TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi mendesak pemerintah segera melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebab, undang-undang yang kini ada dinilai sudah tak bisa memenuhi kebutuhan pemberantasan korupsi. "Yang ada sekarang banyak kelemahannya. Sistematikanya juga menyulitkan jaksa penyidik untuk mengkonstruksi dakwaan," ujar Wakil Ketua KPK Zulkarnain dalam jumpa pers di kantornya, Jumat, 4 April 2014.
Selain itu, ancaman hukuman bagi koruptor pun terlalu rendah. Sejumlah isu dalam United Nations Convention Against Corruption yang telah diratifikasi Indonesia juga belum masuk dalam beleid tersebut. "Misalnya soal konflik kepentingan, kolusi dan nepotisme, juga korupsi sektor swasta. Itu harus diakomodasi. Jangan dibiarkan lubang-lubang itu, menyulitkan kita memberantas dan mencegah korupsi," tutur Zulkarnain.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan undang-undang itu sempat hendak direvisi saat Patrialis Akbar menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pembahasannya, ujar Busyro, tergolong diam-diam sehingga mengagetkan KPK. Apalagi, banyak pasal dalam beleid tersebut yang menghambat kewenangan KPK. "Antara lain, penuntutan dihilangkan, korupsi Rp 25 juta diampuni," ucapnya. (Baca: 9 Kelemahan Rancangan Revisi UU Tipikor Versi ICW)
Kontroversi pun merebak akibat naskah undang-undang yang mengancam kinerja KPK itu sehingga pemerintah menyetop pembahasannya. Namun, kata Busyro, sudah saatnya pemerintah melanjutkan pembahasan revisi beleid tersebut dengan melibatkan para pemangku kepentingan. "Substansi (RUU Tipikor) lebih signifikan dan relevan daripada RUU KUHAP dan KUHP, yang juga penting tapi harus dimatangkan dulu," ujarnya. (Baca: Apa Saja Obrolan Menteri Amir dan KPK Soal KUHAP?)
Hari ini, sejumlah aktivis antikorupsi menyambangi KPK untuk menyampaikan petisi daring yang sejak pekan lalu termuat di situs web www.change.org/selamatkanKPK. Petisi itu mendesak pemerintah menarik naskah RUU KUHAP dan KUHP dari DPR, karena keduanya dianggap melemahkan KPK sehingga menghambat pemberantasan korupsi. Sampai siang ini, tak kurang dari 15 ribu orang telah meneken petisi itu.
"Semut rangrang memang semuanya sangat sigap. Baru seminggu petisi dimuat, sudah 15 ribu orang yang menandatangani. Saya terharu dengan kepedulian masyarakat terhadap kasus ini dan betapa besarnya penghargaan dan harapan yang mereka miliki terhadap KPK," tutur Anita Wahid saat menyerahkan petisi itu kepada pimpinan KPK. Putri Gus Dur tersebut adalah orang yang memulai petisi itu. "Perjuangan kita enggak akan berakhir dengan buruk," ucapnya.
Semut rangrang adalah julukan yang disematkan bagi para pendukung KPK saat konflik antara lembaga antirasuah itu dan kepolisian menyeruak pada Oktober 2012. Ketika itu, KPK sedang mengusut kasus korupsi proyek simulator ujian surat izin mengemudi yang antara lain melibatkan dua jenderal kepolisian, yakni Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo dan Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo. Kepolisian mengklaim bahwa pihaknya juga sedang menangani kasus yang sama.
Kepolisian sempat menurunkan personelnya untuk "mengepung" gedung KPK dan menjemput paksa penyidik KPK Novel Baswedan yang menangani kasus simulator itu. Namun, ratusan "semut rangrang" berdatangan ke KPK untuk mencegah hal tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun meminta kepolisian tak meneruskan penyidikan terhadap Novel. (Baca: Semut Rangrang pun Mendukung KPK)
BUNGA MANGGIASIH