Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Niat Menyejahterakan Saja Tidak Cukup  

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Mohammad Choirul Anam menyoroti komitmen pemerintah Presiden Jokowi Widodo dalam penegakan hak asasi manusia. Komnas HAM kembali memberikan rapor merah kepada Presiden Jokowi karena ia dianggap tidak serius menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Setidaknya ada sebelas kasus HAM berat yang menunggu disidangkan. Salah satunya tragedi Paniai berdarah yang terjadi pada periode pertama kekuasaan Jokowi. Namun Kejaksaan Agung tidak pernah menaikkan status kasus itu ke penyidikan. Pemerintah Jokowi juga dihadapkan pada maraknya konflik agraria karena program pembangunan infrastruktur. Komnas HAM juga mendesak pemerintah segera menyelesaikan kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, Papua.

19 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komnas HAM kembali memberikan rapor merah kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dinilai tak serius menyelesaikan 11 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

  • Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menyoroti kebijakan pembangunan infrastruktur Jokowi yang banyak memicu konflik agraria dan pelanggaran hak-hak sipil.

  • Choirul Anam mendesak Presiden Jokowi segera menuntaskan kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, Papua, dan tragedi Paniai.

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia kembali memberikan ponten merah kepada Presiden Joko Widodo atas komitmennya dalam menegakkan hak asasi manusia. Alih-alih menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua justru diwarnai pelanggaran hak-hak sipil akibat pembangunan infrastruktur. “Jokowi harus hati-hati agar tidak menjadi bagian dari lingkaran perampasan kesejahteraan rakyat,” kata Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam dalam wawancara khusus dengan Tempo, Senin, 7 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anam, 43 tahun, mengatakan pembangunan infrastruktur di era Jokowi telah memicu banyak konflik tanah. Sepanjang 2014-2019, misalnya, lebih dari 30 persen kasus yang diadukan ke Komnas HAM adalah konflik agraria. Komisi menerima 196 aduan kasus agraria sepanjang 2018-April 2019. Selama masa pandemi, konflik agraria menjadi salah satu persoalan yang paling banyak dilaporkan ke Komnas HAM. Masalah makin pelik karena sebagian konflik dipicu sejarah peralihan tanah yang bermasalah di era Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain menanggung sederet persoalan kontemporer itu, Jokowi mewarisi seabrek pekerjaan rumah penuntasan kasus HAM berat masa lalu. Setidaknya ada sebelas kasus pelanggaran HAM berat yang belum dinaikkan statusnya ke penyidikan. Bahkan kejaksaan telah dua kali mengembalikan berkas penyelidikan tragedi Paniai di Papua. Padahal Jokowi telah mewanti-wanti Jaksa Agung agar menuntaskan kasus yang terjadi pada periode pertama pemerintahannya itu. “Jaksa Agung seperti meletakkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di dalam peti,” ujar Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM tersebut.

Wajah penegakan hukum dan HAM era Jokowi tahun ini makin muram selepas kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua, September lalu. Anam, yang memimpin tim penyelidikan kasus itu, terjun ke Hitadipa selama satu pekan untuk mengumpulkan bukti dan keterangan saksi. Pada Senin, 16 November lalu, Komnas HAM menyerahkan laporan hasil penyelidikan itu kepada Presiden Jokowi. Laporan yang sama sebelumnya diserahkan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md.

Anam menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Abdul Manan, dan Raymundus Rikang, dalam dua kesempatan, yaitu pada Selasa, 17 November, dan Senin, 7 Desember lalu. Mantan pengacara keluarga aktivis HAM Munir Said Thalib ini menjelaskan terancamnya hak-hak masyarakat akibat program infrastruktur serta penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang mandek. Ia menengarai ada upaya pemerintah menutup semua kasus pelanggaran HAM berat masa lalu agar tidak jelas agenda keadilannya.

Di sejumlah daerah, proyek pembangunan infrastruktur terus menuai konflik horizontal dengan masyarakat setempat. Bagaimana catatan Komnas HAM?

Salah satu tantangan besar program infrastruktur Jokowi adalah jangan sampai melupakan masa lalu soal tanah. Sebab, hampir semua program infrastruktur berhubungan dengan tanah. Presiden dengan berbagai program infrastrukturnya harus hati-hati agar tidak menjadi bagian dari lingkaran perampasan kesejahteraan rakyat. Jika Pak Jokowi bercita-cita menyejahterakan rakyat melalui infrastruktur, ingatlah sejarah tanahnya. Itu menjadi kunci.

Apa persoalan utama dalam pelepasan tanah untuk proyek nasional di masa lalu?

Selama era Orde Baru, urusan pelepasan tanah untuk proyek nasional mempunyai berbagai masalah. Ada cerita warga yang dipaksa melepaskan tanahnya. Benar-benar dirampas. Ada yang dibayar tapi sangat kecil.

Bagaimana seharusnya pelepasan tanah dilakukan?

Tidak mungkin ada peralihan hak tanpa ada kesukarelaan. Misalnya Anda memiliki tanah, bisa dilepaskan dengan jual-beli, hibah, atau waris. Jika ada unsur pemaksaan, berarti ada rezim yang sedang berjalan. Makanya pendekatan soal konflik tanah jangan semata-mata melihat dokumen tertulis. Hal itu bisa melukai sejarah masa lalu pemilik tanah yang dulu menghadapi rezim totaliter. Banyak proyek nasional, terutama di Indonesia timur, yang seperti itu pada 1990, 1991, dan 1993.

Seperti apa contohnya?

Kawasan Mandalika, misalnya, salah satu proyek besar yang dulu asetnya disita Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Itu tanahnya kosong karena pemiliknya bangkrut, lalu disita dan dijadikan aset negara. Gara-gara berstatus aset negara, lantas dijadikan proyek nasional. Muncul sengketa di sana. Ada badan usaha milik negara yang tidak mau melepas, pemerintah menyatakan bahwa itu milik negara, masyarakat juga mengklaim tanah itu milik mereka.

Bagaimana dengan proyek revitalisasi Danau Toba sebagai destinasi wisata baru?

Kawasan Toba juga ada masa seperti itu. Masyarakat melepaskan tanahnya kepada pemerintah untuk dibuat hutan. Setelah itu, tiba-tiba berubah menjadi nonhutan yang akhirnya dimiliki Perum Perhutani sampai sekarang. Makanya masyarakatnya juga menuntut. Kami sedang menangani kasusnya.

Apa yang semestinya dilakukan pemerintah sebelum menggarap proyek strategis di wilayah dengan status kepemilikan tanah seperti itu?

Pemerintah harus membuka ruang investigasi baru. Orang-orang yang punya cerita bahwa mereka dulu mempunyai tanah di lokasi itu harus diberi ruang untuk menjelaskan. Pak Jokowi jangan membayangkan masyarakat pada waktu itu bisa leluasa ngomong seperti sekarang.

Bagaimana jika penduduk setempat mengklaim tanpa memegang dokumen resmi kepemilikan tanah?

Paradigmanya harus dibalik. Yang didorong adalah investigasi terhadap cerita historisnya. Kalau patokannya pegang dokumen, ya masyarakat pasti kalah. Maka status hak atas tanah harus clear. Sebab, orang kerap lupa bahwa zaman dulu ada pemaksaan. Rezim totaliter saat itu adalah rezim yang menafikan hak kepemilikan. Akhirnya, negara dan pemerintah kuat secara prosedur dan dokumen. Karena ini kebijakan rezim pemerintah waktu itu, seluruh infrastruktur pasti mengikutinya, termasuk Badan Pertanahan Nasional.

Apakah memungkinkan bagi pemerintah menggelar dialog dengan warga dan menelusuri faktor sejarah tanah calon lokasi proyek infrastruktur?

Kenapa tidak mungkin? Ini bukan pekerjaan dari nol. Pemerintah bisa memanggil Komnas HAM dan kami bisa memberikan datanya. Lembaga Bantuan Hukum bahkan memiliki dokumen sejak 1970-an. Rekam jejak soal status tanah di desa-desa dan Badan Pertanahan Nasional ada semua.

Penelusuran sejarah masa lalu tanah tentu memerlukan waktu. Bukankah hal itu justru memicu tarik-ulur dan menghambat pembangunan proyek infrastruktur?

Pak Jokowi bukan presiden yang memimpin negara yang siap pakai. Dia punya beban masa lalu untuk menghadapi kebijakan-kebijakan yang salah waktu itu. Ya mau tidak mau harus bersabar. Buat apa cepat-cepat kalau masyarakat yang tinggal paling dekat saja akhirnya gagal menikmati infrastruktur itu. Logika Pak Jokowi seperti logika negara-negara yang sedang membangun dengan pilihan rezim developmentalisme. Ingin mendekatkan semua saluran investasi, modal, pasar ke pintu halaman setiap masyarakat. Tapi kalau mereka yang paling dekat tidak bisa menikmati pembangunan itu, lalu infrastruktur ini untuk siapa?

Bukankah pemerintah selalu mengatakan infrastruktur dibangun untuk mendorong masuknya investasi?

Mengejar investasi sebenarnya sederhana. Ada hitungan strategis dan hitungan nilai. Kalau kedua hitungan itu masuk, seharusnya negosiasi dengan masyarakat lebih gampang. Infrastruktur kan proyek strategis nasional. Artinya bukan proyek rugi. Ya, bernegosiasilah dengan masyarakat dengan paradigma ini proyek yang sama-sama menguntungkan. Pemerintah bisa memiliki warisan yang baik. Masyarakat saat ini bisa memperoleh manfaat dari program itu. Masyarakat di masa depan juga diuntungkan karena arus produksi, modal, dan perdagangan jadi lancar.

Pemerintah juga beralasan infrastruktur bakal menggerakkan ekonomi masyarakat.

Kita bisa belajar dari Amerika Latin. Saat proyek infrastruktur dibangun, penduduk aslinya tersingkir. Fenomena serupa menimpa penduduk Indian di Amerika Serikat. Yang terjadi di Indonesia sekarang persis film koboi. Film koboi itu isu utamanya adalah membangun jalur kereta api. Sekali jalur kereta api dibuka, berkelindanlah urusan perampasan tanah, kerugian orang yang beternak, angka kriminalitas tinggi, budaya lokal hilang karena pendatang. Pemilik lahan gigit jari. Pak Jokowi tidak cukup hanya dengan niat menyejahterakan masyarakat, tapi caranya harus benar.

Choirul Anam (tengah) saat memberikan keterangan pers soal kasus HAM di Jayapura, Sabtu, 17 Oktober 2020. Antara/Alfian Rumagit

Apakah pendekatan pemerintah dalam program pembangunan infrastruktur belum tepat?

Presiden Jokowi sudah berusaha membereskan persoalan tanah. Yang terakhir adalah menunjuk Surya Tjandra sebagai Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN yang spesialisasinya mengurusi penyelesaian konflik agraria. Pendekatan itu boleh-boleh saja. Tapi salah satu yang paling penting dilakukan adalah mendengarkan suara masyarakat. Di situlah pentingnya partisipasi.

Dalam catatan Komnas HAM, bagaimana pola dugaan pelanggaran HAM dalam konteks pembangunan infrastruktur?

Penggunaan aparat tidak terlalu dominan. Biasanya aparat datang ketika terjadi ketegangan dengan masyarakat. Yang paling dominan adalah tata kelola pembebasan tanah. Itu menjadi cerminan. Partisipasi masyarakatnya rendah. Partisipasi nanti turunannya pada negosiasi yang juga rendah. Biasanya proyek jalan terus. Kalau ada benturan, baru dibawa ke pengadilan. Nantinya berujung konsinyasi atau sengketa. Bayangkan kalau ternyata yang disengketakan adalah tanah-tanah yang dulunya dirampas pada era Orde Baru. Pasti masyarakatnya tak punya data. Apalagi rezim pembuktian kepemilikan tanah tidak mengakui bukti-bukti nondokumen.

Bagaimana mencari titik keseimbangan antara pembangunan dan HAM?

Dalam narasi HAM, pembangunan memang tidak bisa dielakkan. Makanya ada istilah right to development yang intinya pada partisipasi, tidak ada diskriminasi, dan perlindungan. Jadi pembangunan bukan cetak biru dari atas, lalu semuanya harus ikut. Perspektifnya mesti hak atas pembangunan, bukan perspektif pembangunan semata. Kita mengharapkan sentuhan Pak Jokowi untuk memastikan semua orang bisa berkembang, bukan segelintir orang.

•••

Apa yang disampaikan Komnas HAM kepada Presiden saat menyerahkan laporan hasil penyelidikan kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani?

Kami meminta ada penegakan hukum. Kasus ini sangat penting ditangani serius karena bisa membuka babak baru bagi Presiden untuk menyelesaikan berbagai masalah Papua. Babak pertamanya, di kasus Paniai, Pak Jokowi tidak maksimal. Padahal Presiden datang ke Jayapura dan bertemu dengan masyarakat Papua pada 2014. Tapi ternyata kasusnya ndak jalan. Komnas HAM mengambil alih kasus itu, ditangani dalam kerangka pelanggaran HAM berat. Sayangnya, sampai kini tidak terlihat komitmen politik Presiden untuk penegakan hukum dan HAM di Papua.

Bagaimana temuan Komnas HAM dalam kasus itu?

Kami meletakkan kematian Pendeta Yeremia tidak hanya pada momen ketika malam hari ia didatangi pelaku, mengalami penyiksaan, dan penembakan sampai meninggal. Tapi kami mengkonstruksi peristiwa dari 17 September, saat anggota Tentara Nasional Indonesia, Sersan Kepala Sahlan, tewas, lalu ada operasi penyisiran senjata. Karena senjata yang dicari tidak ditemukan, TNI mengumpulkan warga di dekat lapangan dan di depan gereja pada 19 September sekitar pukul10.00-12.00. Ada Pendeta Yeremia di situ. Mereka diancam akan dikejar-kejar kalau senjata tidak kembali. TNI juga menyebutkan lima nama, termasuk Pendeta Yeremia, sebagai anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka). TNI menyebutkan, “Kalau di gereja jadi penggembala domba, tapi kalau di luar jadi serigala.”

Apa yang terjadi setelah itu?

Begitu anggota TNI pulang ke Pos Koramil Persiapan Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Prajurit Satu Dwi Akbar Utomo tewas ditembak sekitar pukul 13.00. Tentara makin marah. Senjata tak didapat, malah anggotanya mati di posnya. Artinya, mereka memang diincar. Dari situlah penyisiran yang lebih serius dimulai, termasuk membakar rumah dinas kesehatan dan berujung pada pencarian Pendeta Yeremia. Ini semua harus dilihat dalam ratu rangkaian peristiwa.

Apa kesimpulan Komnas HAM atas serangkaian peristiwa itu?

Kematian Pendeta Yeremia memang sudah ditargetkan dan bagian dari satu operasi penyisiran senjata dan anggota OPM. Makanya dia tidak ditembak langsung mati, tapi juga mengalami kekerasan lain yang, menurut dugaan kami, dilakukan untuk mendapatkan informasi. Ini kategorinya penyiksaan. Kata “penyiksaan” adalah tone keras dalam konteks HAM.

Dari penyelidikan Komnas HAM, siapa pelaku penembakan Pendeta Yeremia?

Kami mengkategorikan dua pelaku. Pelaku pertama adalah yang mengeksekusi di lapangan, siapa pun itu, baik yang kontak fisik langsung maupun yang menjaga di tempat itu. Totalnya empat orang. Pelaku kedua adalah orang yang memberikan perintah untuk melakukan penyisiran, yang bisa jadi dia tidak ada di lokasi. Faktor lain yang juga penting adalah pengalihan isu peristiwa dan penghilangan jejak.

Apa indikasi adanya pengalihan isu peristiwa?

Baik TNI maupun polisi awalnya mengatakan pelakunya adalah OPM.

Sejauh mana klaim itu bisa dipercaya?

Kami mendapatkan informasi pelakunya bukan OPM. Tiga atau empat hari setelah kematian Pendeta Yeremia, kami langsung menghubungi keluarga korbanAda beberapa nama yang disampaikan Pendeta Yeremia kepada istrinya atau saksi lain sebelum dia meninggal. Salah satunya Alpius (Wakil Komandan Rayon Militer Hitadipa).

Bagaimana dengan upaya penghilangan jejak?

Versi awalnya, Pendeta Yeremia ditembak OPM dari jarak lebih dari 200 meter. Dari pengecekan di lokasi (kandang babi), kami menemukan 19 lubang bekas tembakan. Penembakan paling jauh 9-10 meter. Lengan kiri korban bahkan ditembak dari jarak tak lebih dari 1 meter. Ada pula bekas cekikan pada leher korban. Bukti adanya kontak fisik meruntuhkan seluruh teori tentang penembakan jarak jauh.

Apa rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden untuk menyelesaikan kasus penembakan Pendeta Yeremia?

Penegakan hukum untuk semua pelakunya.

Kasus penembakan Pendeta Yeremia dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM?

Ini peristiwa pelanggaran HAM dengan kategori penyiksaan atau bentuk kekerasan lain serta penembakan. Itu konstruksi kami. Semula kasus ini dipersepsikan orang yang mati tertembak. Kami yang pertama kali mengatakan korban mati karena kehabisan darah.

Apakah kasus ini dapat dibawa ke pengadilan HAM?

Kami mintanya pengadilan koneksitas. Pengadilan umum tidak memungkinkan karena pelakunya diduga anggota TNI dan korbannya warga sipil. Pengadilan militer untuk isu Papua, siapa yang percaya? Sebaik-baiknya pengadilan, kalau sudah tidak dipercaya, ya apa pun jadi buruk. Kalau kasus ini ditarik ke pelanggaran HAM berat, penyelidikannya paling cepat satu tahun.

Bagaimana peluang kasus ini dapat dituntaskan lewat pengadilan koneksitas?

Kami dorong walaupun jujur saja belepotan untuk bisa ke pengadilan koneksitas. Secara konvensional, pengadilan koneksitas itu pelakunya ada yang sipil dan ada yang militer. Kasus ini kan tidak. Siapa pelaku sipilnya? Ndak ada. Korbannya sipil, iya. Pelakunya diduga militer, iya. Kami sadar betul nanti ada perdebatan konsep.

Apakah pengadilan koneksitas bisa menyeret pihak selain pelaku lapangan?

Konstruksi peristiwanya akan menentukan siapa saja pelaku yang diseret. Kalau konstruksi peristiwanya hanya di sekitar Hitadipa, ya pasti cuma pelaku lapangan. Tapi kalau konstruksinya sampai gede, ya siapa pun yang sampai gede ini kena.

Mengapa Komnas HAM menyerahkan laporan hasil penyelidikan kasus ini kepada Presiden?

Untuk memastikan semua lini penegakan hukum berjalan baik karena kasus Papua bukan kasus biasa. Apalagi korbannya tidak biasa dan perhatiannya juga tidak biasa.

Apakah tidak cukup dengan menyerahkannya kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan?

Kalau ingin tone rekomendasinya kuat, ya Presiden. Harapannya, dengan Presiden inilah ada perintah eksekutif, entah ke polisi, jaksa, Panglima TNI, menteri-menteri lain, termasuk Menko Polhukam. Kami juga berharap ada perubahan, bukan hanya penyelesaian kasusnya, tapi juga tata kelola keamanan.

Tragedi Paniai telah ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat sejak 2019. Bagaimana kelanjutan penanganannya sejauh ini?

Tidak ada perkembangan. Malah mundur. Surat dari Jaksa Agung, dalam konteks pengalaman Komnas HAM untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, sangat politis. Isinya cuma satu kalimat dan substansinya rahasia. Kalau surat itu dibaca oleh Presiden, saya yakin Presiden pasti marah. Surat itu bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi mengubur pelanggaran HAM berat.

(Kejaksaan Agung mengembalikan berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat Paniai kepada Komisi Nasional HAM untuk kedua kalinya pada 20 Mei lalu.)

Jika sikap Jaksa Agung terhadap peristiwa Paniai yang relatif baru seperti itu, bagaimana dengan nasib kasus-kasus pelanggaran HAM berat lain?

Jangankan kasus Papua yang berat begitu, untuk kasus yang tidak jauh dari Istana, yaitu tragedi Semanggi I dan II, sikap Jaksa Agung seperti itu di Pengadilan Tata Usaha Negara. Untungnya, PTUN memenangkan penggugat. Saya salah satu yang ikut bersaksi. Kalau melihat persidangannya dan bukti-bukti yang diberikan kepada persidangan, menurut saya, Jaksa Agung memang sedang melawan perintah Presiden untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat.

(Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan keluarga korban tragedi Semanggi I dan II terhadap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, 4 November lalu. Menurut majelis hakim, pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat merupakan perbuatan melawan hukum.)

Peluang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Papua bagaimana?

Kami kembali menyampaikan bahwa kasus Paniai adalah pelanggaran HAM berat sesuai dengan pertemuan pada 2018. Waktu itu Komnas HAM bertemu dengan Presiden untuk membahas pelanggaran HAM berat. Presiden di depan Jaksa Agung menyatakan kasus Paniai harus diselesaikan, tapi ternyata tidak berjalan.

Bagaimana komitmen Presiden untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM?

Sebenarnya Presiden melemparkan sinyal yang sangat kuat pada 2018. Bahkan dia meminta tiga dari sekian kasus diangkat ke pengadilan. Awalnya, Presiden meminta dua kasus. Lalu kami minta ditambah satu lagi dari Indonesia barat. Jangan hanya Papua, tapi juga Aceh. Tantangan paling berat Jokowi sebenarnya adalah kasus Paniai. Sebab, selain kasus itu terjadi di era kekuasaannya, Jokowi berjanji langsung kepada masyarakat Papua di Jayapura pada 27 Desember 2014.

Tiga kasus itu apa saja?

Enggak disebutkan, tapi sampai sekarang enggak ada yang jalan.

Berarti semua kasus pelanggaran HAM berat berhenti di Jaksa Agung?

Memang. Seharusnya gentleman saja. Kalau kami dianggap tidak memenuhi syarat, keluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Tapi, jika temuan kami memang kuat, ya lanjutkan ke pengadilan atau delegasikan kewenangan kepada kami. Ini Jaksa Agung seperti meletakkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di dalam peti. Makin lama gemboknya makin ditambah terus.

Berapa total kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani Komnas HAM?

Ada sebelas kasus. Saya sudah menyelesaikan (penyelidikan) kasus Paniai, dua kasus di Aceh, dan pembunuhan dukun santet 1998-1999.

Apa kendala dalam penuntasan kasus Paniai?

Kejaksaan Agung mengatakan kami kurang bukti. Padahal kami mendapatkan semua bukti dari tim Menko Polhukam yang menggali semua fakta terjadinya kasus Paniai. Ada tiga Menko Polhukam yang menjabat saat itu, yaitu Tedjo Edhy Purdijatno, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Wiranto. Kami memeriksa dua orang di antaranya.

Siapa saja?

Yang satu memberikan jawaban tertulis. Satu lagi datang ke Komnas HAM dan mengatakan yang melakukan adalah si A. Orang dengan kapasitas mengambil kebijakan ketika itu sudah mengatakan demikian, tapi kami dikatakan tidak punya cukup bukti. Menurut saya, ini soal political will.

Bukankah penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah jalan di tempat sebelum era Presiden Jokowi?

Kalau ada barang lama yang enggak kunjung selesai lalu Pak Jokowi bisa menyelesaikannya, namanya pasti akan harum dan dikenang dunia. Tapi jika dia tidak mau mengambil bola panas, rakyat akan selalu mempertanyakan apa yang dilakukan Jokowi sewaktu menjabat presiden.


MOHAMMAD CHOIRUL ANAM | Tempat dan tanggal lahir: Malang, Jawa Timur, 25 April 1977 | Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang (2001) | Karier: Volunter Divisi Buruh Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) (1999-2001), Koordinator Divisi Buruh YLBHI Region Jawa-Bali (2000-2001), Kepala/Direktur Divisi Buruh YLBHI (2001-2002), Kepala Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Voice of Human Rights (2002-2003), anggota staf Human Rights Working Group (HRWG) (2003-2004), Deputi Direktur Eksekutif HRWG (2004-2016), pelaksana tugas Direktur Eksekutif HRWG (2011-2012), anggota tim legal Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) (2004-2010), Sekretaris Eksekutif KASUM (2010-2017), Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2017-2022)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus