TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan ahli hukum tata negara Fajrul Falaakh, yang meninggal Rabu pekan lalu, sebagai sosok penerobos. Fajrul bukanlah sekadar sarjana kata-kata yang kini banyak beredar di Indonesia.
"Dia pemikir sekaligus aktivis. Dia out of the box dan tak terpaku dengan hukum positif. Ada moral dan political reading of constitution dalam setiap pemikirannya," kata Jimly dalam acara Tahlilan Kenegaraan "Konsisten Mengawal Konstitusi: Mengenang Almarhum Fajrul Falaakh" di kantor Komisi Hukum Nasional, Jakarta, Selasa, 18 Februari 2014.
Menurut Jimly, sulit untuk menjadi seorang pemikir hukum tata negara. Karena selain mampu membaca teks-teks hukum, dia juga harus bisa menyeimbangkannya dengan ruh-ruh keadilan. Tapi Fajrul, kata Jimly, sudah mampu melakukannya. "Kita harus melanjutkan apa yang sudah dia kerjakan," katanya.
Adik kandung Fajrul, M. Romahurmuziy yang kini menjabat Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, mengingat kakaknya itu sebagai seorang pakar hukum organik. Selain menjadi akademikus, Fajrul juga diakui sebagai aktivis. "Dia intelektual organik. Pernah ikut merumuskan Deklarasi Ciganjur bersama Gus Dur tapi menolak jabatan politik saat Gus Dur jadi Presiden pada 1999," kata Romahurmuziy.
Alasannya, "Itu bukan dunia saya," kata Romy menirukan pengakuan kakaknya kala itu.
Wakil Ketua Komisi Yudisial sekaligus sahabat Fajrul, Imam Anshori Saleh, menuturkan kekurangan Fajrul hanya pada gelarnya. Fajrul, kata Imam, sebetulnya sudah sangat layak menjadi guru besar. Tapi hingga akhir hayat, gelar akademik Fajrul baru magister. Bahkan, kata Imam, guru besar hukum Sri Soemantri dari Universitas Padjadjaran sempat menitip pesan ke Imam agar memaksa Fajrul segera menempuh doktoral karena dinilai ilmunya sudah sangat layak.
"Tapi takdir berkata lain. Cuma saya baru tahu kalau Fajrul sudah sempat menulis buku hukum tata negara setebal 800-an halaman," katanya.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan dia dan teman-temannya kini sedang menyusun naskah-naskah Fajrul yang berserakan dan belum sempat terbit. Rencananya, pada peringatan 40 hari wafatnya anggota Komisi Hukum Nasional tersebut, naskah Fajrul akan diterbitkan.
Fajrul wafat pada Rabu pekan lalu dalam usia 54 tahun. Fajrul wafat saat dalam perjalanan ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta Barat, karena seragan jantung. Pengajar di Universitas Gadjah Mada dan mantan KetuaPengurus Besar Nahdlatul Ulama itu dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, bersanding dengan makam ayahnya, Moh. Tolchah Mansoer.
Dalam tahlilan kenegaraan siang tadi, hadir sejumlah rekan, sahabat, murid, dan guru Fajrul baik dari Komisi Hukum Nasional, Universitas Gadjah Mada, dan universitas lainnya.
KHAIRUL ANAM
Baca juga:
Menunggu 9 Jam, Pengungsi Hanya Ditemui SBY 10 Menit
Rupiah Kembali Paling Perkasa Se-Asia
Alasan Risma Tak Pernah Pakai Pengawal Pribadi
Rekor Sitaan KPK: 37 Mobil Adik Ratu Atut!
Malam Ini Final Pemilihan Miss Indonesia 2014