Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Wajah Baru Pemanasan Global

Dari buku ini kita tahu mengapa Greta Thunberg menjadi juru bicara yang efektif dalam gerakan mencegah perubahan iklim. Kata-katanya membius.

6 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GRETA Thunberg adalah bin-tang baru gerakan mence-gah pemanasan global. Ga-dis 16 tahun asal Swedia ini se-akan-akan menjadi sim-bol melawan perubahan iklim dan kian mem-populerkan isu lingkungan yang me-nuai reaksi pro-kontra itu. Dengan retorikanya yang mengentak, dengan wajah dinginnya yang polos, Thunberg mengimbau seluruh dunia, terutama para politikus dan pemim-pin tiap negara, bertindak bersama mence-gah bumi kian panas.

“Saya ingin Anda panik,” katanya saat berbicara di depan para kepala negara kaya dan pengusaha top dunia dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada Ja-nuari 2019. “Saya ingin Anda merasakan seperti yang saya rasakan: rumah kita se-dang terbakar. Bertindaklah seakan-akan tak ada yang bisa kita lakukan selain me-nyelamatkannya.”

Sejak itu, Thunberg kian populer. Seru-annya kepada anak-anak seusianya agar mogok sekolah dan turun ke jalan supaya para pemimpin bertindak menyelamatkan planet ini bergema hingga ke 105 negara pada 15 Maret 2019. Ia menjadi penyeru paling efektif dan didengar di seluruh dunia kini. Ia kian sering berbicara dalam forum-forum bergengsi, bersama para selebritas, mengingatkan tentang krisis iklim.

“Kami mogok sekolah karena sudah me-nyelesaikan pekerjaan rumah kami,” ucapnya di depan Parlemen Inggris. “Se-karang tinggal Anda sekalian yang belum menyelesaikan pekerjaan rumah Anda terhadap planet ini. Apakah kalian men-de-ngarkan saya? Apakah mikrofon ini ber-fungsi? Apakah bahasa Inggris saya cukup jelas untuk Anda cerna?” Thunberg kian menggelegak.

Agaknya, karena itulah Thunberg dicin-tai banyak orang. Dari buku ini, No One Is Too Small to Make a Difference, yang berisi kum-pulan pidatonya, kita akan tahu me-ngapa ia berhasil menjadi orang yang ber-pengaruh dalam isu krisis iklim. Ia me-ma-dukan banyak hal dengan sempurna dalam sosok seorang juru bicara: masih remaja, pintar beretorika, kukuh dalam bersikap, membius orang lain dengan gaya bercerita yang efektif—lewat metafora-metafora yang renyah dan gampang dimengerti.

Media Inggris yang prestisius, The -Guar-dian,- kini mengikuti kosakata Thunberg dalam memberitakan pemanasan glo-bal. Mereka tak lagi memakai frasa “cli-mate change”, tapi “climate crisis” atau “climate emergency”. Koran ini pun tak lagi meng-gu-nakan “global warming”, tapi “global heating”. Thunberg telah menyadar-kan se-mua orang bahwa sebuah tindakan bisa le-bih efektif jika setiap orang memakai kata yang sama, tanpa eufemisme.

Tak hanya memanfaatkan diksi, Thun-berg juga memakai metafora untuk me-nyampaikan pesan-pesan dalam pidato yang ia tulis sendiri. Ia pun mempraktik-kan hidup ramah lingkungan sejak dalam pikiran. Thunberg bepergian memakai bus listrik alih-alih naik pesawat, yang me-micu emisi gas rumah kaca—problem yang ia sentil. Ia menjadi vegan karena peter-nakan menyebabkan deforestasi dan menghasilkan karbon. Ia berhasil me-maksa orang tuanya—seorang seniman dan penyanyi opera—serta saudara perem-puannya mengikuti apa yang ia lakukan.

Syahdan, Greta Thunberg menjadi peduli terhadap planet ini sejak berusia delapan tahun. Ketika gurunya memutar video beruang kutub di Utara yang kehilangan rumah akibat es yang menghilang karena suhu memanas, ia menangis tak henti-henti. “Bayangan tentang nasib beruang itu menancap di kepala saya,” tuturnya kepada The Guardian.

Dari orang tuanya, Thunberg tahu tentang pemanasan global serta penyebabnya. Ener-gi fosil sebagai sumber bahan bakar menyemburkan emisi karbon ke atmosfer dan terperangkap di sana. Panas matahari yang memancar tak lagi terserap oleh ozon sehingga memantul kembali ke bumi. Para ilmuwan memprediksi, jika gaya hidup manusia tak berubah dalam seratus tahun ke depan, bumi bertambah panas 2 derajat Celsius.

Thunberg bergidik membaca semua in-formasi itu. Sebagai penderita asperger—sindrom autisme yang membuatnya selalu gelisah terhadap sesuatu yang buruk—ia ingin melakukan sesuatu. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Bo Thorén, aktivis lingkungan Swedia, yang membaca tulisan Thunberg tentang lingkungan di koran Svenska Dagbladet pada Mei 2018. Thorén menyarankan Thunberg mogok sekolah dan berdemo menentang perubahan iklim seperti anak-anak sekolah Amerika Serikat menentang aturan senjata api di Parkland.

Tapi tak ada teman yang mau bergabung. Pada 20 Agustus 2018, Thunberg akhirnya mengayuh sepeda sendiri ke gedung par-le-men Swedia. Ia duduk di sana seorang diri hingga sore setiap Jumat sambil mem-bentangkan tulisan di kertas karton: “skolstrejk för klimatet”, “mogok sekolah untuk iklim”. Sejak itu, gerakan mencegah pemanasan global punya wajah baru yang segar.

BAGJA HIDAYAT

 


 

NO ONE IS TOO SMALL TO MAKE A DIFFERENCE

Penulis : Greta Thunberg

Penerbit : Penguin

Terbit : 2019

Tebal : 70 halaman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus