TEMPO.CO, Kupang - Sebanyak 21 bupati dan satu wali kota di Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak pemilihan kepala daerah secara tidak langsung alias lewat DPRD. Cara ini dinilai akan merampas hak demokrasi rakyat.
"Kami sudah sepakat menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD," kata Wali Kota Kupang Jonas Salean kepada wartawan, Rabu, 10 September 2014. (Baca: Massa Koalisi Merah Putih Ingin Pilkada Langsung)
Menurut dia, pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan memakan biaya yang lebih besar ketimbang pemilihan langsung oleh rakyat. Dia mencontohkan dirinya yang mencalonkan diri sebagai wali kota hanya menghabiskan dana sebesar Rp 600 juta.
Namun, dia yakin pemilihan oleh DPRD akan membuat ongkos politik melonjak. "Bisa saja pemilihan melalui DPRD justru biayanya lebih besar," ia menegaskan.
Selain itu, pemilihan oleh DPRD akan mengebiri hak rakyat dalam berdemokrasi. Kepala daerah yang dipilih juga terkesan hanya bertanggung jawab kepada DPRD, bukan kepada rakyat. "Rakyat lebih puas jika bisa pilih pemimpinnya secara langsung," ia menegaskan.
Karena itu, ujarnya, sebanyak 21 bupati dan satu wali kota akan ke Jakarta untuk bergabung dengan asosiasi masing-masing, seperti Asosiasi Pemerintah Kabupaten dan Asosiasi Pemerintah Kota untuk menandatangani penolakan pilkada tidak langsung. "Ada sebanyak 98 wali kota dan 400 lebih bupati di Indonesia yang akan menolak pemilihan kepala daerah tak langsung," ia menegaskan.
Hal senada juga diungkap Bupati Sumba Tengah Umbu Sapi Pateduk. Menurut dia, pemilihan oleh DPRD sama dengan perampasan hak terhadap rakyat. "Karena itu, kami menolak pemilihan kepala dearah oleh DPRD," katanya. (Baca: Gerindra: Mungkin Ahok Sudah Dapat Partai Baru)
Gubernur NTT Frans Lebu Raya juga mengungkapkan hal yang sama, yakni menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD. "Pemilihan oleh DPRD kemunduran demokrasi," ia menegaskan.
YOHANES SEO
Berita Terpopuler
Jokowi Tolak Mercy, Sudi: Mau Mobil Bekas?
Ketua PBNU: Pilkada Langsung Bukan Perintah UUD45
RUU Pilkada, Jokowi Siap Terima Ahok Jadi Sekutu