Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ciputra dengan bangga memperlihatkan sebuah lukisan berukuran jumbo dalam acara perayaan 100 Tahun Hendra Gunawan, awal Agustus tahun lalu. Lukisan berjudul Diponegoro Terluka berukuran 2 x 5 meter itu menggambarkan sebuah perang kolosal. Puluhan tentara Belanda dan pribumi dengan kuda tunggangan melonjak, orang menghunus pedang, dan ada pula yang tertusuk tombak. Namun ada sosok penunggang kuda hitam berjubah biru kehijauan dengan kepala berserban, tapi wajahnya kosong. Seperti lukisan belum tuntas dan misterius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya lain yang sangat dibanggakan Pak Ci, panggilan akrab Ciputra, berjudul Arjuna Menyusui. Ia menyebut perjuangan untuk mendapatkan karya ini sangat panjang. Karya itu menampilkan tokoh wayang orang Arjuna yang tengah menyusui di antara para pemain wayang orang lainnya di belakang panggung. Di sana ada yang sibuk main judi, anak-anak yang terlelap tidur, Petruk yang becermin, dan Gatotkaca yang tengah menggendong anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pak Ci, bersama Rina Ciputra Sastrawinata, putri sulungnya, ikut terlibat dalam menempatkan karya-karya kebanggaannya tersebut di museumnya, Ciputra Artpreneur. Ciputra, kolektor terbesar karya almarhum Hendra, menggelar pameran "100 Tahun Hendra Gunawan: Prisoner of Hope". Dia memamerkan karya Hendra yang tak pernah diperlihatkan kepada publik.
Kekaguman Ciputra terhadap karya Hendra bukan hanya itu. Karakter lukisan Hendra pun dialihwahanakan dalam bentuk yang lebih besar, yakni patung-patung yang menghiasi area sekitar kediaman serta kompleks gedung perkantoran dan mal yang dibangunnya.
Kini Ciputra, 88 tahun, telah tiada. Pemimpin dan pendiri Ciputra Group itu meninggal di Singapura, kemarin dinihari waktu setempat. "Kami sangat kehilangan sosok ayah, kakek, dan pemimpin yang menjadi suri teladan bagi keluarga dan keluarga besar dari Grup Ciputra," kata Rina Ciputra Sastrawinata dalam keterangan tertulis, kemarin. Sang ayah meninggal dalam perawatan di Singapura akibat sakit yang dideritanya.
Hanafi, salah satu seniman yang pernah berpameran bersama dalam acara 100 Tahun Hendra, menilai Pak Ci adalah satu dari tidak banyak kolektor yang berani memulai mengoleksi karya seniman, terutama dari seniman era Hendra hingga seniman muda. "Beliau terpesona dengan karya Hendra. Tapi di era kontemporer Pak Ci juga membuka kesempatan dan mendorong seniman muda berkarya," ujar Hanafi kepada Tempo, kemarin.
Tak hanya sangat kagum terhadap karya Hendra, Ciputra juga menyukai karya seniman lain. Menurut pengamat seni, Amiruddin T.H. Siregar, Ciputra menyukai lukisan Affandi, Sudjojono, Sunaryo, Hanafi, Galam Zulkifli, dan lain-lain. Ia mengatakan Ciputra bukan sekadar kolektor seni rupa modern Indonesia. "Sepanjang hidupnya, dia punya dedikasi dan andil besar dalam membangun infrastruktur seni budaya di Tanah Air," kata dia.
Di kalangan seniman, Ciputra juga dikenal sebagai pemrakarsa Pasar Seni Ancol, yang menjadi wadah bagi para seniman berkarya dan menjual karya-karyanya. "Seniman harus diajak masuk ke dunia entrepreneur. Kalau dengan paradigma lama dan menganggap seni itu sakral, terpisah dari dunia usaha, hidup seniman makin celaka, digilas zaman," ujar Agus menirukan ucapan Ciputra.
Pasar Seni Ancol didirikan pada 1975 meniru Montmartre di Paris. Pasar Seni, kata Agus, adalah "percobaan" Ciputra dalam meng-entrepreneur-kan seniman. Pasar seni mempertemukan seniman dan publik dalam arena kreatif sekaligus transaksional.
Ciputra, menurut Agus, merumuskan entrepreneurship seniman dalam artpreneur pada 2000. Kemudian putrinya, Rina Ciputra, mewujudkan hal itu pada 2005 dengan Ciputra Artpreneur di dalam kompleks mal dan hotel. "Ini dibuat agar seniman tahu bahwa artpreneur akan membuahkan hal-hal besar: karya cipta, manajemen, dan finansial," kata Agus yang kembali menirukan ucapan Ciputra.
Adapun Maya Sudjojono mengenang Ciputra pernah melibatkan ayahnya, S. Sudjojono, sebagai penasihat dan penyelenggara pameran besar "Tiga Warna Seni Lukis Indonesia" di Pasar Seni Ancol. Pameran itu mempertemukan Sudjojono, Affandi, dan Basuki Abdullah pada 1985.
Bernama asli Tjie Tjin Hoan, Ciputra lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, 24 Agustus 1931. Insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung jurusan arsitektur ini merupakan pelopor asosiasi pengembang Real Estate Indonesia (REI). Ia telah membangun banyak proyek penting, di antaranya Taman Impian Jaya Ancol, Pondok Indah, Serpong, Bintaro, Ciputra World II, Ciputra Hanoi International City, Grand Phnom Penh International City di Kamboja, dan Grand Shenyang International City di Cina.
Ciputra Group memiliki 13 sektor usaha di bidang perumahan, gedung perkantoran, pusat belanja, hotel, apartemen, fasilitas rekreasi, pendidikan, kesehatan, agrikultura, telekomunikasi, pusat kesenian, media, dan asuransi. Ia juga salah seorang pendiri majalah Tempo bersama Goenawan Mohamad pada 1971. Ciputra berada di urutan ke-18 dari 20 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes pada 2019.
Ciputra, menurut Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, ialah "tokoh properti Indonesia yang telah menghasilkan sejumlah karya bagi dunia properti". Adapun Ridwan Kamil, arsitek yang kini menjabat Gubernur Jawa Barat, menyebut Ciputra sebagai teladan. "Beliau adalah sosok teladan buat dunia arsitektur, dunia real estate, yang membawa terobosan-terobosan yang luar biasa." M YUSUF MANURUNG | EKO WAHYUDI | MUHAMMAD HENDARTYO | AHMAD FIKRI | M JULNIS FIRMANSYAH | MI | DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo