Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENAKAN kemeja lengan pendek garis-garis cokelat dan celana panjang biru, Ashadi Siregar, 65 tahun, terlihat santai pada Selasa siang tiga pekan lalu. Ditemani secangkir teh hangat, dia menerima Tempo di kantornya: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y). Perbincangan pun mengalir akrab. ”Sejak dulu sebenarnya saya rutin berkantor di sini, kecuali jika ada jadwal kuliah atau seminar,” katanya.
Ashadi biasa meluncur dari rumahnya di kawasan Minomartani ke kantor di Jalan Kaliurang Km 13,7 itu pada siang hari demi alasan kemanusiaan. Dia kasihan kepada tukang sapu dan karyawan lain bila datang terlalu pagi. ”Mereka menjadi tidak bebas,” ujarnya. ”Biarlah mereka menikmati kebebasan dulu, baru pada siang harinya saya datang.”
Sejak awal Juli lalu, Ashadi lebih banyak menghabiskan waktu di kantor itu. Dia telah resmi pensiun dari Universitas Gadjah Mada, tempatnya selama ini mengajarkan ilmu komunikasi. Bagi Ashadi, LP3Y sudah menjadi bagian hidupnya. Sejak awal lembaga itu berdiri pada 1980-an, dia mengambil peran penting di sana. Kecintaannya kepada jurnalisme pun tersalurkan saat menangani pelatihan jurnalisme di sana pada 1990-an.
Cinta Ashadi kepada jurnalistik dan dunia penulisan berawal dari sebuah artikel berjudul ”Melawat ke Barat” karya Djamaluddin Adinegoro, wartawan yang paling awal mendapat pendidikan akademik. Reportase perjalanan ke Eropa itu membuatnya terpesona. ”Waktu itu saya masih SMP. Saya benar-benar terpengaruh oleh cerita perjalanan Adinegoro,” katanya.
Sejak saat itu, pria yang juga terpengaruh oleh novel karangan Karl May ini belajar menulis. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, Ashadi memulai dengan menulis cerita pendek dan resensi. ”Hanya itu yang bisa saya tulis, karena saya tidak tahu menulis fakta,” dia mengenang. Selepas SMA di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, dia merantau ke Yogyakarta. Dia ingin menimba ilmu publisistik di Universitas Gadjah Mada, sesuai dengan obsesinya menjadi wartawan.
Namun impian itu masih jauh untuk digapai. Ilmu publisistik di masa itu tidak menyiapkan mahasiswa menjadi wartawan. ”Kalau wartawan, ya wartawan dongok, bukan wartawan yang bisa menulis seperti Adinegoro,” dia menambahkan. Tak ingin impiannya sirna, Ashadi belajar sendiri lewat koleksi buku di perpustakaan kampus. Hingga akhirnya Hasjim Nangtjik—dosen senior Jurusan Publisistik Universitas Gadjah Mada—merekrutnya untuk menulis di mingguan Publica pada 1968.
Di sana Ashadi merasakan proses belajar yang luar biasa. Dia menulis naskah, mengedit, menunggu di percetakan, melipat naskah, hingga menempelkan alamat dan mengirim lewat pos. ”Banyak orang mengatakan bahwa saya dieksploitasi karena enggak dibayar sama sekali. Tapi, bagi saya, itu proses belajar yang luar biasa,” katanya.
Pengalaman terlibat dalam Publica semakin menggugah semangatnya untuk terus berkarya. Tamat dari bangku kuliah pada 1970, Ashadi bertekad serius bekerja di surat kabar. Namun niat itu terganjal karena dia didapuk menjadi dosen di almamaternya serta sibuk sebagai aktivis politik. Pada 1971 itu dia menjadi salah satu penggiat gerakan anti-Taman Mini Indonesia Indah.
Impian Ashadi menjadi wartawan baru terwujud saat menjadi Pemimpin Redaksi Koran Sendi pada 1972. Surat kabar ini sebenarnya bukan koran profesional karena pengelolanya kebanyakan mahasiswa sekaligus aktivis yang gemar memprotes. Peran sebagai Pemimpin Redaksi Sendi itu akhirnya membuatnya terkena hukuman percobaan gara-gara tulisan anti-TMII di koran tersebut. Izin Sendi pun dicabut.
Kendati dia tak lagi terlibat langsung dalam dunia jurnalistik, semangatnya untuk menulis tak padam. Dari fakta dia beralih ke fiksi. Ashadi menulis novel yang meledak di pasaran, yaitu trilogi Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, dan Terminal Cinta Terakhir. Novel-novel yang ditulis pada 1974-1976 itu juga difilmkan. Dia juga masih menelurkan novel lain, yaitu Sirkuit Kemelut dan Warisan Sang Jagoan. Nama Ashadi sebagai novelis pun berkibar.
Toh, kecintaan kepada dunia jurnalistik membuatnya turun gunung di era reformasi. Dia menjadi Pemimpin Redaksi Surabaya Post pada Mei-Agustus 1999. Ashadi kemudian menjadi Ketua Lembaga Ombudsman Kompas pada 2003-2010. Sebagai dosen, dia—baik bersama teman maupun sendiri—juga terus melahirkan berbagai buku mengenai jurnalistik.
Sosok Ashadi yang idealistis dan konsisten diakui oleh Slamet Riyadi Sabrawi. Salah satu contohnya terlihat saat berlangsung Kongres Kebudayaan di Taman Mini Indonesia Indah pada 1981. Ashadi diundang menjadi salah satu pembicara di acara yang dipimpin Umar Kayam itu, tapi dia memilih mangkir. ”Dia anti-TMII. Sampai sekarang, Bang Hadi tidak pernah mengunjungi TMII,” kata Asisten Direktur LP3Y ini.
Tidak banyak yang tahu bahwa Ashadi bukanlah nama asli pria yang lahir di Pematangsiantar pada 3 Juli 1945 itu. ”Nama asli saya ’sangat Arab’: As’adi. Nama Ashadi itu muncul akibat salah dengar,” katanya. Nama pemberian orang tua itu berubah ketika ia mendaftar menjadi murid Sekolah Dasar Taman Siswa di Pematangsiantar.
Seorang petugas pendaftar di sekolah itu menanyakan namanya. Anehnya, yang tertulis di buku pendaftaran bukan As’adi, melainkan Ashadi. ”Waktu itu saya memang belum fasih menyebut nama saya dengan lafal Arab yang benar,” ujar Ashadi terbahak.
Meski salah nama, orang tua Ashadi tidak pernah memprotes atau berusaha mengoreksinya. Sang ayah bahkan tetap menggunakan nama ”salah dengar” itu ketika membuat surat kenal lahir untuk Ashadi yang baru lulus SMA. ”Nama yang tertera pada surat kenal lahir itu tetaplah nama Jawa yang ditahbiskan petugas itu,” Ashadi menambahkan.
Tradisi Batak, menurut Ashadi, tidak mengenal ganti nama sebagai upaya membuang sial seperti pada masyarakat Jawa. Pada masyarakat Batak, ganti nama hanya dilakukan pada saat menikah atau ketika pulang haji, dari nama Batak menjadi nama Arab. ”Kecelakaan” yang terjadi di Sekolah Dasar Taman Siswa itu berdampak besar bagi orang tua Ashadi. Mereka selalu memberikan nama Indonesia untuk adik-adiknya, tidak lagi nama berbau Arab.
Dilahirkan dari ayah yang menjadi pamong praja, Ashadi kecil harus hidup berpindah-pindah. Kejadian memilukan pernah menimpanya di lokasi pengungsian perang di pelosok Pematangsiantar. Ashadi, yang saat itu masih berusia dua tahun, mengungsi bersama ibunya, yang belum lama melahirkan adiknya. Sedangkan ayahnya pergi bergerilya.
Ketika itu, tubuh Ashadi, kecuali kepala dan muka, tersiram air panas lantaran sang ibu terpeleset saat membawa air mendidih untuk mandi. Guyuran air panas itu membuat sekujur tubuhnya melepuh. ”Berminggu-minggu saya dibaringkan di atas daun pisang, antara hidup dan mati. Kalau dibaringkan di atas kain atau diberi pakaian, pasti kulit akan lengket ke kain,” ujarnya. Anehnya, luka akibat guyuran air panas itu tidak berbekas.
Peristiwa itu ternyata mempengaruhi sikap hidup Ashadi ketika dewasa. Ia mengaku tak takut terhadap ancaman apa pun, termasuk kematian. Ia tak gentar harus masuk penjara Wirogunan, Yogyakarta, pascaperistiwa Malari pada 1974. Ashadi juga duduk tenang di dalam rumah saat gempa bumi mengguncang Yogyakarta, 26 Mei 2006, padahal istri dan anak-anaknya lari pontang-panting menyelamatkan diri. ”Saat itu, kalau rumah runtuh, saya mati. Saya tidak takut karena sudah melewati kematian,” katanya enteng.
Semasa kecil, jiwa Ashadi sempat pula terguncang saat harus pindah sekolah dari Taman Siswa di Pematangsiantar ke sekolah umum di Padang Sidempuan. Saat itu, ia baru saja naik ke kelas III sekolah dasar. Pangkal persoalannya adalah bahasa. Ashadi kecil terbiasa berbahasa Melayu karena sejak lahir hingga kelas II SD tinggal di Pematangsiantar, sementara Padang Sidempuan menggunakan bahasa Batak Selatan.
Dua tahun Ashadi kecil hidup penuh kekerasan akibat plonco teman-temannya di Padang Sidempuan. Hatinya kembali berbunga-bunga ketika keluarganya pindah dari Padang Sidempuan ke Rantau Prapat. Dua tahun di Padang Sidempuan itu ternyata sangat membekas di hati Ashadi hingga saat ini. ”Sampai sekarang, saya tidak suka dengan Batak Selatan meski notabene itu daerah asal ayah saya. Bagi saya, dunia penindasan itu sensitif,” katanya.
Suryani Ika Sari, Heru C. Nugroho, Muh. Syaifullah (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo