Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADAMU TERLETAK QADAR Otobiografi H. Asnawi Mangku Alam Penerbit: CV Haji Mas Agung, Jakarta, 1989, 373 halaman OTOBIOGRAFI angkatan '45 sebagai "manusia tumbuh di perang" makin banyak bermunculan belakangan ini. Umumnya berkisah sekitar "sukses" pribadinya yang bergulir dari "zaman tak enak" ke "zaman enak". Menariknya, kebanyakan tulisan itu diterbitkan bukan sewaktu penulisnya sedang di puncak keemasan, melainkan ketika semuanya tinggal kenangan. Demikian pula halnya dengan kisah H. Asnawi Mangku Alam, mantan ubernur Sumatera Selatan ini. Perjalanan qadar Asnawi memangku jabatan gubernur Sum-Sel pada 1967 merupakan gambaran awal Orde Baru, ketika banyak perwira ABRI pulang kampung jadi gubernur. Jabatan ini diperolehnya ketika jabatan Gubernur Sum-Sel belum definitif. Ia dipilih sebagai calon dari Korps Sriwijaya Cabang Jakarta, setelah pertemuan di rumahnya di Jalan Surabaya 14, Jakarta. Setelah direstui KASAD, ia menjadi calon tunggal Angkatan Darat. Dalam pemilihan, ternyata ia kalah. Begitupun, nasib baik berpihak padanya, setelah Presiden menetapkannya jadi gubernur. "Akhirnya, kehendak Tuhan juga yang berlaku, dan rezeki elang tidak akan dapat pada belalang," ujarnya. Ia terpilih kembali untuk periode berikutnya. "Takdir" ini bersinar ketika ia "melobi" Amir Machmud di Jedah, ketika sama-sama naik haji, 1972. Jabatan ini berakhir 1978. Pada Januari 1981, ia diangkat sebagai dubes di Burma merangkap Nepal. Menarik untuk disimak, karier Asnawi Mangku Alam berlangsung melalui suatu liku-liku "pendekatan", hingga kemudian direstui. Jalan itu dilakukannya bukan saja ketika ingin jadi gubernur, tapi telah dicobanya sewaktu masih aktif di Direktorat Angkutan AD. Bahkan usaha serupa ditempuhnya ketika usai dari jabatan dubes. Kisah anak ke-4 dari 10 bersaudara ini tidaklah diceritakan dengan runtut seperti biografi pada umumnya. Rangkaian cerita yang dimulai dari perwira di Bagian Angkutan AD yang ingin "pulang kampung" jadi gubernur, lalu surut ke belakang dengan melompat-lompat, hingga tak bisa dihindarkan terjadi beberapa pengulangan. Sebagai biografi, buku ini tak memberikan kesan mendalam, karena nyaris seperti "laporan perjalanan." Begitupun, buku yang hampir separuhnya berisi kisah perang gerilya di Sum-Sel ini semakin menambah rujukan sejarah. Tentang Sumatera Selatan, khususnya. Muchsin Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo