TEMPO.CO, Jakarta - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum dinilai tidak menguntungkan masyarakat. Karena, aturan tersebut telah membuat masyarakat kehilangan lahan penghasilan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari.
"Anak saya terpaksa berhenti sekolah karena saya kehilangan lahan untuk bekerja," kata Sutinah, warga pesisir Pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta dalam sidang gugatan uji materiil UU itu di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 14 Agustus 2012. Sutinah adalah saksi dari pihak pemohon.
Pengujian UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dimohonkan oleh sebuah koalisi yang menamakan dirinya Karam Tanah. Koalisi ini beranggotakan Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi, Aliansi Petani Indonesia (API), Sawit Watch, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA), Perserikatan Solidaritas Perempuan, Yayasan Pusaka, Elsam, Indonesia for Global Justice, dan Serikat Nelayan Indonesia (SNI).
Mereka memohon pengujian Pasal 2 huruf g, Pasal 9 ayat (1), Pasal 10, Pasal 14, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), Pasal 40, dan Pasal 42 karena menilai pasal-pasal tidak berpihak kepada masyarakat umum. Mereka menuding aturan itu lebih berorientasi untuk melindungi kewenangan pemerintah dalam membangun fasilitas umum, dan lebih berorientasi pada kepentingan bisnis seperti membangun jalan tol dan pelabuhan.
Sutinah menceritakan, pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah justru tidak pro masyarakat. Ia mengaku telah mengalami empat kali penggusuran lahan yang dilakukan pemerintah. "Sebelum penggusuran, Bupati Idham Samawi pada 2006 berjanji kepada warga Parangendog hingga Parangkusumo bahwa lapak-lapak pinggir pantai yang dianggap kumuh akan dihilangkan dan akan ditata," ujar Sutinah.
Kenyataannya, lokasi baru mereka justru tidak pernah digunakan karena jauh dari lokasi wisata dan jarang didatangi wisatawan. "Setelah penggusuran, perekonomian kami merosot total karena tidak ada tempat layak untuk mendapat penghasilan. Tempat yang baru jauh dari tempat wisata atau pengunjung," ujar Sutinah.
Senada dengan Sutinah, Ujang, nelayan tradisional dari Kalibaru, Jakarta Utara mengaku kehilangan 75 persen penghasilannya. Di lokasi tempat ia melaut saat ini akan dibangun Pelabuhan Kalibaru. "Saya harus memutar untuk bisa sampai pelabuhan dan artinya hanya mendapat ikan sedikit, hanya 5 kilogram per hari," ujar Ujang.
Proyek pembangunan Pelabuhan Kalibaru, kata Ujang, tidak disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat nelayan sekitar Kalibaru. "Sebagai nelayan tradisional kami terganggu karena saingan kami adalah kapal-kapal besar. Sekarang kami juga harus berputar lewat Marunda yang lebih jauh," ujarnya. Selain menurunnya penghasilan, sebagian anak nelayan juga mengalami putus sekolah.
Menurut Kurnia Warman, dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, saksi ahli yang didatangkan pemohon, harus ada keseimbangan antara hukum dan kepentingan masyarakat terkait tanah. Meski hukum harus menjamin tersedianya bidang-bidang tanah untuk berbagai keperluan terkait penyelenggaraan negara, hukum juga harus memperhatikan hak rakyat. "Hak rakyat harus dijamin kepastiannya agar tidak menjadi korban kesewenang-wenangan pemerintah dalam pembangunan," ujar Kurnia dalam persidangan.
Kurnia juga menggarisbawahi kepentingan pengadaan tanah oleh pemerintah. "Pengadaan tanah merupakan perbuatan hukum publik, maka kegiatan pengadaan tanah pada prinsipnya ditujukan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan swasta," ujarnya.
Caranya, kata Kurnia, dengan mendasarkan pada prinsip musyawarah dimana musyawarah diadakan untuk menyepakati dan menentukan bentuk dan besar ganti kerugian atas pembebasan lahan tanah.
Saksi ahli dari pemerintah, Setya Hermanto, mengatakan pembentukan UU ini justru untuk melaksanakan prinsip utama negara hukum. "Peningkatan jalan tol justru untuk meningkatkan efisiensi transportasi," ujarnya. Ia mencontohkan, dengan adanya Pelabuhan Kalibaru, sekitar 60 persen kegiatan impor akan dilakukan di sana, tentunya akan meningkatkan devisa bagi negara.
AYU PRIMA SANDI
Berita Terpopuler:
Rhoma Bebas, Ini Komentar Artis Dangdut Jatim
Pemimpin KPK Tahu Disadap Polisi
PKS Tak Konsisten? Ini Tanggapan Anis Matta
Berita Ular Piton Metro TV Diprotes
MiG-23 yang Ditembak Jatuh Beredar di Youtube
Batu Apung Seluas Israel Mengambang di Pasifik
Kapolri Sebut KPK Seperti Garong
Ini Aliran Dana Mencurigakan Djoko Susilo
Ini Alasan Polisi Tak Serahkan Kasus Simulator SIM
Mantan Istri Johnny Depp Blak-blakan Soal Cerainya