TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang mengusung pemilihan tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dinilai memiliki nilai positif tersendiri.
Selama ini banyak kontroversi yang muncul atas pilihan ini karena dianggap mengambil hak demokrasi rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya.
Pengamat hukum tata negara, Ahmad Ruslan, mengatakan sistem pemilihan ini sebenarnya juga demokratis apabila ditilik dari segi tata negara, karena DPRD juga merupakan dipilih rakyat. (Baca: PPP Tegaskan Pilih Pilkada Melalui DPRD)
"Tetapi tentu lebih demokratis pemilihan langsung," ujar Ahmad. Karena pandangan pemilihan langsung lebih demokratis, maka sistem ini dianggap lebih baik daripada pilkada tidak langsung. Padahal, ada juga kekurangan dalam sistem pilkada langsung, yang sudah dijalankan selama sembilan tahun ini. Dan ini harus ditinjau ulang.
"Pertama-tama, aspek biayanya mahal, juga banyak terjadi penyimpangan seperti sogok-menyogok calon legislatif," kata Ahmad.
Sistem pilkada tidak langsung sudah pernah diterapkan di Indonesia sebelumnya, dan berakhir dengan penilaian sistem ini kurang demokratis. Saat era reformasi, sistem pun diubah menjadi pemilihan langsung. (Baca: Dinasti Politik Dibatasi di RUU Pilkada)
"Tetapi baik langsung maupun tak langsung, pengawasan terhadap pemilihan harus ketat. Undang-undang yang mengatur harus dikawal sebaik-baiknya," ujar Ahmad. (Baca: UGM Sarankan Penundaan Pembahasan RUU Pilkada)
Ahmad membenarkan pendapat pemilihan tidak langsung tidak memerlukan biaya sebesar pilkada langsung. Tetapi bukan berarti sistem ini akan menghilangkan kegiatan sogok-menyogok. Memang calon kepala daerah tidak perlu lagi menghamburkan uang untuk membeli suara rakyat, tetapi mereka bisa juga menggunakannya untuk melobi anggota DPRD agar dapat dipilih.
Untuk mengantisipasi hal ini, Ahmad mengimbau agar masyarakat lebih ketat dalam mengawal pemilihan, maupun pembentukan undang-undang yang mengatur mengenai sogok-menyogok. "Memang bukan pekerjaan mudah," kata Ahmad.
RUU Pilkada saat ini tengah diproses di DPR, dan akan diputuskan sah atau tidaknya di sidang paripurna pada Kamis, 25 September 2014. Dari 9 fraksi, 3 fraksi yaitu PDIP, PKB, dan Hanura menyatakan tidak setuju.
Sementara 5 fraksi lainnya, yaitu Golkar, Gerindra, PPP, PKS, dan PAN mendukung RUU Pilkada. Demokrat, mengajukan pilihan lain yaitu pengajuan 10 syarat yang harus dipenuhi sebagai revisi atas pemilihan langsung selama ini.
URSULA FLORENE SONIA
Berita lain:
FPI Minta Ahok Jaga Mulut
Wartawati Tempo Dilecehkan Simpatisan FPI
Soal Gantung Diri di Monas, Anas: Siapa Bilang?
Adnan Buyung: Jaksa Penuntut Anas Bodoh