Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Seniman Seni Grafis Haryadi Suadi Meninggal

Sebelum meninggal, seniman grafis Haryadi Suadi tengah menyiapkan pameran tunggal retrospeksi Maret 2016.

8 Januari 2016 | 21.22 WIB

Haryadi Suadi. Galeri-nasional.or.id
Perbesar
Haryadi Suadi. Galeri-nasional.or.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Bandung - Seniman seni grafis Haryadi Suadi, 76 tahun, meninggal di kediamannya di Bandung sekitar pukul 15.50 WIB, Jumat, 8 Januari 2016. Haryadi meninggalkan seorang istri dan dua orang anak, Radi Arwinda dan Risa Astrini.

Rencananya, Haryadi akan dimakamkan di Komplek Makam Keluarga Besar ITB di Cibarunai, Sarijadi, Bandung. Jenazah diberangkatkan pukul 09.00 dari rumah duka di Jalan Haji Mahfud No. 4, Kiaracondong, Bandung.

Istri Haryadi, Meri, mengatakan mereka berdua sempat berbincang di tengah rumah. Sekembalinya ke ruang tengah rumah setelah ia pergi sebentar ke kamar mandi, Haryadi ternyata telah wafat. “Bapak tidak ada pesan khusus atau apa, kami ngobrol biasa saja,” kata Meri kepada Tempo, Jumat malam, 8 Januari 2016.

Haryadi sebelumnya jatuh sakit setelah sempat terserempet sepeda motor awal Desember lalu. Ia hanya berobat jalan dan beristirahat di rumah. Lulusan Seni Murni Studio Seni Grafis ITB 1969 tersebut tengah menyiapkan pameran tunggal retrospeksi Maret 2016. “Ada karya baru dan lama sejak Bapak mulai berkarya,” ujar Meri.

Tekun menggeluti seni grafis sejak era 1970-an, Haryadi juga melukis. Belakangan, pria kelahiran Cirebon, 20 Mei 1939, itu giat menggali kebudayaan leluhurnya.

Aminudin TH Siregar mengatakan Haryadi Suadi merupakan seniman yang ikut merintis seni rupa kontemporer di Indonesia, sebelum muncul Gerakan Seni Rupa Baru oleh Jim Supangkat dan kawan-kawan pada 1975 dengan seni instalasinya. Menurut Aminudin, karya kontemporer keduanya muncul dari paduan budaya tradisional seperti sosok wayang, dengan teknis penggarapan seni modern semisal grafis.

Beberapa karya lukisan Haryadi seperti di kanvas dan kaca serta grafisnya, diisi berbagai aksara kuno, tokoh wayang, kisah mitos atau legenda, hingga sosok dedemit. “Saya selalu teringat isi pidato Bung Karno dulu agar pemuda kembali ke tradisi asli,” ujar Haryadi kepada Tempo, Mei 2013. Pergulatannya selama ini untuk menghasilkan paduan seni tradisi yang dikemas dengan cara modern. Namun, kata Haryadi, pencariannya belum menemukan titik keseimbangan seperti seniman Jepang idolanya, mendiang Shiko Munakata.

Haryadi  masih menganggap penting karya gambar dan seni grafis. Pada keduanya, kata mereka, sangat mengandalkan kepekaan tangan sehingga menghasilkan karya yang khas dan unik. Namun sekarang, cara berkarya seperti itu makin terkikis oleh kecanggihan teknologi, seperti komputer dan kamera foto, serta mesin pencetak.

ANWAR SISWADI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nunuy Nurhayati

Nunuy Nurhayati

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus