TEMPO.CO, Jakarta - Yusmanidar, 50 tahun, tak bisa lagi menahan diri. Di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta, tangis perempuan paruh baya itu meledak ketika melihat foto jasad dua anaknya, Faisal Akbar, 14 tahun, dan Budri M. Zen, 17 tahun, diperlihatkan kepada wartawan.
Datang dari kampungnya di Desa Sijunjung, Sumatera Barat, janda empat anak itu, Rabu, 11 Januari 2012 kemarin mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta. Didampingi putra sulungnya, Didi Firdaus, dan pengurus LBH Padang, ia melaporkan kejanggalan kematian dua anak lelakinya di tahanan Kepolisian Sektor Sijunjung, Sumatera Barat, Kamis, 28 Desember 2011.
"Saya tak yakin mereka gantung diri. Bukan seperti itu anak saya," kata Yusmanidar, terbata-bata. "Karena itu, saya ke Jakarta. Saya ingin mencari kebenaran dan keadilan."
Semua bermula pada 21 Desember 2011 ketika Yusmanidar mendengar anak bungsunya, Faisal, digelandang ke kantor Polsek Sijunjung. Faisal dituduh mencuri kotak amal di Masjid Nagari Pulasan, Kecamatan Tanjung Padang, Kabupaten Sijunjung.
Firasat Yusmanidar semakin tak menentu ketika esok harinya ia mengajak Didi menengok Faisal. Begitu melihat ada memar di punggung Faisal, Yusmanidar langsung lemas. Apalagi anak bungsunya itu juga menutupi kakinya dengan plastik. "Saat itu Faisal juga tak bisa berdiri tegak," kata Didi. "Kepada saya, ia mengaku disiksa polisi."
Melihat kondisi ibunya, Faisal buru-buru minta ibu dan kakaknya segera pulang. "Dia tidak ingin kami melihat dirinya disakiti," kata Didi.
Penderitaan ibu dan anak itu semakin bertambah. Hanya tiga hari sebelum tahun berganti, Didi mengaku menerima kabar bahwa dua adiknya mati gantung diri di sel polisi. Selain Faisal, kakaknya, Budri M. Zen, 17 tahun juga ikut bunuh diri. Budri dicokok polisi karena dituduh mencuri sepeda motor, empat hari setelah mereka menjenguk Faisal di kantor polisi.
Saat polisi menyerahkan dua jasad adiknya, Didi mengaku curiga. Selain berbelit-belit dan membuat mereka menunggu lama, Didi diminta polisi Sijunjung meneken surat perdamaian. Surat tanpa kop polisi itu intinya meminta keluarga tak menuntut polisi.
Kecurigaan Didi terbukti ketika jasad dua adiknya dibawa ke rumah. Sekujur tubuh Faisal tampak lebam, telinganya hijau, leher merah, dan hidung terus mengeluarkan darah. "Jempol kakinya pecah," tutur Didi.
Kondisi Budri jauh lebih mengenaskan. Selain sekujur tubuhnya lebam, gigi Budri rontok. Bahkan, kepalanya pun tak bisa dimiringkan.
Merasa janggal, Yusmanidar dan anaknya membawa jasad Faisal dan Budri untuk diotopsi. "Kami juga minta polisi terbuka dan mengakui bahwa anak kami meninggal bukan karena gantung diri," kata dia. Karena pihak polisi tetap berkeyakinan bahwa kedua remaja ini gantung diri, anak dan ibu itu pun nekat ke Jakarta. Selain ke Komisi HAM dan KPAI, mereka juga akan mendatangi Mabes Polri dan DPR. "Saya menuntut keadilan" ujarnya. "Saya hanya ingin polisi yang menganiaya anak saya dihukum. Itu saja," kata Yus.
| WIDIARSI AGUSTINA | ISTMAN MP
Berita Terkait
Ibu Kakak Adik Gantung Diri ke Mabes Polri
Komnas Menduga Ada Pelanggaran HAM di Kasus Sijunjung
Hasil Otopsi: Kakak Adik di Sijunjung Tak Bunuh Diri
Bunuh Diri Kakak-Adik di Tahanan Diragukan
Ada Memar di Jasad Kakak-Adik Gantung Diri
Polisi Tak Kompak Soal Kematian Anak Gantung Diri
Kasus Kakak-Adik Tewas di Sel Polisi Diusut Propam
9 Polisi Kena Sanksi Terkait Kasus Anak Gantung Diri
Komnas HAM Gali Kematian Tahanan Anak di Sijunjung