TEMPO.CO, Jakarta - Warga suku Lampung dan suku Bali di Lampung Selatan sepakat menandatangani perjanjian damai untuk saling memaafkan dan tidak saling serang, Ahad, 4 November 2012. Mereka menyepakati sepuluh poin perjanjian damai yang diteken oleh kedua belah pihak yang bertikai di atas materai.
"Mudah-mudahan dengan perdamaian ini semua perselisihan selesai dan mereka bisa hidup berdampingan," kata Sekretaris Provinsi Lampung, Berlian Tihang.
Perjanjian damai dibuat di Gedung Balai Keratun Ruang Abung Kompleks Perkantoran Pemerintah Provinsi Lampung. Hadir para tokoh adat, Sekretaris Provinsi Lampung, dan Sekretaris Kabupaten Lampung Selatan Ishak.
Acara bermaaf-maafan dan melupakan permusuhan itu diawali dengan permintaan maaf warga suku Bali di Lampung Selatan kepada suku Lampung. "Dari lubuk hati yang paling dalam dan niat setulus-tulusnya, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada saudara kami suku Lampung," Sudarsana, warga Balinuraga, membacakan surat pernyataan maaf.
Surat pernyataan maaf itu diteken sepuluh warga Bali di Lampung Selatan. Mereka adalah Made Sukintre, Wayan Gambar, Made Sumite, Nyoman Gita, Putu Supandi, Jero Gede Suti, Sudarsana, Made Karyase, Mulyana, dan Made Suka. "Kami berjanji tidak akan mengulangi segala bentuk berbuatan, atau ucapan yang dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan di antara warga Lampung Selatan suku Bali dan warga suku lainnya."
Selain meminta maaf, warga suku Bali berjanji memberi sanksi adat terhadap oknum yang menyebabkan konflik serupa terulang dengan mengusir dari desa mereka. Mereka bersedia hidup berdampingan dengan suku lain di Lampung. "Kami mengakui ada cara hidup kami yang cenderung eksklusif dan tertutup, terutama di Desa Balinuraga," kata Wayan Gambar, salah satu tokoh Adat Bali.
Usai meminta maaf, warga, terutama keluarga korban, meneken sepuluh kesepakatan damai. Mereka adalah ahli waris korban tewas dari kedua belah pihak, kepala kampung di Kecamatan Kalianda, dan Desa Balinuraga, Ketut Wardane, dan sejumlah tokoh adat. "Draf perjanjian yang ditandatangani ini merupakan kerja bertahap dan melalui proses mendekatkan antara kedua belah pihak," kata Kepala Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Sugiyarto.
Penandatanganan perdamaian sempat diwarnai aksi protes Kepala Desa Agom, Muchsin Syukur, atas ketidakadilan pemerintah dalam menangani korban luka dan pengungsi. Dia sempat menolak meneken perdamaian karena pemerintah seolah menganaktirikan warganya. "Bagaimana dengan korban luka di pihak kami yang sama sekali tidak diurus pemerintah? Hingga kini, belum ada satu pun tokoh ataupun pejabat yang iba terhadap mereka," kata Muchsin yang sempat digiring keluar ruang acara.
Muchsin mau meneken perdamaian setelah ada jaminan pemerintah untuk mengurus kerabatnya yang terluka parah di rumah sakit. Saat bertemu dengan kepala Desa Balinuraga, Ketut Wardane, keduanya saling berpelukan dan menangis. "Ini adalah pertemuan kami setelah perang itu. Pertemuan terakhir kami saat negosiasi ganti rugi insiden kecelakaan warga Agom di rumah Kepala Desa Sidoharjo, Sabtu malam, 27 Oktober 2012 lalu," kata Muchsin.
NUROCHMAN ARRAZIE
Berita Terpopuler
Sepuluh Kesepakatan Warga yang Bentrok di Lampung
Belum Aman, Polisi Tetap Jaga Balinuraga
Kapolri: Polisi Jaga Balinuraga Sampai Aman
Rekonsiliasi Lampung Selatan Masih Berproses
Aktivitas Warga Lampung Selatan Sudah Normal