Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Butuh waktu tiga tahun menyelesaikan skenario The Architecture of Love.
Ikhtiar Ika Natassa membuat cerita film sama persis dengan novel.
Sutradara Teddy Soeriaatmadja menyebutkan kesederhanaan cerita menjadi penting untuk sebuah film drama romantis.
BAGI penulis Ika Natassa, proses alih wahana novel menjadi karya film bukan lagi hal baru. Ya, perempuan 46 tahun itu sudah empat kali menjalani proses kerja yang disebut dengan istilah ekranisasi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Architecture of Love menjadi karya terbaru Ika yang diadaptasi ke dalam bentuk film. Film berdurasi 110 menit itu ditayangkan kepada media pada Kamis, 25 April lalu, dan rencananya tayang untuk publik serentak pada 30 April mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film ini mengangkat tema drama percintaan penulis novel dan arsitek. Film ini dibintangi Nicholas Saputra sebagai River, seorang arsitek, dan Putri Marino sebagai Raia, si penulis novel.
Keduanya bertemu secara tidak sengaja di New York ketika sama-sama lari dari masalah pernikahan masing-masing sebelumnya. Raia bercerai karena suaminya selingkuh, sedangkan River berpisah dengan istrinya yang meninggal akibat kecelakaan mobil.
Ika Natassa (tengah) saat konferensi pers film The Architecture of Love (TAOL) di Epicentrum, Kuningan, Jakarta, 25 April 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Seperti ditakdirkan alam semesta, Raia dan River berjodoh. Tak cuma saling menemani, mereka saling menyembuhkan luka masing-masing.
Namun Ika mengakui proses alih wahana novel The Architecture of Love menjadi film memakan waktu cukup lama. Salah satunya adalah proses membuat skenario yang membutuhkan waktu hingga tiga tahun. "Kami bikin naskah dari 2020 sampai 2023," katanya.
Proses transfer novel menjadi skenario film dilakukan Ika bersama penulis naskah, Alim Sudio. Menurut Ika, lamanya penggarapan skenario karena ia ingin alur cerita novel The Architecture of Love bisa dimasukkan seluruhnya ke dalam film.
Dengan kata lain, ia tak ingin ada perubahan cerita yang terlalu banyak dalam film. Alasan lain, Ika dan Alim adalah tipikal penulis perfeksionis sehingga mereka tak ingin ada celah kekurangan sedikit pun pada skenario film yang diklaim hampir 98 persen sama dengan cerita novel tersebut.
"Dan ini semua sangat sepadan jika melihat hasil filmnya sekarang," ujar Ika.
Alim juga mengaku sangat berhati-hati dalam menulis skenario The Architecture of Love. Salah satu tujuannya agar ia bisa mengedepankan rasa untuk ditampilkan lewat para pemeran. Menurut dia, drama romantis memang membutuhkan perhitungan yang cermat dalam menentukan setiap adegan.
Sebab, jika meleset sedikit saja, pesan atau perasaan yang dimaksudkan tidak akan sampai ke penonton secara maksimal. Selain itu, Alim harus berkomunikasi dengan beberapa pihak, termasuk sutradara. "Contohnya, latar film di New York pasti saya komunikasikan ke sutradara yang kebetulan tahu banget tentang kota tersebut," ucapnya.
Sementara itu, sutradara Teddy Soeriaatmadja mengatakan sejak awal suka dengan novel karya Ika. Menurut pria 49 tahun itu, cerita buatan Ika punya kekuatan pengungkapan rasa yang sangat kuat.
Proses kerja kali ini pun makin mudah lantaran penulisan skenario tak kalah ciamik dari novel asli. Salah satu yang ia puji adalah keterkaitan cerita dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, tak ada hal berlebihan yang disematkan dalam naskah skenario.
"Ketika hendak bikin film, pasti saya cari cerita yang paling related dengan kehidupan nyata. Sebuah perasaan universal yang bisa dirasakan semua orang."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo