenarnya hanya hologram. “Zaman digital seperti sekarang, manusia bisa disimulasikan, seperti ada tapi tiada.”
Miroto juga berbagi proses penciptaan tari. Soal penciptaan tari, yang pertama adalah gagasan. Setelah ada gagasan, diperlukan konsep naskah, proses, lalu produk. “Gagasan yang kuat akan membuat tubuh melakukan sesuatu tanpa paksaan.” Menurut dia, tari ada di seluruh dunia dan memungkinkan pertemuan dan penyatuan keberagaman.
Berikutnya, di dalam konsep ada tema. Tema ini berkaitan dengan hubungan antara kita dan dunia, berhubungan dengan aspek kemanusiaan. Misalnya aspek sosial. Konsep juga berisi bentuk-bentuk tari, seperti tari modern dan tari kontemporer.
Elemen tari, kata Miroto terdiri atas ruang, waktu, dan energi. Ruang ini tak terbatas hanya ruang gerak yang ada di sekeliling penari, karena ruang bisa dimanipulasi. Adapun waktu sendiri berkaitan dengan cepat dan lambat.
Selanjutnya, energi dalam konteks tari adalah tenaga yang diperlukan untuk menggerakkan tubuh. Bisa besar atau kecil, bergantung pada koreografinya. Semakin besar energi yang dikeluarkan oleh penari, makin bisa mempengaruhi penonton. “Ada saat gerakannya rileks dan tegang.”
Menurut Miroto, tari di Indonesia cukup mengikuti zaman, sesuai dengan perkembangan dunia. Contohnya pada 1970-an, ketika di Amerika Serikat muncul tari post modern, tari kontemporer di Indonesia juga sudah sangat maju.
Tari kontemporer di Indonesia, kata Miroto, masih berorientasi, terpengaruh, atau menggunakan materi gerak tari tradisi. “Tari tradisi adalah kekayaan bangsa dan identitas yang menjadi sumber penciptaan tari.” Berbeda dengan di Jepang yang tariannya sama sekali tidak berhubungan dengan tari tradisional mereka.
Pengajar Program Studi Seni Tari Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar, Nurlina Syahrir, mengatakan perkembangan tari di Indonesia tampak dari pergelaran kegiatan Hari Tari Sedunia yang mengangkat tema “Tari dalam Wajah Unity and Diversity”. Menurut Nurlina, yang juga ketua panitia, kegiatan ini ingin berpesan tentang keberagaman tradisi di Sulawesi Selatan yang terdiri atas empat etnis.
Menurut Nurlina, tari tradisi selalu mampu beradaptasi dengan zamannya. “Kita juga tidak bisa menahan tari tradisi tidak boleh disentuh apa pun. Karena bisa-bisa tari tradisi kita akan mati.”
Karena itu, semangat tari tradisi harus tetap dijaga, seperti dalam perayaan Hari Tari Sedunia pada 29 April. Perayaan diisi pertunjukan tari dari pagi hingga petang. Pertunjukan itu di antaranya tari Paduppa, Ganrang Bulo, tari Bali, tari kreasi kipas, tari kreasi, tari Doger, tari Padduppa Sayo, tari mancanegara, tari kreasi Indologo, tari Toraja Marendong, tari Sipulung, tari Kalegowa, tari Pepe-pepe’, dan Rampak Gendang.
Kegiatan ini melibatkan guru-guru dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan yang membawakan tari tradisional. Adapun mahasiswa menghadirkan karya-karya kontemporer. Sejumlah komunitas dan sanggar seni juga tampil menarikan karyanya.
Perayaan ini dilaksanakan oleh alumnus Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Makassar—sekarang bernama SMK Negeri 1 Somba Opu. Bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Program Studi Seni Tari UNM, acara ini didukung oleh Museum Kota Makassar, Benteng Rotterdam, dan Yayasan Sulapa Appa.
REZKI ALVIONITASARI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini