Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APAKAH Ryan seorang psikopat? Pendapat para ahli terbelah. Sejumlah kriminolog dan psikolog riuh berkomentar. Hari Suherman, psikolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, menilai bahwa lelaki dari Jombang itu psikopat. ”Psikopat itu orang yang suka melanggar aturan,” kata Hari kepada Riky Ferdianto dari Tempo. ”Mereka sangat menikmati perbuatan itu.”
Hari mengajak Tempo menyaksikan ekspresi wajah Ryan ketika polisi membongkar timbunan mayat di belakang rumahnya. ”Reaksinya datar saja,” kata Hari. Psikolog lain menimpali di sebuah koran, ”Ryan tergolong sweet psychopathic.” Artinya, kira-kira, psikopat yang berperilaku manis dan jauh dari kesan sangar. Sejauh ini, Ryan belum pernah menjalani pemeriksaan medis menyangkut kejiwaan.
Takala ditemui Tempo di sel tahanan narkotika Kepolisian Daerah Metro Jaya, pekan lalu, Ryan jauh dari kesan panik gara-gara kejahatannya terbongkar. ”Aku enggak ngerasa apa-apa. Aku juga enggak tahu kenapa aku membunuh mereka,” katanya. Sesekali Ryan menangis di sela perbincangan 30 menit itu. Tapi, aneh, tak ada air mata menetes di pipinya.
Pertemuan sekilas itu tentu saja tak bisa memastikan kondisi kejiwaan Ryan. ”Tidak gampang menentukan status psikopat seseorang,” kata Irmansyah, psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ”Perlu pemeriksaan kejiwaan yang intensif. Bukan semata karena melakukan tindakan sadistis, lalu dia disebut psikopat,” katanya.
Apalagi, dalam kasus Ryan, belum jelas betul apa motif pembunuhan dan mutilasi yang dia lakukan. Apakah demi kesenangan atau ada motif lain, penguasaan harta misalnya. ”Masih harus diteliti,” kata Irmansyah.
Selama ini, Irmansyah melanjutkan, masyarakat cenderung mengaitkan tindakan sadistis dengan mereka yang berkelainan jiwa. Seolah-olah cuma mereka yang berkelainan jiwa yang bisa melakukan tindakan kekerasan. ”Padahal semua orang sebenarnya berpotensi melakukan kekerasan,” katanya kepada Tempo di ruang prakteknya, Kamis pekan lalu.
Tindakan keji bisa dilakukan siapa pun. Motifnya beragam: membela diri, ingin menguasai harta, atau karena emosi yang mendidih. Hal ini pun sama sekali tak berkaitan dengan orientasi seksual si pelaku: hetero, homo, atau biseksual. Semuanya berpeluang melakukan kekerasan. ”Kebetulan saja kasus kali ini melibatkan Ryan yang seorang gay,” kata Irmansyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo