TEMPO.CO, Makassar - Presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla, diminta menarik Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
"Ini melemahkan sistem pemberantasan korupsi," kata Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Zulkarnain di Universitas Bosowa 45 Makassar, Kamis, 28 Agustus 2014.
Zulkarnain menyatakan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Prospek Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Pasca Pemilu 2014". Dia menjelaskan dalam RUU KUHP korupsi yang masuk dalam kategori luar biasa disamakan dengan kejahatan umum atau biasa.(Baca: Pemerintah Rampungkan Draf RUU KUHAP)
Sedikitnya, kata dia, ada 17 pasal dari Undang-Undang Tipikor saat ini tidak lagi menjadi delik korupsi dalam RUU KUHP. Antara lain, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tidak dimasukkan dalam RUU KUHP, padahal pasal ini paling banyak digunakan oleh aparat penegak hukum. RUU KUHP juga mengatur tindak pidana penyadapan. "Penegak hukum tidak mungkin melakukan penyadapan lagi sebagaimana praktik saat ini," ujar Zulkarnain.
Sedangkan dalam RUU KUHAP soal penangkapan dan penahanan harus atas izin hakim pemeriksa pendahuluan (HPP); tidak ada pembalikan beban pembuktian dalam penangangan perkara tindak pidana korupsi; penyadapan harus atas izin hakim pemeriksa pendahuluan, dan apabila tidak mendapat izin berpotensi melanggar tindak pidana penyadapan seperti yang diatur dalam RUU KUHP.
Selanjutnya, jangka waktu penahanan tindak pidana korupsi disamakan dengan tindak pidana umum hanya lima hari, padahal pengungkapan perkara korupsi sangat kompleks; kewenangan penyelidikan dihapuskan dalam RUU KUHAP; serta hakim pemeriksa pendahuluan berwenang menghentikan penyidikan maupun penuntutan perkara korupsi.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Bosowa 45, Marwan Mas, mengatakan perubahan KUHP dan KUHAP seharusnya tidak mengabaikan aspek kemanfaatan masyarakat, terlebih dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, RUU tersebut perlu direvisi kembali dengan mengubah pasal yang melemahkan KPK.
Menurut dia, bila ingin pemberantasan korupsi tetap jalan-yang menjadi tugas kepolisian, kejaksaan, dan KPK-maka semua komponen bangsa harus menolak upaya pelemahan pemberantasan korupsi. "Jokowi-JK tidak boleh mentolerir hal tersebut," ujar dia.
Anggota Indonesian Corrupption Watch, Emerson Yuntho, menilai upaya pelemahan KPK sudah direncanakan sejak lama karena KPK dianggap menjadi ancaman bagi para koruptor. Ke depannya, kata dia, KPK masih dalam posisi tidak aman karena parlemen saat ini didominasi oleh partai politik yang pernah bersinggungan dengan KPK. "Dibutuhkan dukungan secara konsisten dari masyarakat untuk mendukung KPK dan menolak pelemahan pemberantasan korupsi," kata dia.
AKBAR HADI
Baca juga:
Anggota Dewan Tersangka Korupsi Tetap Dilantik
Kajian Perampingan Kabinet Segera Disampaikan
Dianiaya Ayah, Bocah Ini Kedatangan Tamu Istimewa
Syafi'i Maarif Tidak Pernah Diundang Tim Transisi