TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Gabungan Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta menegaskan, aksi unjuk rasa yang digelar sopir angkutan di Jakarta tidak melibatkan organisasi pengusaha angkutan. Ketua Organda DKI, Sudirman, mengatakan aksi kali ini digerakkan oleh Forum Dewan Pimpinan Unit yang memang tidak secara resmi meminta persetujuan dari Organda DKI. "Namun, semangat mereka sama dengan kami," kata Sudirman kepada Tempo, Selasa, 20 November 2012.
Sopir angkutan menuntut Gubernur Joko Widodo mencabut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah. Tuntutan itu sama seperti agenda yang yang diusung oleh Organda DKI. Sebab, aturan itu memberatkan anggota, terutama kenaikan retribusi terhadap angkutan umum yang memasuki terminal. "Tadinya bayar Rp 100 menjadi Rp 1.000 sekali masuk untuk bus kecil dan bus sedang," katanya. "Ini sangat memberatkan."
Sudirman mengatakan, peraturan restribusi itu ditetapkan tanpa melibatkan Organda. Padahal, ada poin-poin tertentu dalam peraturan itu yang dinilai tidak adil untuk Koperasi Wahana Kalpika (KWK).
Lalu, rancangan peraturan daerah yang tengah digodok menggantikan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, juga dinilai tidak masuk akal. Karena, di salah satu poinnya disebutkan akan menggantikan bus kecil atau mikrolet dengan bus sedang.
Organda telah menyampaikan keberatan ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta pekan lalu. Dia mengatakan, rancangan itu tidak mungkin diterima. "Pasalnya, mereka akan menggantikan empat unit bus kecil menjadi satu bus sedang. Alasannya, untuk mengurai kemacetan," katanya.
Ada tiga alasan mengapa Organda DKI menolak rancangan yang memberatkan angkutan umum itu. Dia memaparkan, KWK sebenarnya dimiliki perorangan, sehingga sulit untuk menerapkan hal seperti itu. Alasan lainnya, mikrolet bisa menjangkau warga di permukiman yang sebenarnya tidak dapat dilakukan oleh bus sedang. Yang terpenting, aturan itu jika disahkan jelas akan mematikan usaha kecil, seperti mikrolet.
"Jadi, kami menolak rancangan peraturan daerah itu. Ini sangat memberatkan kami," ujar dia.
Sementara itu, Ketua Sarana dan Prasarana Organda, Rudy T.H Mihardja, mempertanyakan soal pemberian retribusi kepada angkutan umum itu. "Masak yang melaksanakan pelayanan publik dikenakan retribusi?" katanya.
Dia menjelaskan, KWK muncul karena kerja sama antara pemerintah daerah dan swasta atau public private partnership (PPP). Pemerintah daerah dinilai tidak mampu untuk melaksanakan pelayanan publik sehingga menggandeng swasta. Dalam kenyataannya, kata Rudy, angkutan umum di bawah wadah KWK ini mencari nafkah sendiri. "Sekarang pemerintah daerah malah mau ambil untung. Ini aneh," ujar dia.
Meski besaran retribusi tidak seberapa, menurut dia, mesti jelas apakah retribusi ini benar atau tidak untuk diterapkan. Dia pun menganggap aksi yang dilakukan pada Selasa ini wajar, karena pemerintah daerah selama ini dinilai tidak adil.
SUTJI DECILYA
Terpopuler:
Komite Daging Sapi Minta Bantuan Jokowi
Demo Organda, Jokowi Didesak Cabut Raperda
Lama Menghilang, Pria Ini Tinggal Kerangka
Banjir Kampung Pulo, Sebagian Besar Warga Bertahan
Pedagang Mogok, Peternakan Sapi Merugi
Injak Kulit Pisang, Anak 5 Tahun Tewas di Ciliwung