Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMEDIAN Ernest Prakasa segera menghapus komentarnya dari salah satu postingan Instagram komika Bintang Emon pada 15 Juni lalu. Dalam postingan tentang Novel Baswedan itu, ia berkomentar Bintang harus bersiap meminta maaf di Kepolisian Daerah Metro Jaya. “Of course itu bercanda,” kata Ernest dalam acara diskusi Tempo, “Ini Budi: Ekonomi, Politik, Komedi”, Sabtu, 20 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ernest, 38 tahun, mengomentari konten video bikinan Bintang yang mengkritik tuntutan ringan untuk dua pelaku penyiraman air keras terhadap Novel—penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Ernest menghapus komentarnya karena ada 2.000-an pengikut Bintang yang mencemooh dan menyumpahinya. “Daripada IG-nya Bintang rusuh, saya delete komentar saya,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bintang bahkan mendapat sederet ancaman berupa percobaan peretasan surat elektronik dan Twitter. Oleh dua akun anonim di Twitter, Bintang dituding menggunakan narkotik. Teror terhadap Bintang sempat viral.
Ernest mengatakan, sejak awal bergema di ruang publik, komedi juga menjadi alat kritik. Sewaktu zaman Yunani dan Romawi, mereka yang tidak berani mengkritik pemerintah melakukannya di panggung komedi. Caranya dengan membuat sketsa atau monolog satire. “Dulu enggak banyak yang berani menyentil Orde Baru, Warkop salah satu yang berani,” kata sutradara film tersebut.
Tretan Muslim/Majelis Lucu Indonesia
Mengkritik lewat komedi bukan tanpa risiko. Komika Tretan Muslim, yang kerap berduet dengan Coki Pardede, pernah membuat heboh jagat maya saat mereka dituding menista agama, dua tahun lalu. Mereka diprotes setelah mengunggah video di YouTube tentang memasak daging babi—yang dalam Islam haram dimakan—dicampur kurma. Sambil memasak, mereka melontarkan lawakan.
“Kami sampai dipersekusi online dan secara langsung. Kantor kami didatangi sekelompok orang, acara kami didemo dan disuruh bubar,” ucap Tretan, 29 tahun, Kamis, 25 Juni lalu. Untuk meredakan suasana, Tretan dan Coki sampai harus keluar sejenak dari grup komika Majelis Lucu Indonesia.
Sejak berkarier melawak pada 2012, Tretan sering mengangkat topik yang dianggap sensitif oleh publik. Pria asal Bangkalan, Jawa Timur, ini pernah mengkritik diskriminasi terhadap orang Madura. “Mengapa orang Madura dianggap suka nyolong besi?” ujarnya. Sejak itu, ia memperluas topik lawakannya ke ranah agama dan politik.
Inaya Wulandari Wahid/TEMPO/Yovita Amalia
Inaya Wulandari Wahid juga memilih komedi sebagai media pelontar kritik. Ia mengatakan berani mengkritik politikus lantaran keistimewaannya sebagai putri Presiden Abdurrahman Wahid. Ia kerap membawakan lawakan berbau politik di televisi dan panggung teater. “Sebagai anak Gus Dur, saya punya amunisi untuk bisa ‘ngebom’ mereka,” katanya, Kamis, 25 Juni lalu.
Saat membawakan acara Ngobrol Pintar di Kompas TV pada awal tahun ini, misalnya, ia sempat meledek bintang tamu Fahri Hamzah yang baru mendirikan Partai Gelora selepas dipecat dari Partai Keadilan Sejahtera. “Jadi sudah boleh ngucapin selamat tahun baru, Bang Fahri? Natal ngucapin juga, Bang?” tutur Inaya. Tak ayal guyonannya acap membuat wajah “korban”-nya tampak sepet.
Sakdiyah Ma’ruf/Dok. Pribadi
Sementara Inaya memilih isu politik, komika Sakdiyah Ma'ruf, 38 tahun, melirik isu ketimpangan gender dalam keluarga, umat Islam yang makin ekstrem, hingga nasib pekerja yang terkena dampak wabah corona. Ia pernah mendapat komentar tak mengenakkan dari warganet akibat lawakannya tentang topik agama. “Dulu ada yang pernah bilang, ‘Saya akan senang melihatmu terbakar di neraka’,” ujarnya. “Saya pikir, kalau dia bisa melihat saya terbakar di neraka, berarti dia di neraka juga, ha-ha-ha....”
Komedi, kata dia, adalah media yang sangat efektif untuk mengkritik kekuasaan. Komedi juga membantunya membahas isu-isu yang paling sulit dibicarakan, memfasilitasi dialog, dan menggerakkan orang tanpa menggurui. “Saya dapat berjarak dari topik. Jadi kritik sosial bisa keras dan tajam tapi penyampaiannya ‘halus’,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo