Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Coblos Rangkap Punya Perkara

Akibat minim sosialisasi, banyak pemilih mencoblos rangkap surat suara pemilu presiden. Keteledoran KPU membuat panik.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOLAK-balik Kusnasriyati Sri Rahayu mengangkat tangan ingin memprotes, tapi para saksi dan petugas pemungutan suara tak ambil peduli. Di tempat pemungutan suara (TPS) 132 di Kelurahan Pandeansari, Kecamatan Condongcatur, Sleman, Yogyakarta, Senin pekan lalu itu, mereka sibuk berdebat soal keabsahan surat suara yang dicoblos berlubang dua, tembus hingga halaman judul.

Merasa tak digubris, istri calon presiden Amien Rais ini pun berteriak. "Pak..., Pak?, interupsi. Sesuai dengan radiogram KPU, surat suara yang berlubang dua asal tidak mencoblos dua calon presiden tetap sah. Jadi, mestinya tetap dihitung," kata Kusnasriyati. Protes Bu Amien itu ditolak Sujiyanto. Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) itu balik mempertanyakan pemberitahuan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal ketentuan itu.

Beberapa saat kemudian, fotokopian surat edaran KPU itu diberikan. Tapi Sujiyanto belum yakin. "Saya tak bisa percaya kebenaran surat ini. Siapa yang bisa menjamin?" katanya. Suasana di TPS itu jadi ramai. Penghitungan suara pun dihentikan. Saat itu pasangan Amien Rais-Siswono mendapat 105 suara, SBY-Kalla 45 suara, Mega-Hasyim 25 suara, Wiranto-Wahid 7 suara, dan Hamzah-Agum kosong. Dari total 227 surat suara, 42 dianggap tidak sah karena tercoblos rangkap. Inilah yang jadi pokok perkara.

Kusnasriyati tak berhenti sampai di situ. Ia mengusulkan agar Sujiyanto bertanya kepada KPU Yogyakarta. Ketua KPPS itu akhirnya tak bisa menolak ketika wartawan menyodorkan nomor ponsel Ketua KPU DIY, Suparman Marzuki. Setelah dihubungi, barulah semuanya jelas. Penghitungan suara pun diulang. Suara Amien naik menjadi 127, SBY 56, Mega 34, Wiranto 10, dan Hamzah tetap kosong. Suara tak sah 42 itu terbagi ke semua calon. Para penonton bertepuk tangan.

Tak semua pesta coblosan presiden, Senin pekan lalu itu, berakhir happy. Di banyak tempat malah kisruh. Musababnya sama, petugas lapangan gamang menghadapi perdebatan soal keabsahan surat suara yang dicoblos rangkap. Banyak Ketua KPPS berpegang pada Surat Keputusan No. 23/2003, yang dijadikan KPU sebagai pedoman dalam menentukan sah-tidaknya surat suara berlubang ganda. Padahal lubang ganda itu tak menembus petak pasangan lainnya dan hanya kena halaman judul.

Panik makin menjadi ketika markas KPU di Jakarta mengeluarkan keputusan beberapa saat sebelum penghitungan suara. Intinya: mengesahkan surat suara berlubang rangkap asal tak menembus calon presiden lain. Uniknya, surat keputusan bernomor 1152/15/VII/2004 itu tak diteken Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin atau wakilnya, Ramlan Surbakti. Anggota KPU Anas Urbaningrum, yang hari itu ngantor, terpaksa membubuhkan tanda tangannya setelah merapatkan dengan Valina Singka dan Chusnul Mariyah.

"Ini darurat, semuanya lagi ke daerah," kata Anas, "Jadi, persetujuan cukup melalui telepon dan pesan pendek." Nah, daruratnya seperti apa? "Banyak daerah melaporkan adanya surat suara yang dicoblos dalam keadaan terlipat horizontal sehingga tembus ke halaman judul," kata Valina Singka. Ketua Kelompok Kerja Sosialisasi Pemilu KPU ini khawatir, jika kesalahan teknis ini dibiarkan, jumlah surat suara yang rusak bisa sangat tinggi.

Valina layak khawatir. Di Jawa Barat, misalnya, persentase kesalahan itu mencapai 30 persen. Jumlah yang nyaris sama terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beruntung, Anas bergerak cepat. Stop press segera dibuat, radiogram dikirim serentak ke seantero negeri. Agar pesan lebih cepat sampai, pesan pendek pun main berseliweran.

Namun, secepat apa pun pesan, petugas di lapangan tetap repot. Bagi daerah yang komunikasinya terjangkau, tak masalah. Suara bisa dihitung ulang saat masih di TPS. Idealnya memang demikian. Prakteknya? Nanti dulu. Di Jakarta, misalnya, meski tak banyak makan waktu, tak semua petugas mau dikerahkan meladeni permintaan KPU. "Ini kan kerja dua kali," kata Mohammad Taufik, Ketua KPU DKI. "Apalagi honornya juga kecil."

Penolakan juga terjadi di Solo, Jawa Tengah, dan Jember, Jawa Timur. Puluhan petugas memilih menyerahkan "kerja dobel" itu kepada petugas kecamatan. Alasannya macam-macam. Selain susah menghadirkan saksi, kerja tambahan itu tak ada uang lelahnya. Honor petugas memang tak berubah sejak pemilu legislatif: Rp 40 ribu. Bahkan, meski diiming-imingi tambahan honor, banyak petugas tetap ogah.

Pekerjaan dobel lumayan merepotkan. Selain membongkar kotak suara, mereka juga harus menghadirkan kembali saksi-saksi. Belum lagi sulitnya medan lokasi TPS di beberapa daerah terpencil dan pucuk gunung. "Kotak suaranya harus digotong pakai ojek," kata Hasyim As'yari, anggota KPU Jawa Tengah.

Tengoklah pengalaman Sudarman, anggota KPU Purbalingga, Jawa Tengah. Surat itu tiba menjelang petang ketika kotak suara sudah digotong ke kecamatan dan siap direkapitulasi. Karena namanya amanat, apa boleh buat, Sudarman harus berkeliling kabupaten. Medan yang ditempuh lumayan sulit, mendaki berbukit-bukit.

Begitu ketemu para petugas lapangan, ia disambut keluh dan oceh. Sudarman harus membujuk mereka agar mau bekerja lembur. "Untunglah, kami tak menghitung seluruh suara. Cukup membuka amplop surat yang dikategorikan rusak dan tak sah, menghitung ulang dan merekapnya," ujarnya.

Banyaknya surat suara yang tercoblos rangkap memang mengherankan. Di mata Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Ray Rangkuti, kasus ini menunjukkan keteledoran KPU. "Bagaimana mungkin keputusan sepenting itu baru dikeluarkan saat pemungutan suara dilakukan?" tuturnya.

Para tim sukses pun mengomel akan kinerja KPU yang dianggap tak profesional. Menurut Patrialis Akbar, anggota tim sukses Amien-Siswono, seharusnya KPU bisa mengantisipasi hal ini. Apalagi, sejumlah organisasi pemantau juga menemukan tak cuma surat suara rusak karena dicoblos berlipat, tapi juga banyak tinta pengaman yang mudah luntur.

Protes juga dilontarkan sejumlah organisasi. Garda Bangsa, HMI, Forum Muda, BM PAN menuntut KPU mengundurkan diri karena telah menimbulkan cacat politik dalam pemilu presiden. "KPU tak antisipatif dan tidak melakukan sosialisasi secara maksimal," kata Ketua Umum Forum Muda, Haris Rusli Moti.

Sebaliknya, KPU menolak dikatakan tak maksimal dalam mensosialisasi teknis mencoblos. Menurut Wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti, sosialisasi cara mencoblos telah dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik, termasuk kepada petugas di lapangan. Namun, dalam prakteknya, masih ada saja yang salah coblos. "Ternyata, setelah ditelusuri, kelihatannya memang sebabnya pada desain surat suara dan cara melipat," kata Ramlan.

Menurut Ramlan, memang desain surat suara terbagi menjadi halaman judul dan foto kandidat. Surat itu dilipat dua secara horizontal, baru kemudian dilipat lima menjadi beberapa pasangan. Meski demikian, menurut Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu, Saut Hamonangan Sirait, seharusnya KPU meminimalisasi teknis desain dan pelipatan surat suara dengan melakukan sosialisasi pencoblosan yang benar. "Ini akibatnya jika tidak maksimal," kata Saut. "Pemilih tak lagi memperhatikan cara membuka surat suara, dan langsung mencoblos."

Menurut Arif Budiman, anggota KPU Jawa Timur, kasus coblos rangkap ini seharusnya tak terjadi jika KPU Pusat aspiratif terhadap masukan dari daerah. Sebulan sebelum pemilu presiden, sejumlah KPU daerah telah berkirim surat kepada KPU Pusat untuk mengingatkan kemungkinan surat suara tercoblos tembus pada halaman judul. "Kami menulis itu berbekal hasil simulasi di lapangan. Banyak yang salah mencoblos," ujar Arif.

Sayangnya, seperti halnya yang dialami KPU Jawa Tengah dan Jawa Barat, surat mereka tak direspons. Sampai akhirnya, tibalah petaka itu. Keteledoran ini tak hanya menuai kepanikan dan cercaan, termasuk dari anak buahnya sendiri. Jika sudah demikian, ada baiknya mengikuti saran Ketua Panitia Pengawas Pemilu, Komaruddin Hidayat, agar KPU minta maaf saja. Tapi minta maaf kan juga tidak gampang?

Widiarsi Agustina, Syaiful Amin (Yogyakarta), Rinny Srihartini (Bandung), Adi Mawardi (Surabaya), Imron Rosyid (Solo), Mahbub Junaidy (Jember), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus