Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Menjenguk 'Rumah' Peraih Nobeli Sastra Guenter Grass  

Yayasan Kebudayaan Luebeck mendirikan Gunter Grass Haus di Luebeck, Jerman, sebagai penghormatan untuk Guenter Grass.

14 April 2015 | 08.15 WIB

Peraih Nobel, Gunter Grass saat ditemui di perpustakaan Steidl di Goettingen, Jerman, 15 Oktober 2009. Novelnya yang berjudul `The Tin Drum` banyak menerima krtikan bahkan sempat dibakar di Dusseldorf. (AP Photo)
Perbesar
Peraih Nobel, Gunter Grass saat ditemui di perpustakaan Steidl di Goettingen, Jerman, 15 Oktober 2009. Novelnya yang berjudul `The Tin Drum` banyak menerima krtikan bahkan sempat dibakar di Dusseldorf. (AP Photo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO , Jakarta: Rumah berlantai dua itu berdiri di antara gedung-gedung berarsitektur Renaissance yang terletak di Jalan Glokenengiesser, Luebeck, Jerman. Guenter Grass Haus, demikian namanya.

Ini bukan rumah kediaman Guenter Grass, sastrawan Jerman yang meninggal pada Senin, 13 April 2015, tapi "museum" tempat diskusi sastra dan pameran karya-karya Grass.

Grass adalah pemenang Hadiah Nobel Sastra 1999 dan Warga Kehormatan Danzig, kota kelahirannya. Dengan pertimbangan itu, Yayasan Kebudayaan Luebeck meresmikan Gunter Grass Haus ini tepat di hari ulang tahun Grass yang ke-75 pada 16 Oktober 2002.

Lulusan sekolah seni patung dan teknik menggambar di Dasseldorf dan Sekolah Tinggi Seni di Berlin ini adalah seniman, politikus, pemusik dan belakangan dikenal juga jago masak. Selain menulis buku, puisi, drama dan teater, Grass juga adalah pematung, pemahat dan pegrafis.

Beragam karya Grass, dari karya sastra hingga patung dipajang di Gunter Grass Haus. Di dekat pintu masuknya terdapat taman mungil dengan dekorasi karya monumental Grass, patung perunggu setinggi 2 meter lebih, Butt im Griff (Ikan Flounder dalam Genggaman) dan Zwei Kapfe (Dua Kepala).

Saat Tempo berkunjung ke sana pada awal Juli 2009 lalu, di dalam rumah itu diputar film Die Blechtrommel (The Tin Drum atau Genderang Kaleng) yang diangkat dari novel pertama Grass yang berjudul sama. Film itu terus diputar sepanjang hari.

Film hitam-putih itu berkisah tentang Oskar Matzerath, bocah yang pertumbuhannya berhenti sejak ulang tahunnya yang ketiga. Dia selalu memukul genderang kaleng kesayangannya dan akan memukulnya lebih keras bila dunia di sekitarnya makin kacau.

Yang unik, puisi-puisi Grass ternyata tak sekadar berupa rangkaian kata-kata indah. Seluruh puisi yang dipajang di rumah itu berpigura dan ditulis tangan di atas goresan sketsa, litografi, bahkan foto dan grafis. Misalkan sajak Letze Tanze (Tarian Terakhir), Geteert und gefedert (Beraspal dan Berbulu) dan Liebe geprueft (Bukti Cinta). "Karyanya menyegarkan mata dan hati," kata seorang pengunjung.

Grass juga memajang sketsa potret dirinya, seperti Mit Handschuh nachdenklich (Dengan Sarung Tangan Terpekur), Selbst mit Muetze und Unke (Diriku dengan Topi dan Katak) dan Ich als Koch (Saya Sebagai Tukang Masak).

Kegemarannya memasak dan makan ikan terekam di sebagian karya-karyanya, seperti sketsa Selbst mit Butt und Federn (Diriku dengan Ikan Flouder dan Bulu Burung), atau litografi Fischkopf (Kepala-kepala Ikan). Juga goresan sketsanya di atas lempeng tembaga Hai aber Land (Ikan Hiu di Atas Permukaan) dan Frau mit Fisch (Perempuan dan Ikan). Ia juga menulis buku dengan nuansa ikan, seperti Der Butt (Ikan Flounder). Dan, dengan keahliannya itu pula, semua ilustrasi sampul buku-bukunyanya dibikin sendiri oleh Grass.

Di bagian tengah ruangan terdapat beberapa meja kecil dengan tiga laci pipih berkaca yang berisi contoh tulisan-tulisan tangan Grass sebelum diserahkan ke penerbit. Jadi, begitulah rupanya cara kerja Grass jika ia menulis buku. Alur cerita digarap dengan tulisan tangan. Sebelum ada komputer, Grass menyerahkan draf tulisan itu ke sekretarisnya untuk diketik, baru kemudian diserahkan ke penerbit.

Konon Grass sendiri lebih suka bekerja dengan mesin tik daripada komputer. Selama hidupnya ia punya tiga mesin tik. Mesin tiknya yang pertama bermerek Olivetti warna hijau, yang dipinjam dari temannya, Wolfgang Bergmann, ikut dipajang di rumah ini. Satu lagi ada di tempat peristirahannya di Mon, Denmark, dan yang lain di ruang kerjanya.

Setiap Rabu, Grass bekerja dari pukul 13.00-19.30 di ruang kerjanya yang juga berada di rumah ini. "Dia ramah, tapi jarang menyapa kami kalau tidak perlu," kata Yosef Buse, pegawai rumah ini.

Meski usia Grass sudah lebih dari delapan dasawarsa itu, menurut Buse, ia masih produktif. Beberapa buku barunya ditulis di sini, seperti Dummer August (2007), Die Box (2008) dan Unterwegs von Deutschland (2009).

Di sebelah pintu masuk Guenter Grass Haus terdapat toko yang menjual semua karya-karya Grass, seperti buku, audiobook, kartu pos bergambar sketsa atau lukisan Grass serta patung-patung pahatannya. Di bagian bawah patung perunggu yang dibuat seukuran dekorasi meja itu diberi nomor dan ditandatangani Grass.

Benda-benda seni ini amat mahal harganya, seperti replika Butt im Griff harganya 3.200 euro (hampir Rp 45,5 juta saat itu) dan Zwei Kapfe mencapai Rp 68 juta. Pegawai toko itu pun harus memakai sarung tangan untuk memegangnya. "Benda seni ini bernilai tinggi, jadi mesti hati-hati memegangnya agar jangan sampai tergores kuku," kata Nicole Werner, pegawai toko.

KORANTEMPO | SRI PUDYASTUTI BAUMEISTER | IWANK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Sarjana Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (1998) dan Master Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina (2020. Bergabung di Tempo sejak 2001. Meliput berbagai topik, termasuk politik, sains, seni, gaya hidup, dan isu internasional.

Di ranah sastra dia menjadi kurator sastra di Koran Tempo, co-founder Yayasan Mutimedia Sastra, turut menggagas Festival Sastra Bengkulu, dan kurator sejumlah buku kumpulan puisi. Puisi dan cerita pendeknya tersebar di sejumlah media dan antologi sastra.

Dia menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (2020).

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus