Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Nindityo Adipurnomo.
Sampah masker sebagai medium baru berkarya.
Berangkat dari pengalaman dan pengamatan keseharian.
EMPAT pengeras suara berwarna-warni itu tampak dibungkus sesuatu pada bagian ujungnya. Dari kejauhan, karya itu malah tampak seperti ubur-ubur. Bila kita dekati, akan terlihat yang digunakan untuk menyumbat ujung empat pengeras suara itu adalah masker. Perupa yang menciptakan karya itu, Nindityo Adipurnomo, memberinya judul Lenguh Para Fascist. Dari judulnya, kita bisa meraba-raba apa yang dimaksudkan oleh Nindityo, jelas berkaitan dengan persoalan sosial. Keempat pelantang suara itu mengapit sebuah lukisan abstrak .Yang menarik, komposisi abstrak lukisan itu tersusun dari warna dan jahitan-jahitan masker medis. Karya ini diberi judul Pandemic and Women’s Garland.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada bidang dinding yang lain, sebuah karya masih dalam lukisan abstrak juga bermain-main dengan jahitan dan "tempelan" masker. Kini masker-masker itu membentuk citra segitiga piramida terbalik. Karya tersebut berjudul Pandemic and Trophy for Men. Ada torehan warna hijau yang mencolok di bidang segitiga masker. Karya ini bersanding dengan lukisan berjudul Pandemic and Women’s Garland #2. Pada karya ini, Nindityo membuat kalung masker berlapis kain yang lebih panjang dibanding karya sebelumnya. Kalung masker itu bahkan cukup mendominasi bidang kanvas. Bedanya lagi, tampak sepasang kaki perempuan di bawah kalung masker tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nindityo memamerkan karya-karya yang bertumpu pada masker itu dalam pameran tunggal di D Gallerie, kawasan Kebayoran, Jakarta, berjudul "Rhinolopus Sinicus". Judul ini mengambil nama ilmiah kelelawar tapal kuda yang ditemukan di sekitar India utara, Cina, hingga Vietnam. Kita tahu, pada 2020, jenis kelelawar tapal kuda yang sama di Wuhan, Cina, dianggap sebagai asal-muasal virus corona yang mengakibatkan pandemi. Pameran ini digelar selama 27 Mei-30 Juni 2023.
Pandemic and Women's Garland #2 (kiri) dan Pandemi and Thropy for Men di D Gallerie, Jakarta, 2 Juni 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Segera dapat kita baca melalui eksperimennya terhadap masker ini, Nindityo ingin memperlihatkan pembacaanmya terhadap banyak isu sosial, seperti lingkungan, religiositas, krisis kemanusiaan, bahkan kesetaraan gender, selama masa pandemi. Dari karya Vertical Pandemi dan Karangan Bunga Wanita dan Laki-laki, Nindityo, misalnya, ingin memperlihatkan betapa masih ada ketidaksetaraan gender tatkala wabah terjadi. Karya-karya Nindityo yang menampilkan masker bak lingkaran kalung juga dimaksudkan untuk kritik itu, meski memang tak mudah kita secara gamblang cepat menangkapnya.
Nindityo bercerita, ia banyak mengamati kebiasaan orang memakai masker. Dia, misalnya, melihat pemakai masker laki-laki yang patuh di sekelilingnya secara naluriah akan menurunkan maskernya ketika menyapa dan berbicara. Dia juga bertanya-tanya apakah benar perempuan cenderung memakai masker dengan benar selama masa pandemi serta apakah laki-laki kurang berdisiplin memakai masker karena mungkin itu mengancam citra maskulin mereka atau lantaran mendadak ada aturan dan tata cara berpakaian yang diberlakukan kepada mereka. Tak mudah juga untuk melihat hal ini dalam konteks kesetaraan gender.
Sedangkan instalasi empat pengeras suara tersebut terinspirasi situasi saat pengetatan protokol kesehatan mencapai puncaknya. Anjuran membatasi interaksi fisik, imbauan mengenakan masker dua lapis di luar rumah, dan optimalisasi komunikasi berbasis layar menunjukkan sejumlah kesan yang menarik bagi Nindityo. Seiring dengan pergeseran sistem ekonomi ke arah aktivitas sehari-hari yang berjarak secara fisik, ritual keagamaan pun bergeser sedemikian rupa untuk mematuhi protokol kesehatan. Empat toa yang tersumbat masker mewakili enam jenis agama dan kepercayaan yang diakui secara politis di Indonesia dan perubahan cara berkumpulnya umat agama selama masa pandemi. Masyarakat kemudian harus berjarak dengan peringatan yang senantiasa menggaung di mana-mana.
Yang juga menarik dari karya Nindityo adalah karya seni rupa teknik gouache, dengan tinta, akrilik, atau arang di atas kertas, yang berjudul Celah dalam Jargon 'Work From Home (2021). Dia merekam ketaatan masyarakat dalam menerapkan protokol Kesehatan. Ketika pandemi mulai melanda, masker ludes di mana-mana karena panic buying dan pasokan yang tak tertangani.
Akan halnya gambaran keterpurukan, kesusahan masyarakat akibat pandemi, digambarkan dengan lukisan siluet seorang manusia dalam keadaan kepala tak tampak tapi kaki terbelenggu di atas. Lukisan lain dalam nuansa yang sama memperlihatkan seperti sosok yang tengah menungging, sebentuk wajah bertutup masker di wajah dan kepalanya. Matanya tajam memandang ke depan. Saat itu ada inisiatif gerakan kolektif lain dari masyarakat, dari pemberian makanan dan bahan kebutuhan pokok hingga penyediaan platform solidaritas untuk mempromosikan bisnis atau usaha teman. Kesadaran solidaritas masyarakat yang kemudian bahu-membahu menumbuhkan semangat gotong-royong.
Karya selanjutnya memperlihatkan susunan rapi masker berwarna-warni memenuhi bidang kanvas. Karya ini berjudul Sound of Masker, gambaran bagaimana gestur personal dan pengalaman yang dihayati masyarakat berubah seiring dengan adanya anjuran dari pemerintah untuk mengenakan masker secara kolektif dan massal sering berubah-ubah, dari masker kain, KN95, hingga masker bedah yang dipadukan dengan masker kain, begitu seterusnya. Nindityo sendiri tetap menyimpan berbagai jenis masker tersebut. Dari sanalah timbul ide menjadikan masker-masker ini medium berkaryanya.
Karya seni yang berjudul "Rubel Dolllar Euro #2" di D Gallerie, Jakarta, 2 Juni 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Dari dua seri karya Rubel Dollar Euro #1 & #2 (2022), salah satunya berwujud instalasi video dengan tiga karpet masker dan benda-benda yang mengelilingi proyeksi video. Pada karpet masker terdapat dahan bercabang dan replika bom sebagai simbol peperangan. Dalam video tersebut, tiga sosok laki-laki berhadapan seperti sedang bercakap kemudian bermain ketika ketegangan perlahan-lahan meningkat dan kemudian memanas. Bagian kedua seri ini terdiri atas tiga lukisan berukuran lebih kecil yang terdiri atas lukisan masker, gouache, dan akrilik di atas kanvas. Gambar tiga mata uang yang berbeda berukuran kecil dan tampak tidak signifikan di tengah ruang kosong di sekelilingnya. Karya video lain terlihat cukup menarik, ketika beberapa laki-laki secara bergantian seperti menutup muka mereka dengan aneka sanggul.
Medium lain yang digunakan adalah rotan dan kanvas yang diselipkan di antara rotan-rotan yang dipotong, ditata, dan dicat hitam. Rotan dibentuk sedemikian rupa, melengkung-lengkung. Karya berjudul Manusia Tunggal - Balada Emisi Manusia #b (2023) ini merupakan perenungan yang lebih luas dan holistik mengenai kematian manusia. “Nindityo adalah sosok seniman yang piawai memain-mainkan berbagai medium, termasuk kali ini masker, untuk memanifestasikan sikap politiknya,” ujar Mira Asriningtyas, yang bersama Dito Yuwono menjadi kurator pameran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Nindityo dan Sampah Masker"