Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bandung - Perupa Jeihan Sukmantoro, 77 tahun, tak tegas bersikap dan mendua soal pemalsuan lukisan. Ia senang andai pemalsu itu orang miskin. Namun dia bersikap sebaliknya kepada orang kaya.
"Kalau orang kaya memalsu (lukisan), itu masuk neraka, karena itu kejahatan," katanya kepada Tempo di studionya, Jalan Padasuka, Bandung.
Jeihan mengaku tak risau dengan para pembeli lukisan palsu. Menurut dia, mereka tahu lukisan yang dibelinya palsu karena suka gambarnya atau dananya terbatas. "Konsumen yang sesungguhnya tahu lukisan palsu. Kolektor berat pasti juga punya konsultan," ucapnya.
Ia mengaku gundah setelah membaca laporan Tempo soal lukisan palsu beberapa waktu lalu. Jeihan merasa geram kepada kolektor atau orang kaya yang memalsukan karya lukis dengan motif mencari keuntungan besar. Ia menilai tindakan itu sebagai kejahatan.
Dia pun tahu, selama ini, ada lukisannya yang dipalsukan. “Sesuatu yang payu (laku) pasti dipalsu. Lukisan perempuan saya dipalsu, saya enggak marah,” ujarnya.
Ia tak gusar jika pemalsu lukisannya adalah orang miskin yang butuh uang untuk hidup sehari-hari. "Malah saya doakan supaya payu untuk bagi-bagi rejeki," tutur perupa kelahiran Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, 26 September 1938, tersebut.
Menurut dia, untuk membuktikan sebuah lukisan itu palsu atau tidak harus melalui pemeriksaan sinar-X. Dengan cara itu, akan diketahui tebal-tipisnya cat serta spontan atau pelan-pelan goresan kuas pelukisnya. "Hendra (Hendra Gunawan) tidak pernah ragu-ragu sabetan kuasnya. Kalau palsu, pelan-pelan, bakal ketahuan," katanya.
Saat ini Jeihan sedang menggelar pameran karya terbarunya hingga 25 Oktober mendatang. Pameran 50 Tahun Mata Hitam Jeihan ini untuk merayakan ide lukisan mata hitam yang menjadi ciri khasnya selama ini.
ANWAR SISWADI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini