Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kalau Bandel, Kami Cabut Izin Usahanya

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso memaparkan kebijakan lembaganya terkait dengan kasus gagal bayar dan dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero).  Dia juga menjelaskan strategi OJK mengatur maraknya perusahaan investasi bodong, hingga menjamurnya jasa pinjaman online.

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dugaan pelanggaran PT Asuransi Jiwasraya telah dideteksi oleh OJK sejak lembaga pengawas keuangan itu masih bernama Bapepam-LK pada 2004.

  • Ketua OJK Wimboh Santoso berjanji akan mereformasi sektor industri keuangan non-bank termasuk ekosistemnya untuk memperkuat industri asuransi.

  • Masyarakat masih rentan menjadi korban penipuan perusahaan investasi bodong dan jasa pinjaman online meskipun OJK telah memberikan edukasi.

OTORITAS Jasa Keuangan menjadi sorotan dengan mencuatnya kasus gagal bayar dan dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Banyak pihak, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat, menilai lembaga regulator industri keuangan itu lalai dalam mengawasi perusahaan asuransi pelat merah tertua tersebut. Akibatnya, Jiwasraya terbelit skandal yang ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp 17 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, 62 tahun, mengatakan OJK sebenarnya telah mendeteksi permasalahan di Jiwasraya sejak 2004. Saat itu Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) -- lembaga cikal bakal OJK -- sudah memperingatkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham mayoritas Jiwasraya. “Ujung-ujungnya harus disuntik modal. Tapi kelanjutannya enggak pernah terjadi,” kata Wimboh dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantor baru OJK Solo, Jawa Tengah, Ahad, 16 Februari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanpa suntikan modal, Jiwasraya berupaya memperbaiki rasio kecukupan modal melalui reasuransi dan revaluasi aset. Setelah berjalan beberapa tahun, kedua cara itu rupanya tidak mujarab untuk mengobati likuiditas Jiwasraya yang bermasalah. “Tidak menambah cash flow. Maka dibuatlah saving plan pada Desember 2012,” ujar pria yang pernah terlibat dalam proyek reformasi perbankan pascakrisis moneter 1997-1998 ini. Saving plan inilah yang, menurut dia, menjadi pangkal persoalan baru di Jiwasraya.

Wimboh, yang menjabat Ketua Dewan Komisioner OJK menggantikan Muliaman Hadad sejak Juli 2017, menampik tudingan bahwa lembaganya mengabaikan pengawasan terhadap Jiwasraya. Bahkan OJK sejak awal berdiri telah menghentikan reasuransi Jiwasraya pada Januari 2013. Ia mengatakan skandal Jiwasraya bisa terjadi karena absennya ekosistem di pasar uang untuk asuransi. Ini berbeda dengan sektor perbankan yang punya mekanisme pasar uang antarbank (interbank call money) untuk bank yang kesulitan likuiditas.

Wimboh menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Ahmad Rafiq, setelah mensosialisasikan bank wakaf mikro di Pesantren Ibnu Maktum, Karanganyar, Jawa Tengah. Selama hampir dua jam, ia membicarakan persoalan Jiwasraya dan perusahaan asuransi lain, maraknya perusahaan investasi bodong, hingga menjamurnya jasa pinjaman online.

Sejak kapan OJK mengendus indikasi permasalahan di Jiwasraya?

Waktu itu, ketika masih Bapepam-LK, sudah ada komunikasi dengan Kementerian BUMN pada 2004. Mereka sudah mengingatkan pengurus (Jiwasraya) dan menyampaikan ke pemilik, yaitu Kementerian BUMN. Ujung-ujungnya harus disuntik modal. Tapi kelanjutannya enggak pernah terjadi. Barangkali waktu itu masih percaya diri dengan cara lain bisa dilakukan.

Cara apa yang ditempuh saat itu?

Memperbaiki rasio kecukupan modal. Ini berkaitan dengan neraca keuangan, caranya dengan reasuransi pada 2008. Itu sementara dan ada bisnis lain untuk menutup kekurangannya. Tapi praktiknya, bisnis normalnya selalu tidak berhasil. Pada 2012, otoritas waktu itu, Bapepam-LK, menyatakan harus dicari cara lain. Solusinya bukan disuntik, tapi revaluasi aset. Pada tahun itu pula likuiditasnya bermasalah. Digenjot dengan metode penjualan asuransi umum yang lebih agresif, tapi ternyata enggak bisa juga. Maka dibuatlah saving plan pada Desember 2012.

Produk tersebut hanya dibuat oleh Jiwasraya?

Saving plan bukan hanya dilakukan Jiwasraya. Itu produk simpanan yang digabung dengan proteksi. Klausulnya menjanjikan pendapatan tertentu, dalam jumlah tertentu, dalam kurun waktu tertentu. Seperti deposito dan dijual melalui beberapa bank. Namanya bermacam-macam tapi intinya sama. Ini yang disebut bancassurance. Waktu saya di Bank Indonesia, terjadi perdebatan yang sangat panjang, apakah ini diperbolehkan. Akhirnya bank boleh menjual bancassurance, tapi dengan beberapa catatan, tata kelolanya harus bagus, nasabah harus betul-betul tahu bahwa ini bukan produk bank. Kalau produk bank dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sedangkan ini tidak dijamin. Saving plan itu bukan murni produk asuransi.

Apakah Jiwasraya tidak pernah diingatkan?

Sudah diingatkan Bapepam-LK bahwa itu harus ditinjau rutin.

Bagaimana peran OJK dalam kasus ini setelah terbentuk?

Peran OJK, ya mengingatkan Jiwasraya. Sejak Januari 2013, OJK menghentikan reasuransi. Komunikasi itu sudah dilakukan.

Sejak kasus Jiwasraya mencuat, OJK disorot karena fungsi pengawasan yang dinilai tidak berjalan padahal dugaan pelanggaran telah berlangsung lama.

Sekarang kan sudah dibuka. Dan itu merupakan kesepakatan dan pembicaraan seluruh komponen, baik Jiwasraya, Kementerian BUMN, dan OJK. Apakah harus ditutupi? Kan enggak. Justru sebenarnya inilah waktunya. Kalau ditanya kenapa dulu kok enggak diawasi, ya tanya (pengurus OJK) yang dululah.

Apakah OJK tidak berwenang mengintervensi perusahaan asuransi yang bermasalah?

Kalau itu, kewenangan kami jelas, termasuk ketentuan yang nanti harus kami buat. Sekarang exit policy-nya saja enggak jelas. Misalnya, kapan harus setor modal tapi tidak bisa setor. Maka dilakukan pengawasan intensif, lalu diberi waktu berapa bulan. Kalau enggak, pengawasannya ditingkatkan menjadi pengawasan khusus, lalu diberi waktu beberapa bulan. Kalau di perbankan selama tiga bulan. Di asuransi belum ada ketentuannya. Ini yang mau kami buat.

Sejauh mana OJK bisa menindak perusahaan asuransi yang bermasalah?

OJK punya otoritas. Sebenarnya kalau mereka bandel, siapa pun, baik pemerintah maupun swasta, ya kami cabut izin usahanya. Dan sudah ada yang dicabut, misalnya PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya.

Apakah sanksi pencabutan izin bisa diterapkan untuk perusahaan asuransi besar?

Mau gede atau kecil sama saja. Tapi kami mengertilah, Jiwasraya itu milik pemerintah. Pemerintah kalau mau menyuntikkan modal pasti ada proses yang kami tidak ketahui. Itu di luar koridor OJK.

OJK tidak terlibat sejauh itu?

OJK tugasnya mengingatkan pengurus (Jiwasraya) untuk setor. Kalau tidak disetor bahaya. Tinggal bagaimana pengurus meyakinkan pemilik.

Apa respons pengurus Jiwasraya?

Sekarang ini yang formal adalah pembentukan anak perusahaan yang bisa menjaring uang sekitar Rp 3 triliun. Anak perusahaan itu dijual dan diberi konsesi untuk meng-cover asuransi untuk jangka waktu berapa tahun ke depan, ya asuransi-asuransi bisnisnya BUMN. Ini sedang dalam proses. Kami beri tenggat anak perusahaan itu terjual bulan Maret.

Apakah sebelumnya Jiwasraya menyiapkan skenario lain?

Skenario Jiwasraya itu skenario bisnis. Ini enggak bisa dengan skenario bisnis normal. Mau marketing sampai jungkir balik juga enggak bisa. Menyewa orang untuk marketing, akhirnya juga saving plan lagi yang dijual.

Seperti apa komunikasi OJK dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan soal Jiwasraya?

Kalau soal cara pemerintah menyuntik, itu kewenangan pemerintah. OJK tidak ikut-ikutan. Kalau diskusi dan bertukar pikiran kan masih sangat tertutup.

Ketika Anda bergabung dengan OJK, bagaimana pengawasan terhadap lembaga-lembaga keuangan non-bank?

Kami tahu pada saat masuk ada beberapa (kasus), seperti Bumiputera, sekarang sedang ditangani. Bahkan penjualan asetnya dulu sudah kami batalkan karena menjual aset tapi tidak ada cash flow.

Bagaimana dengan kasus di PT Asabri (Persero) dan PT Taspen (Persero)?

Soal Asabri dan Taspen ada Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2015 tentang pengawasan eksternal dilakukan bukan oleh OJK, tapi empat lembaga lain.

(Berdasarkan Pasal 54 PP Nomor 102 Tahun 2015, pengawasan eksternal terhadap Asabri dan Taspen dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pertahanan, Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri, Inspektorat Jenderal TNI, Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, dan auditor independen)

OJK tidak mengawasi Asabri dan Taspen?

Berdasarkan peraturan, enggak. Peraturan pemerintah itu keluar setelah Undang-Undang OJK. Undang-Undang OJK kan umum, penjelasannya didetailkan lewat peraturan pemerintah. Apakah peraturan itu bertentangan dengan undang-undang, silakan didiskusikan. Tapi selama perusahaan itu non-profit dan dimiliki pemerintah, kalau kami awasi dengan kaidah-kaidah perusahaan profit, ya tidak akan cocok.

Jadi OJK sudah menjalankan pengawasan maksimal terhadap Jiwasraya?

Sebenarnya sangat tergantung bagaimana pengurus Jiwasraya meyakinkan pemilik untuk mencari solusi, menghasilkan cash flow bagi perusahaan.

Apakah kasus Jiwasraya berimbas ke pasar asuransi secara luas?

Ini ukurannya jika dibandingkan industri secara keseluruhan enggak begitu besar. Cuma kegaduhannya itu harus terukurlah.

Seberapa besar dampaknya?

Kalau kita lihat pertumbuhannya, asuransi secara umum masih tinggi. Secara sistem tidak terlalu mengganggu.

(Data OJK per Desember 2019, aset Jiwasraya Rp 22,03 triliun, sedangkan aset industri asuransi Rp 1.371,2 triliun dan aset industri keuangan Rp 11.300,14 triliun).

Bagaimana jika gagal bayar terus berlangsung?

Yang terkena dampak adalah pemegang polis.

Bagaimana OJK mengantisipasi skandal seperti Jiwasraya itu tidak terulang?

Yang diperbaiki sekarang bukan hanya asuransi, tapi juga ekosistem sektor keuangannya. Kalau bank ada kesulitan likuiditas, ada mekanisme interbank call money, ada repurchase agreement (Repo) kepada Bank Indonesia. Tapi asuransi enggak ada. Ekosistemnya juga tidak ada. Jadi yang dilakukan ya nabrak ke sana ke mari pakai saving plan itu. Saving plan kalau suku bunganya enggak normal kan orang tertarik.

Ekosistem seperti apa yang akan dibentuk?

Ekosistem pasar uang untuk asuransi melalui pasar modal. Itu harus dan segera.

Setelah itu apa lagi?

Sumber dananya. Investasinya diperbaiki, mekanisme right issue harus transparan dan benar. Right issue itu supaya saat mengeluarkan apa pun instrumennya, apakah penawaran saham perdana atau instrumen lainnya, tata kelolanya betul-betul dijaga, tidak terlalu agresif, sesuai dengan realitas bisnis sehingga tidak ada unsur spekulatif.

Berarti penjualan saving plan sudah dilarang?

Khusus Jiwasraya tidak boleh. Kalau perusahaan asuransi lain masih bisa, tapi dipantau.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (6/2/2020)./ ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

Bagaimana dengan keberadaan manajer investasi yang nakal?

Kalau enggak diperbaiki, akan ada asuransi lain yang bakal jadi korban. Hulunya diperbaiki, termasuk perdagangannya, reksa dana. Katanya reksa dana terproteksi, tapi kalau underline-nya adalah saham, bagaimana melindungi harga saham? Kalau dia (perusahaan asuransi) berjanji melindungi harga saham, itu yang tidak boleh. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa harga saham akan naik terus dan stabil.

Apakah OJK pernah mendapat pengaduan dari nasabah Jiwasraya?

Mereka mengadu setelah kasus ini mencuat. Kalau sebelumnya enggak pernah ada. Wong dapat return tinggi kok lapor. Tapi begitu suku bunganya diturunkan menjadi 6 persen, itu setelah kami bilang suku bunganya enggak riil karena terlalu tinggi, nasabah langsung pada lari. Baru mereka lapor. Saya bilang, kalian itu pada saat menikmati bunga diam-diam saja, tapi begitu bunganya diturunin melapor ke OJK.

Siapa mayoritas pemegang polis asuransi Jiwasraya?

Ada dua. Kalau saving plan masyarakat kelas menengah ke atas. Karena saving plan yang disasar yang nilainya miliaran. Tapi korban gara-gara saving plan adalah proteksi yang kecil-kecil, mereka yang membutuhkan uang untuk menyekolahkan anak.

Penanganan kasus ini telah menyingkap borok Jiwasraya di mata publik. Bagaimana tanggapan Anda?

Ini momentum yang bagus untuk membenahi sektor keuangan secara menyeluruh. Saya berjanji mereformasi sektor industri keuangan non-bank termasuk ekosistemnya. Saya yakin industri asuransi akan kuat seperti industri perbankan. Saya melibatkan teman-teman yang dulu menjadi anak buah saya saat mereformasi perbankan. Kami lakukan seperti dulu di perbankan, dengan penyesuaian sedikit-sedikit.

Apakah kewenangan OJK kurang kuat?

Kewenangan OJK cukup kuat. Tapi begitu di lapangan, kami harus sangat hati-hati, terutama saat ada masalah. Kewenangan penyelamatan dan penyelesaian ada di pengurus dan pemilik perusahaan, bukan otoritas (OJK). Jadi kalau ada orang nagih, nagihlah kepada pengurus. Kalau pengurus tidak punya duit, mintalah ke pemilik. Tugas pengawas hanya memonitor.

Anda pernah menyebutkan lembaga keuangan non-bank belum tersentuh reformasi. Bagaimana OJK menjalankan reformasi itu?

Sebenarnya untuk reformasi LKNB (lembaga keuangan non-bank) secara internal sudah kami nyatakan dan sampaikan ke publik pada awal 2018. Dewan Komisioner OJK yang baru memulai program inisiatif reformasi LKNB. Tapi ini memang harus cepat.

Seperti apa inisiatifnya?

Mulai dari regulasinya akan kami tinjau dan betulkan. Lalu cara pengawasannya. Bahkan sistem laporan, panduan manajemen risiko, tata kelola, serta menyiapkan penjaminan polisnya. Meskipun ini diamanatkan undang-undang dan pemrakarsanya Kementerian Keuangan, OJK akan proaktif menyiapkan itu. Semacam LPS tapi untuk asuransi.

Apa bedanya dengan LPS?

Kalau LPS kan simpanannya yang dijamin. Kalau ini pemegang polisnya yang dijamin.

Apa saja yang dilakukan untuk mewujudkannya?

Kami sudah mulai memperketat batas maksimum pemberian kredit. Kami juga akan melihat manajemen risikonya. Semuanya harus ada dan dituangkan dalam rencana bisnis tahunan. Selama ini belum ada proyeksi cash flow. Belum dilaporkan secara harian. Ini likuiditas, kalau mismatch bisa bahaya.

* * *

Mengapa perusahaan investasi bodong terus bermunculan dan memakan korban?

Ini ibarat dalam satu masyarakat kenapa masih ada orang nyolong sandal. Kenapa masih ada begal motor di jalan. Jadi yang kami lakukan antara lain mengedukasi masyarakat. Ibaratnya siraman rohanilah, supaya tebal imannya. Tidak mudah tergoda angka dan pendapatan.

Bagaimana OJK melindungi masyarakat yang terjerat jasa pinjaman online?

Kami melindungi dengan cara mengedukasi dan memediasi kalau ada perselisihan. Jadi bukan mengganti uangnya. Jasa pinjaman online ada yang legal dan tidak. Yang legal wajib membuka identitasnya, harus meyakinkan bahwa dia tidak hit and run, dan harus anggota asosiasi (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia). Kalau anggota asosiasi harus patuh terhadap kesepakatan. Bagi yang tidak mau, risikonya ditutup.

Apa yang harus dilakukan masyarakat agar tak terjebak investasi bodong?

Kami hanya memperingatkan masyarakat, jangan hanya melihat suku bunga. Makanya untuk masyarakat kecil, OJK menyediakan platform pembiayaan yang murah tanpa jaminan, yaitu melalui bank wakaf mikro. Tujuannya bukan hanya sekadar memberi pembiayaan, kami juga membina, satu kelompok ada 20 orang. Mereka menggunakan dana wakaf, bukan dana komersil. Lantas kami ciptakan lembaga keuangannya. Ini seperti mediator antara filantropi yang punya duit dengan orang kecil yang tidak bisa mengakses keuangan formal.

Bagaimana Anda menanggapi praktik shadow banking di Indonesia?

Shadow banking (lembaga keuangan non bank yang bertindak seolah bank) tidak selalu jelek. Shadow banking itu yang online, tidak bisa kita hindari karena perkembangan teknologi digital. Kalau enggak disediakan provider di Indonesia, dari Singapura atau negara lain pasti masuk. Tapi OJK juga mengawasinya karena produk keuangan. Kalau di luar negeri malah dibiarkan karena itu bentuk inovasi. Tapi kalau rugi jangan ribut. Cuma di Indonesia kalau rugi pada ribut.

 

•••

WIMBOH SANTOSO | Tempat dan Tanggal Lahir: Boyolali, Jawa Tengah, 15 Maret 1957 | Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret (1983), Magister Administrasi Bisnis di University of Illinois, Amerika Serikat (1993), PhD bidang Financial Economics di Loughborough University, Inggris (1999) | Karier: Kepala Perwakilan Bank Indonesia di New York (2012), Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan di Bank Indonesia (2010-2012), Kepala Perwakilan Bank Indonesia di New York dan Direktur Eksekutif International Monetary Fund (2013), Komisaris Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (2015), Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (2016), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (2017-2022).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus