Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Pembela Migran dari Negeri Jiran

Alex Ong membela buruh migran di Malaysia selama 20 tahun. Menjual perusahaannya untuk berfokus membantu tenaga kerja asal Indonesia.

 

16 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Alex Ong semula bekerja sebagai pebinis, perusahannya tersebar di beberapa negara, termasuk Indonesia.

  • Alex menjual perusahannya untuk berfokus membela buruh migran.

  • Ia mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia karena banyak membantu buruh migran selama pandemi.

ALEX Ong menutup 2020 dengan menerima Hassan Wirajuda Award dari Kementerian Luar Negeri Indonesia. Koordinator Migrant Care Malaysia itu adalah satu dari dua penerima penghargaan dalam kategori Masyarakat Madani di Luar Negeri. Warga negara Malaysia itu banyak membantu warga Indonesia yang menjadi pekerja migran di negeri jiran itu pada masa pandemi. “Penghargaan itu akan memberi motivasi untuk teman-teman, terutama tim saya, supaya mereka tambah semangat,” kata Alex, 61 tahun, Rabu, 13 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika pandemi menyerang, banyak negara membatasi pergerakan penduduk, termasuk Malaysia. Sejak pertengahan Maret 2020, negara tersebut memerintahkan penutupan semua tempat usaha, kecuali yang melakukan pelayanan penting. Jutaan pekerja migran dari Indonesia mengadu nasib di negara tersebut. Sebagian besar datang tanpa dokumen resmi dan berupah rendah.

Lebih dari 37 ribu orang memutuskan kembali ke Tanah Air ketika pembatasan mulai diberlakukan. Namun mayoritas memutuskan tetap tinggal di negeri jiran dan berharap pagebluk segera berakhir. “Mereka tidak bisa bekerja, bagaimana mereka bisa bertahan hidup?” ujar Alex. Nahdlatul Ulama Malaysia pada April 2020 memperkirakan terdapat 1 juta buruh migran Indonesia yang terancam kelaparan di negara itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alex, yang sudah 20 tahun memperjuangkan nasib tenaga kerja Indonesia, mengumpulkan data buruh migran yang menganggur dan membutuhkan bantuan. Ia mengirim bahan kebutuhan pokok untuk keperluan sehari-hari lebih dari 2.300 pekerja migran asal Indonesia. Sebagian besar sumber dananya berasal dari kantong pribadi. “Itu sebenarnya tabungan pensiun saya,” tuturnya. Sisanya berasal dari beberapa pengusaha kawannya yang bersimpati terhadap kondisi para buruh migran.

Kini ia sedang berfokus membantu para ibu dan bayi. Menurut Alex, terdapat 170 lebih bayi dalam basis data mereka. Pandemi membuat mereka berisiko mengalami kekurangan gizi.

Sebelum bergabung dengan lembaga swadaya masyarakat Indonesia yang mengurusi buruh migran, Migrant Care, Alex adalah pengusaha. Ia memiliki beberapa perusahaan dalam bidang properti, perkayuan, tambang, dan trading yang tersebar di Malaysia, Indonesia, Cina, Thailand, dan Vietnam. Alex sudah biasa bolak-balik ke Indonesia sejak 1990-an untuk mengurus bisnisnya. Ia kemudian menikah dengan perempuan Jakarta, Sandra Herawati, dan tinggal di Surabaya.

Persentuhan Alex dengan buruh migran Indonesia pertama kali terjadi pada 2000. Kala itu, Alex, yang tinggal di sebuah apartemen, didatangi seorang petugas kebersihan tempat tinggalnya. Petugas itu meminta tolong Alex mencarikan kakaknya yang bekerja di Malaysia. Kakaknya itu sudah enam tahun menghilang, tak pernah pulang kampung ataupun mengabari keluarganya. “Ibunya sakit, ingin bertemu. Adik iparnya yang menampung anak-anak kakak tersebut meninggal,” ucap Alex.

Alex mencari orang tersebut ketika pulang ke Malaysia. Ia baru bertemu dengan orang itu pada kepulangannya yang kedua. Ia merayu lelaki itu agar mau pulang kampung, tapi ia enggan pulang. Lelaki tersebut rupanya buruh migran ilegal dan berupah rendah. Ia tak punya cukup uang untuk membayar denda dan mengurus kepulangan ke Indonesia. “Saya merasa dia sudah susah, masih dipersusah lagi,” ujar Alex. Lelaki itu pun tak pulang ketika ibunya meninggal.

Keterlibatan Alex makin dalam setelah ia bersinggungan dengan aktivis Munir Said Thalib dan Poengky Indarti pada 2000. Waktu itu, Munir dan Poengky membantu menangani masalah hukum para tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Salah satunya anggota keluarga Alex. Mereka berbagi cerita. Alex menceritakan masalah imigrasi yang ia hadapi. Sedangkan Munir berkisah tentang aktivitasnya mencari orang hilang pada masa Orde Baru. “Orang ini gila, ya, menaruh nyawanya sendiri untuk mencari orang hilang,” begitu pikirnya waktu itu.

Perkawanan mereka terus terjalin. Munir mengenalkannya kepada Wahyu Susilo, aktivis yang berfokus pada masalah buruh migran. Wahyu sempat memintanya menjadi pembicara tentang masalah perburuhan dari sudut pandang pebisnis di Jakarta. Sejak itu, ia mulai bersahabat dengan Wahyu. Wahyu, yang gemar membaca, sering memberinya buku, terutama yang menyangkut isu kemanusiaan. “Buku pemberian Wahyu ini yang banyak mempengaruhi pandangan saya,” kata lulusan magister di University of Oklahoma, Amerika Serikat, itu.

Ketika ayahnya meninggal pada Maret 2002, Alex memutuskan kembali ke negaranya. Ia mulai membantu buruh migran Indonesia di Malaysia dengan memberikan informasi tentang kekerasan terhadap mereka kepada Wahyu dan aktivis lain.

Pemerintah Malaysia waktu itu melakukan deportasi besar-besaran terhadap buruh migran ilegal. Alex antara lain pergi ke Sabah dan Nunukan, Kalimantan Utara, untuk mencari kantong-kantong TKI. “Saya lihat mereka diburu setiap hari seperti binatang. Saya marah dan sedih. Saya merasa perlu membantu mereka,” ucapnya. Alex kemudian memutuskan menjual perusahaannya untuk berfokus membela buruh migran. Keputusan ini ditentang oleh ibunya, tapi ia berkukuh.

Alex Ong memperoleh Hassan Wirajuda Award 2020 dalam kategori Masyarakat Madani di Luar Negeri, Desember 2020. Dok. Migrant Care

Ketika Wahyu bersama Anis Hidayah mendirikan Migrant Care pada 2004, Alex menjadi perwakilan lembaga itu di Malaysia. Menurut Wahyu, Alex ikut serta mendirikan Migrant Care. Tapi, karena menurut aturan pendiri organisasi harus warga negara Indonesia, ia hanya didaftarkan sebagai perwakilan di Malaysia.

Sebagai mantan pengusaha yang memiliki banyak jejaring, Wahyu mengungkapkan, Alex sangat membantu pekerjaan mereka. Ia memiliki banyak kawan pebisnis dan di pemerintahan. “Pak Alex sangat kuat lobinya. Ia dipercaya di negaranya. Kami banyak mendapatkan update terbaru tentang situasi politik di Malaysia,” tuturnya.

Alex banyak membantu melakukan advokasi, termasuk dalam kasus Adi bin Asnawi, buruh migran asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang didakwa membunuh majikannya pada 2002. Alex dan tim Migrant Care lain menyampaikan kabar itu kepada publik sehingga pemerintah Indonesia tergerak menangani kasus tersebut.

Alex menyediakan rumahnya bagi para aktivis, keluarga Adi, dan wartawan untuk menginap. Kepada orang tua Adi, Alex berjanji, jika Adi dibebaskan, ia akan membantu kepulangannya ke Lombok. Namun, jika Adi dihukum mati, ia akan memulangkan jenazahnya. “KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia) sampai marah karena saya dianggap mencampuri pekerjaan mereka. Saya dilaporkan ke polisi,” ujarnya. Adi akhirnya diputus bebas pada 2008 karena pada saat kejadian dianggap menderita gangguan jiwa.

Ia juga ikut menangani kasus Wilfrida Soik, buruh migran asal Nusa Tenggara Timur yang didakwa membunuh majikannya pada 2010. Ia ikut mendesak KBRI di Malaysia memberikan pembelaan kepada Wilfrida dengan menyewa pengacara andal. Dengan jejaringnya, Alex ikut membuktikan Wilfrida masih di bawah umur saat kasus terjadi.

Ia mencari gereja di kampung Wilfrida yang mendata tanggal kelahiran penduduk setempat. Pemerintah mendatangkan pastor dari gereja tersebut untuk bersaksi. Catatan gereja tersebut berbeda dengan data paspor Wilfrida yang menyatakan ia sudah cukup umur. “Dia korban perdagangan manusia dan punya masalah kejiwaan,” kata Alex. Bukti-bukti tersebut membuat Wilfrida dibebaskan pada 2016.

Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus salah seorang aktivis yang sering meminta bantuan Alex untuk memulangkan buruh migran, terutama mereka yang menjadi korban perdagangan manusia. Alex bersedia menjemput buruh migran tersebut untuk dipulangkan. “Dia mendatangi langsung tempatnya, mau pasang badan,” kata Paschalis.

NUR ALFIYAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus