Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Santai, memecah rasa datar santai, memecahkan rasa datar

Langen mandra wanara, lebih dikenal dengan langen wenaran dari yogyakarta tampil di tim. disebut wenaran (kera) karena teater-tari ini mengambil lakon epos ramayana, yang banyak menampilkan peran kera. (ter)

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLEH jadi karena SEA Games X, atau hujan yang turun sejak sore. Teater Arena, 25-27 September lalu, tak dipenuhi penonton. Padahal Langen, Mandra Wanara Yogyakarta ini jarang muncul dan termasuk tontonan yang unik. Untunglah, dari yang sedikit itu beberapa ternyata hanyut dalam tontonan, ikut melontarkan senggakan, menjadikan suasana santai dan akrab - suasana yang memang dituntut jenis tontonan ini agar berhasil. Langen Mandra Wanara yang kemudian lebih dikenal dengan Langen Wenaran atau bahkan Wenaran saja, lahir pada tahun 1895 di pendapa Yudonagaran, Yogyakarta, atas prakarsa KPH Yudonegoro III yang kemudian menjadi patih dalem Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan gelar Kanjeng Paneran Aryo Adipati Danurejo. Disebut wenaran (kera) karena lakon yang diambil selalu dari epos Ramayana, dengan sumber Serat Rama dan Lokapala Yasad ipuran, yang banyak menampilkan peran kera. Di Yogyakarta penampilan ceritera Ramayana dalam tari ini merupakan babak baru. Sebelumnya ceritera Mahabharata, Panji dan Menak jauh lebih disenangi, terutama di dalam keraton. Tapi wenaran kemudian berkembang pesa tidak hanya di kampung Yogya seperti Notoyudan, Kumendaman, Condronegaran dan Sosrowijayan tetapi juga hidup subur di daerah pedesaan Bantul dan Sleman. Kini, wenaran sudah jarang sekali dipertunjukkan. Hanya berkat kerja sama Dinas P dan K Daerah Istimewa Yogyakarta, sejumlah tokoh tua dan muda pendukung tontonan khas Yogya ini dapat pentas di TIM. Santai, Minum Kopi Subali Leno--lakon yang dipentaskan malam itu--menarik bukan saja kita diberi kesempatan menjenguk sebuah tontonan Mataraman tempo doeloe, tetapi penanganan Ben Suharto anak muda dari Akademi Seni Tari Indonesia, Yogya--memang cukup bersih. Sudah barang tentu ini dicapai berkat dukungan tokoh tua, antara lain Ki Danusupi (53 tahun)--kecuali sebagai penata naskah berhasil pula memerankan Subali dengan warna suara, sikap gerak dan ekspresi yang meyakinkan. Sugriwa -- adik Subali -- diperankan RB Gonjanganom yang meski sudah menginjak usia 60-an tahun, bekas kecekatan gerak serta cengkok tembang wenarannya masih cukup mantap. Di bagian pangrawit, RB Banjaransari -- sebuah nama yang tak asing bagi pendengar setia Studio RRI Nusantara II -- bertugas sebagai dalang Nyi Rio Larasati, pangrengga swara (pesinden), walaupun sudah lebih 70 tahun lengkbgan suaranya masih belum goyah. Konsep tempo di jaman doeloe dengan tempo masa sekarang -- lebih-lebih untuk Jakarta--agaknya memang berbeda. Tontonan ini pada mulanya memang diciptakan bagi masyarakat yang dapat bermewah-mewah dengan waktu. Dengan kata lain: musti dinikmati secara mat-matan, santai sambil minum kopi atau teh tubruk nasgitel (panas, manis dan kental). Ia cenderung ditata untuk telinga daripada untuk mata. Ben Suharto sebagai penata laku, bukan tak menyadari hal ini. Ia telah berusaha keras, namun hasilnya memang masih berkesan lamban -- setidaknya bagi penghuni ibu kota. Untung sekali setelah bagian depan yang meski rapi tapi terasa datar, adegan matinya Suhali di bagian akhir cukup membekas. Yang juga menarik adalah tampilnya penari-penari muda, yang ternyata berdampingan dengan tokoh-tokoh tua tak tenggelam baik vokal maupun gerak tarinya (ini mustahil dilakukan 5 tahun yang lalu). Sementara dari yang tua ada juga penyesuaian: menyadari fisik yang tak lagi sentosa mereka lebih menekankan pada olah-suara dan penghayatan peran. Peran dan tata-gerak Rama dan Lesmana (Ben Suharto dan Bambang Pujaswara keduanya dari Akademi Seni Tari Indonesia Yogya) benar-benar memikat. Gerakan keduanya sangat halus, mengalir tenang mirip dua tokoh kembar satu merupakan bayangan yang lain. Ditambah paduan warna kostum keduanya yang hanya hijau tua, nampak bersih dan pas--karena sederhana. Di bagian lain peran Anoman dan Anggodo yang belia (Maryono dan Sunardi, siswa-siswa Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Yogya) sempat memperlihatkan bakat-bakat yang dapat dikembangkan di masa depan. Sayang, anak-anak muda ini tak. mendapat kesempatan yang cukup untuk berokal. Sementara Rahwono (Djokosuseno) walaupun kurang greget dan gregel memiliki dasar volume suara dan gerak tari yang tak mengecewakan. Suara Kereta Api Tentu saja, kekurangan masih ada di sana-sini. Posisi menari berjongkok yang diprtahankan sepanjang lakon (dan yan merupakan ciri khas tontonan ini) ternyata membatasi pengolahan ruang terutama level atau tinggi rendah tatanan gerak. Memang, dalam beberapa gerakan dan dalam adegan perang ada sedikit kelonggaran bagi penari untuk berdiri. Namun itu saja belum memadai. Apalagi bloking selalu statis. Penggarapan level dan bloking tontonan ini rasanya memang masih bisa dikembangkan. Yang membantu memecah rasa-datar adalah senggakan khas wenaran yang lugu dan spontan, yang menggelitik penikmat justru karena lepas dari lakon. Misalnya: tiba-tiba ada yang menirukan suara kereta api "jes . . . jes . . . jes . . " Penyederhanaan kostum men.ang menguntungkan. Tidak dipakainya topeng memungkinkan penari leluasa bersuara. Tapi rias muka penari, terutama untuk penari-penari kera, terasa agak berlepotan. Mungkin karena tontonan ini dipentaskan di sebuah teater arena yang jarak antara penari dan penonton amat dekat. Rias yang hanya menguatkan garisgaris wajah akan lebih serasi, dan akan merangsang akting penari lebih mantap. Gerak tingkah peran Anggodo misalnya, toh cukup menampilkan ciri khas tarian kera, walau misalnya tanpa tata rias. Usaha mempersempit ruang pentas dengan meletakkan gamelan Slendro pcngiring tarian di atas panggung, sesuai dengan keperluan tontonan. Para penari yang duduk bersama para pemukul gamelan, di samping mempercepat keluar masuk mereka, juga menambah semarak pemandangan di arena. Dan itu sangat menolong pertunjukan yang sebetulnya lebih ditujukan bagi telinga ini. Sal Murgianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus