Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INVESTASI LANGSUNG JEPANG DI KAWASAN ASEAN: PENGALAMAN INDONESIA Oleh: J. Panglaykim Penerbit: Andi Offset, Yogyakarta, dan Maruzen Asia, Singapura, 1984,108 halaman KEKUATAN perusahaan multinasional Jepang seperti terlihat pada 9 konglomerat sudah banyak diketahui. Karena mereka merupakan penggerak utama ekspansi ekonomi Jepang ke luar negeri. Mengingat modal Jepang di Indonesia, yang kebanyakan dimiliki 9 sogo sosha itu, merupakan jumlah terbesar di luar penanaman modal di sektor minyak, sudahkah kita memiliki pengetahuan mendalam tentang konglomerat Jepang tersebut? Kalau Anda sudah punya atau merencanakan usaha patungan dengan mereka, bagaimana Anda harus menghadapinya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang dicoba dijawab Panglaykim dalam buku ini. Pang, orang akademi yang telah banyak menghasilkan buku dan makalah tentang manajemen, dan sekarang menjabat direktur sebuah bank swasta di Jakarta, mungkin orang yang tepat untuk menjawab bisnis dengan Jepang yang selalu aktual ini. Tapi pembaca, yang menginginkan jawaban dalam buku ini, mungkin sedikit kecewa, karena Pang lebih banyak melemparkan isu - yang mungkin akan menarik dan relevan diteliti pihak laim. Tentang sogo sosha, Pang mengulangi hal yang sudah lama diketahui: organisasi yang ketat terintegrasi, misi nasional, loyalitas staf, dan beberapa ciri khas Jepang. Tapi, perlukah di sini diciptakan semacam Indonesia Inc. untuk menghadapi mereka? Sejauh mana orgamsasi semacam sogo sosha bisa diterapkan di sini? Sejauh mana interaksi manajer Indonesia dan Jepang, yang datang dari dua kultur berbeda, dalam satu usaha patungan bisa memperkaya teori manajemen? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya dibahas Pang secara sepintas. Di sela kegiatan sehari-hari, Pang kelihatan sempat mengamati perkembangan beberapa usaha patungan dengan Jepang. Terbukti dia bisa mengambil beberapa kesimpulan. Di antaranya, bahwa pola pemilikan sudah bergeser ke arah yang lebih menguntungkan partner lokal dibanding sepuluh tahun lalu. Dan partner lokal juga memperoleh akses sumber-sumber internasional lewat jaringan global yang dimiliki persahaan Jepang. Semua itu, sekalipun masih harus dibuktikan, menurut Pang, bisa membuka lebih banyak peluang untuk ekspor. Sebab, perusahaan Jepang datang ke sini bukan untuk mengekspor. Sekitar 80% dari mereka terjun ke bidang substitusi impor untuk pasaran dalam negeri, dan sisanya mengusahakan bidang ekstraktif. Mengapa? Riset yang dilakukan Profesor Yoshihara, misalnya, menemukan bahwa Indonesia merupakan negara paling tidak menarik untuk usaha ekspor dibanding negara Asia Tenggara lainnya. Upah buruh di sini memang rendah, tapi produktivitas mereka juga rendah dibanding buruh Taiwan dan Hong Kong. Ditambah dengan prasarana yang belum memadai dan birokrasi pemerintah, maka usaha ekspor di Indonesia dinilai perusahaan-perusahaan Jepang sebagai kurang menarik. Di pihak lain, pengamatan Pang juga tidak bisa dibantah. Di antaranya, bahwa industri Jepang telah meramaikan pasaran barang konsumsi di slni. Yang diuntungkan, tentu saja, konsumen. Mereka jadi punya banyak pilihan. Selain itu, Pang mengemukakan, perusahaan Jepang di sini telah memperkenalkan teknik-teknik pemasaran modern yang tadinya tidak diketahui manajer-manajer Indonesia. Yang jadi pertanyaan: sejauh mana para manajer lokal belajar teknik-teknik yang dilakukan Jepang itu. Winarno Zain
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo