TEMPO.CO, Jakarta -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin tak sependapat dengan anggapan bahwa pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dilakukan secara terburu-buru.
"Tidak ada cara pembahasan yang terburu-buru. Yang dikatakan 100 hari (pembahasan) itu tidak ada," kata Amir, di halaman parkir kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 27 Februari 2014. Menurut dia, masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat, tempat dibahasnya revisi beleid ini, masih sampai September mendatang.
Bahkan, kata Amir, upaya revisi KUHAP dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebenarnya telah dilakukan sejak jauh hari sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk. Dia menilai pembaharuan hukum ini perlu dilakukan. "Karena itulah kewajiban kita sebagai anggota PBB yang wajib tunduk kepada konvensi internasional tentang perlindungan hak asasi manusia."
Ihwal keberatan KPK terhadap beberapa pasal dalam revisi KUHAP, Amir berpendapat hal itu sah saja. "Itu hak daripada KPK," ujarnya. Namun, menurut dia, keberatan komisi antirasuah itu jangan sampai membunuh seluruh isi rancangan beleid. "Jadi, dalam perjalanan waktu ini, marilah, silakan, terbuka kesempatan untuk dilakukan harmonisasi."
Menurut dia, keberatan KPK atas kewenangan penyadapan yang tertuang dalam revisi KUHAP sebenarnya bisa diselesaikan. "Sekarang pun di dalam Undang-Undang KPK itu akhirnya SOP juga yang digunakan. Ke depan, kenapa tidak digunakan juga seperti itu?" ujar Amir.
Dia mengaku heran dengan keinginan KPK agar revisi beleid itu ditarik pembahasannya dari Dewan. Padahal kewenangan khusus KPK, seperti penyitaan dan penyadapan, dijamin tetap bisa dijalankan. "Kenapa mendesak begitu?" ucap Amir.
Amir justru mengajak KPK memanfaatkan tujuh bulan waktu pembahasan revisi KUHAP di parlemen untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi atas sejumlah pasal yang dipermasalahkan. "Mari kita sama-sama lihat pasal mana, karena menurut pemerintah tidak ada satu pun kewenangan khusus KPK itu yang menjadi terhalangi berdasarkan keadaan sekarang."
Sebelumnya, KPK mencurigai revisi KUHAP disponsori kepentingan para koruptor. Sebab, banyak pasal dalam naskah beleid itu yang bisa melemahkan aksi pemberantasan korupsi. "Jika revisi ini gol, padahal ada masukan yang disponsori koruptor, apa akibatnya?" kata Wakil Ketua KPK Zulkarnain kepada Tempo, kemarin.
Zulkarnain mengatakan, jika revisi KUHAP ditetapkan menjadi undang-undang, proses penyelidikan, penyadapan, dan masa penahanan akan terhambat. Padahal, ia mengaku, KPK kini babak belur dalam melakukan kerjanya. "Misalnya, KPK terpaksa mengatur penahanan agak mundur, tidak langsung saat penyidikan, supaya tidak kehabisan waktu dan tersangka bebas demi hukum."
Dua pekan lalu, Ketua KPK Abraham Samad memprotes revisi KUHAP yang diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada DPR. Samad menilai sedikitnya ada 12 pasal yang akan melemahkan kewenangan lembaganya. (Abraham Samad: KPK Akan Berlari meski dengan Satu Kaki)
PRIHANDOKO
Terkait:
KPK: Ada Hakim Pemeriksa, Ini Makhluk Apa?
KPK Khawatir RUU KUHAP Disusupi Sponsor Koruptor
Revisi KUHAP Dicurigai Ajang Balas Dendam Parpol