TEMPO.CO, Jakarta - Vihara Shia Djin Kong namanya. Tempatnya di daerah Jatinegara, di antara ramainya bangunan tempat tinggal. Di situlah wihara tempat Chandra Jaya, seorang Cina muslim, melakukan pekerjaannya.
"Wihara ini sudah berada di sini sejak 70 tahun," ujar Chandra, 35 tahun, si penjaga wihara yang biasa dipanggil Teddy, kepada Tempo di Vihara Shia Djin Kong, Jalan Bekasi Timur IX, Gang Padang, Jakarta Timur, Rabu 18 Januari 2012.
Teddy mengurus wihara ini karena merupakan warisan nenek moyangnya. Ia diberi amanat oleh ayahnya bahwa harus menjaga dan merawat wihara ini. Meski berbeda akidah dengan ayahnya yang seorang penganut Buddha, ia tetap menjalankan amanatnya.
Teddy tidak pernah ditentang ayahnya karena perbedaan keyakinan. Ia tetap bertanggung jawab sebagai penjaga wihara. Ia justru lebih tahu segala sesuatu tentang wihara dibandingkan dengan orang lain. Beberapa umat Buddha yang datang justru bertanya kepadanya mana patung yang harus disoja atau diberi hio untuk berdoa. Tapi untuk urusan menyediakan makanan yang mengandung babi, ia menolak mengurusnya. Teddy lebih menyerahkannya kepada saudaranya yang beragama Buddha.
Mengenai lunturnya tradisi Imlek pada generasi muda, Teddy prihatin dengan orang Cina yang justru melupakan tradisi leluhurnya. "Seharusnya tradisi ini jangan sampai mati obor," kata pria yang masuk Islam sejak kelas enam SD ini. Bahkan ia menambahkan seorang keturunan Cina sendiri harus saling toleransi, jangan melihat dari agamanya.
Perayaan Imlek kali ini, menurut Teddy, tidak begitu ramai dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. "Ramainya hanya pada saat perayaan Imlek, tapi kalau hari biasa pasti sepi," ujarnya. Meski begitu wihara ini memiliki kegiatan sembahyang rutin seminggu sekali pada setiap Senin dan tanggal 15 saat bulan purnama. Perayaan Imlek di Vihara Shia Djin Kong memiliki keunikan tersendiri. Pada Agustus akan diadakan Cioko, yaitu pembagian sembako kepada warga yang kurang mampu di daerah sekitar wihara.
Pada perayaan Imlek kali ini Teddy mengatakan tidak ada yang istimewa. Bahkan kali ini tidak diadakan arak-arakan secara besar-besaran. Alasannya, biaya untuk melaksanakan acara itu sangat besar. Tempat ini hanya menyelenggarakan perayaan arak-arakan secara besar kalau Vihara Amurva Bhumi, yang merupakan vihara besar di Jakarta Timur. "Kalau mereka tidak mengadakan ya kami juga tidak," ucap Teddy.
Mengenai pendiri vihara ini, yaitu Thung Jih Wie, kakek buyutnya sendiri, merupakan orang asli dari Cina yang hijrah ke Indonesia untuk mengadu nasib. "Kakek saya membuka praktek pengobatan atau shinse yang cukup banyak dikenal di sini," kata Teddy. Ia sempat mengobati salah satu anak dari tokoh Islam terkemuka di Rawa Bangke. Dalam perjalanannya ia pun membuka kelenteng Shia Djin Kong yang memiliki tuan rumah Dewa Pengobatan, Shia Djin Kong. Itulah mengapa banyak orang yang ke sini untuk meminta pertolongan dari Dewa Shia Djin Kong, salah satunya untuk minta kesembuhan dari penyakit.
INU KERTAPATI
BERITA TERPOPULER LAINNYA: