Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di aula Kolese Kanisius Jakarta, Sehat Sutardja meluncur ke masa silam pada suatu siang, Juni lalu. Dia berjumpa kembali dengan teman-temannya masa sekolah, kawan bermain bergelut—dan menyontek. Juga para bekas guru.
"Pendek kata, semua yang selalu saya rindukan," katanya dalam bahasa Indonesia agak terbata. Tiga dekade lebih hidup di Amerika Serikat membuat bahasa Indonesianya rada tumpul.
Sehat berangkat ke Amerika pada usia 18 tahun. Dia belajar ilmu komputer dan teknik listrik di University of California, Berkeley, dan lulus gemilang. Pada 1995, dia mendirikan Marvel Technology, perusahaan semikonduktor yang memproduksi chip, di Silicon Valley, Santa Clara, California.
Sehat hanya perlu satu dekade untuk menggegerkan "Lembah Silikon", kawasan termasyhur dan "rumah" berbagai korporasi teknologi kelas dunia. Dari bukan siapa-siapa, ia kini dikenal sebagai pelopor semikonduktor modern paling cemerlang, dan "ditakuti" lawan-lawannya.
Tapi, Rabu siang itu, pemimpin Marvell ini tiba-tiba hanya menjadi "Kak Sehat"—begitu murid-murid Kanisius memanggilnya—dan "si Sehat"—begitu para bekas guru Kolese menyebut anak didik mereka ini. Hal yang selalu ia rindukan, selain Kolese Kanisius, adalah rumah masa kanaknya di satu gang kecil di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Pada awal 1970-an, Sehat kecil gemar menghabiskan berjam-jam membongkar televisi dan radio, atau mengotak-atik busi mobil. Ibunya mengurut dada, setengah memekik, "Mau jadi apa kamu kalau sudah besar?" Sehat menjawab, "Mau jadi teknisi, Mama." Sang Mama berkeras. "Teknisi itu sama dengan tukang reparasi. Tidak, kamu jadi dokter!" ibunya menuturkan pertengkaran itu kepada Tempo, sembari tertawa.
Itu peristiwa 32 tahun silam.
DI aula Kanisius, siang itu, anak bertubuh cungkring, pemalu, penyendiri, dan tak punya teman—karena jarang ada anak sebaya yang mau diajak mengotak-atik elektronik—ini pulang kampung dengan kemenangan anak rantau: sukses, sejahtera, masyhur mendunia.
Dia ikut menyanyikan Mars Kanisius penuh semangat, kemudian didaulat berpidato. Dia berbicara dalam bahasa campur-campur, Inggris-Indonesia. Dua hal dia tekankan kepada para juniornya di Kanisius. Pertama, jangan ragu bercita-cita tinggi, karena selalu ada kemungkinan berhasil. Kedua, setiap penemuan baru di Marvell T dan industri semikonduktor selalu membawanya pada ingatan ini: "Di Kolese Kanisiuslah cinta saya kepada dunia elektronika dan ilmu pengetahuan menemukan landasan dasar yang kukuh."
Marvell Technology Group Ltd kini merupakan perusahaan semikonduktor fabless nomor tiga di dunia. Istilah fabless menunjukkan spesialisasi di bidang desain, produksi, dan penjualan chip serta perangkat keras teknologi. Industri ini bermula pada 1978 di Amerika. Tapi Sehat Sutardjalah—melalui Marvell—yang dikenal luas sebagai pelopor semikonduktor modern. Ia mendirikan perusahaan ini bersama abang kandungnya, Pantas Sutardja, dan istrinya, Weili Dai.
Dua sekandung itu, Sehat dan Pantas, bak saudara kembar saja. Keduanya alumnus Kolese Kanisius Jakarta dan University of California, Berkeley. Bidang yang mereka pelajari pun sama: teknik listrik dan ilmu komputer. Kakak-adik ini memimpikan visi besar teknologi masa depan, yakni membuat terobosan efisiensi energi dan inovasi teknologi yang membantu jutaan manusia. Keduanya mewujudkan angan-angan itu melalui Marvell Technology.
Dengan modal US$ 18 juta atau sekitar Rp 162 miliar, keduanya masuk industri semikonduktor tanpa nama, tanpa catatan prestasi. "Angka di atas mungkin terdengar besar, tapi jumlah itu hanya sepuluh persen dari investasi awal yang lazim dalam industri ini," kata Sehat. "Kami naif betul sehingga amat percaya diri," dia terbahak.
Awalnya, produk chip Marvell hanya dipandang sebelah mata. Sehat mati-matian bertahan. "Selama suatu problem tak menyimpang dari hukum fisika, pasti bisa dipecahkan," ujarnya. "Saya seratus persen yakin." Dia membenamkan diri dalam riset dan inovasi, nyaris tanpa istirahat. Hasilnya? Dalam waktu satu dekade, Marvell mencatat lompatan menakjubkan.
Pada 2004, Sehat mendapat penghargaan Entrepreneur of the Year dari perusahaan jasa profesional Ernst & Young. Dua tahun kemudian, Asosiasi Hukum Kekayaan Intelektual Silicon Valley menobatkannya sebagai Inventor of the Year. Organisasi itu mencatat antara lain, "Doktor Sutardja secara konsisten sukses mendorong inovasi dan mengembangkan teknologi dalam beragam sistem secara kreatif. Kontribusi teknik dan intelektualnya amat tinggi."
Terobosan desain dan visinya telah merevolusi banyak segmen industri, dari penyimpanan data, komputasi portabel, hingga telefoni. Dia meraih sedikitnya 260 paten pribadi. Anak Kebon Jeruk, Jakarta Barat, itu pun melejit ke jajaran teratas dunia semikonduktor, memimpin inovasi secara persisten. "Kompetisi di industri ini luar biasa ketat," dia menegaskan. "Bila ada yang meniru temuan Marvell, kami harus bersiap satu langkah di depan."
Karya Sehat bisa ditemukan dalam teknologi e-reader, konsol game, pemutar Blu-ray, televisi, dan telepon pintar—antara lain. Dari Silicon Valley, Marvell mengirimkan satu miliar chip dalam setahun ke berbagai belahan dunia. Riset pengembangan dan desainnya kini menjalar ke 15 negara—termasuk Israel, Italia, dan Jerman. "Kami ingin meluaskan Marvell ke Indonesia," kata Sehat, yang kini warga negara Amerika Serikat. "Tapi hambatan terbesarnya masih di infrastruktur."
Di lift kampus Berkeley, di suatu musim panas, Sehat berjumpa dengan Weili Dai. Pertemuan dengan nona Shanghai berambut panjang kemerahan dan ahli komputer itu berbuntut sehidup-semati. "Kami jatuh cinta, menikah, dan menjadi tim kerja yang hebat sampai sekarang," ujar Weili Dai kepada Tempo sembari tertawa.
Menurut Weili, Sehat "amat fokus". "Ketekunannya dalam riset dan kerja nyaris tak tertandingi." Di tahun-tahun pertama Marvell, "Kami praktis bekerja ’empat puluh delapan jam sehari’," ujar ibu dua anak itu. Pernikahan mereka dikaruniai sepasang anak lelaki. "Keduanya juga tergila-gila pada sains dan elektronika," kata Weili. Christopher Sutardja, 23 tahun, dan Nicholas Sutardja, 21 tahun, belajar teknik elektrik di kampus kedua orang tua mereka, University of California, Berkeley.
Pada 2007, majalah Forbes mengurutkan Sehat Sutardja di peringkat 891 dari 1.000 orang terkaya di dunia, dengan perolehan di atas US$ 1,6 miliar. Sehat dan Weili menyumbangkan US$ 20 juta untuk kampusnya di Berkeley. Mereka menggagas proyek "One Laptop per Child" yang berhasil menyumbangkan dua juta laptop bagi anak-anak di 31 negara.
Kekayaan itu tak banyak mengubah hidupnya. "Kami tetap tinggal di rumah yang sama, tanpa pembantu. Saya menyetir sendiri." Lalu kapan dia bersenang-senang? Sehat menjawab dengan cepat, "Kesenangan terbesar adalah menemukan inovasi teknologi yang mampu menghemat energi pada jutaan rumah tangga di dunia." Tercenung sesaat, dia menegaskan sekali lagi: "Ya, saya rasa itu kesenangan terbesar dalam hidup saya."
Hermien Y. Kleden, Sadika Hamid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo