Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Buku

Berita Tempo Plus

Republik Preman Indonesia

Analisis sekumpulan pengamat asing tentang situasi di Indonesia. Bisakah negara yang penuh dengan preman ini membaik di bawah pemerintahan Gus Dur dan Megawati?

21 November 1999 | 00.00 WIB

Republik Preman Indonesia
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines and Colonial Vietnam
Penyunting:Vicente L. Rafael (1999)
Program, Studies on Southeast Asia Series, Ithaca, New York, 1999
PREMAN biasanya kita kenal sebagai orang yang menguasai sebuah wilayah yang padat lalu-lintas uang, misalnya stasiun bus, pusat pertokoan, tempat parkir kendaraan, perjudian, atau pelacuran. Selain menguasai wilayah itu, mereka melindungi orang setempat, sambil memungut upeti, seakan-akan wilayah itu sebuah "negara" dalam negara dan preman adalah raja. Itulah salah satu pokok bahasan buku ini. Dua pokok lainnya yang lebih penting adalah tentang hubungan "negara" dan negara yang saling membutuhkan dan membantu. Malah, negara sebenarnya merupakan sebuah wilayah per-preman-an dalam skala besar, mirip seperti yang terjadi di kampung, stasiun bus, tempat parkir, atau lokalisasi pelacuran. Kekerasan diakrabi para preman. Selain piawai berkelahi dan suka memeras, ia harus menjaga wilayahnya dari serbuan preman wilayah lain dan menghadapi tantangan sosok preman baru yang tampil dari wilayah sendiri. Ia bisa bentrok dengan mitra kerjanya, biasanya pejabat atau cukong setempat. Dalam keadaan stabil, preman adalah mitra terbaik bagi pejabat ataupun pengusaha. Kerja sama antara mereka saling menguntungkan. Yang paling menderita dan dirugikan oleh kerja sama itu adalah rakyat kecil. Ini berlaku di tingkat kampung hingga negara atau dunia. Bab pengantar ditulis canggih oleh penyuntingnya, berisi uraian teoretis makro antarbangsa. Dari sepuluh bab sisanya, hanya tiga yang membahas Filipina dan Vietnam. Ironisnya, dua bab yang terbaik justru bukan tentang Indonesia. Yang satu ditulis oleh John Sidel tentang dua tokoh penjahat legendaris dari Filipina, sedangkan yang lain adalah sebuah kajian sejarah penjara kolonial Vietnam oleh Peter Zinoman. Buku ini pantas dikaji di Indonesia. Mayoritas penulis tentang Indonesia di buku ini datang dari Universitas Leiden, Amsterdam, dan Cornell, Amerika Serikat. Tidak ada satu pun penulis dari Indonesia, negara terbesar keempat di dunia dan salah satu yang terbesar dalam ke-preman-an. Karena buku ini ditulis oleh orang asing, diedarkan di luar Indonesia, untuk orang non-Indonesia, aneka keheranan berhamburan dalam pembahasan mereka. Bagi orang Indonesia yang dibesarkan di bawah rezim militeris Orde Baru, hal-hal itu amat biasa, misalnya soal berbaurnya preman, bandit, polisi, jaksa, dan pahlawan. Apalagi bagi yang mencermati kasus penembakan misterius (1983-1984), Tanjungpriok (1984), Marsinah (1993), penyerbuan PDI (1993-1996), pembunuhan Udin (1996), kerusuhan Mei 1998 dan teror terhadap Tim Relawan, atau penembakan Semanggi I dan II (1998-1999). Bukannya orang Indonesia tidak perlu belajar dari orang asing. Kepekaan kita dapat menjadi tumpul karena normalisasi kekerasan dan per-preman-an sehari-hari. Kita membutuhkan peneliti asing untuk menajamkannya kembali. Tapi penajaman itu tak selalu dapat diberikan pengamat asing sehingga debat yang terus-menerus tetap dibutuhkan. Dua ahli tentang Indonesia, Hendrik M.J. Maier dan James Siegel, menulis dengan mengecewakan dalam buku ini. Maier membahas penindasan terhadap Pramoedya Ananta Toer tapi nyaris tanpa memberikan penjelasan baru untuk publik Indonesia. Siegel membahas "kriminalitas" sebagai barang baru dalam sejarah Indonesia yang diciptakan Orde Baru. Siegel menyebut peran Majalah TEMPO dan harian Pos Kota dalam proses konstruksi "kriminalitas" itu, antara lain dengan membuka rubrik berjudul Kriminalitas. Mungkin karena terlalu "baru", sumbangan Siegel sulit saya terima dengan yakin. Yang terbaik di antara bab tentang Indonesia disusun bersama oleh Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till, tentang para jago di Kediri di akhir abad ke-19. Menurut keduanya, pemerintah kolonial ikut menciptakan kriminal dalam proses pembentukan negara, tapi kewalahan dengan hasilnya. Pemerintah tak berkutik menangkap para jagoan karena pejabat setempat ikut melindungi mereka dengan mengatakan penjahatnya tak dapat ditangkap atau tidak ada cukup bukti untuk menghukumnya. Bab ini mengingatkan nasib berbagai kasus skandal kontemporer: Bank Bali, Soeharto dan Ghalib, Udin, penculikan aktivis prodemokrasi, dan kekerasan di Aceh, Tim-Tim, atau Ambon. Pemerintahan Gus Dur-Mega dianggap banyak pihak terdiri atas orang baik-baik. Masalahnya: mungkinkah orang baik-baik bertahan dalam sebuah sistem yang hakikatnya bersifat ke-preman-an? Atau menjinakkan sistem itu menjadi lebih beradab tanpa sebuah perombakan besar-besaran? Ariel Heryanto

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus