Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENEDICT Anderson tak bisa lepas dari Cornell Modern Indonesia Project (CMIP). Lembaga bentukan George McTurnan Kahin yang berdiri sejak Januari 1954 itu seolah-olah rumah intelektual Ben. Meskipun begitu, kantor yang terletak di Gedung Pusat Studi Asia Tenggara, dalam lingkungan Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat, itu tak bisa dibilang bagus.
Bagi budayawan asal Surakarta, Halim H.D., yang pada 1990-an membantu Ben di sana, bangunan itu tak layak disebut gedung. "Lebih mirip losmen berlantai tiga, dengan tangga yang selalu berderit saat diinjak," katanya. Para peneliti Indonesia dan mahasiswa yang belajar di gedung itu menjulukinya "One O Two", sesuai dengan alamatnya di 102 West Avenue, Ithaca, New York.
Dalam sebuah artikel di Jurnal Indonesia edisi Oktober 1989, Kahin mengatakan lembaga ini didirikan atas dukungan dana dari Ford Foundation. Hingga 1968, total bantuan yang dikucurkan Ford untuk program ini mencapai US$ 502 ribu—jumlah yang cukup besar untuk masa itu. Para pemimpin Ford Foundation gelisah menyadari bahwa Amerika Serikat tak tahu banyak perihal negara-negara di Asia yang mulai lepas dari penjajahan.
Kahin membawa Indonesia Project berkembang menjadi lembaga kajian yang terpandang. Dari sana lahir para peneliti Indonesia dengan berbagai karya monumental. Di antaranya Daniel S. Lev, Harry J. Benda, Ruth McVey, Herbet Feith, dan Ben Anderson.
Pada 1982, Ben ditunjuk menjadi associate director menggantikan John Echols, yang meninggal tahun itu. Echols, ahli bahasa Indonesia di Cornell, adalah penulis kamus Inggris-Indonesia, yang masih terus dipakai hingga saat ini. Setelah Kahin pensiun, enam tahun kemudian Ben diangkat menjadi direktur. Dia didampingi Takashi Shiraishi—ketika itu telah menjadi profesor di Fakultas Sejarah Cornell—sebagai associate director.
Berbicara dalam Kongres Dunia yang ke-40 International Institute of Sociology di New Delhi, India, Ben mengatakan dia datang ke Cornell University pada Januari 1958 untuk mempelajari misteri "pemerintah". Di Cornell, dia bertemu dengan Kahin, yang kemudian menjadi gurunya. Daniel Lev (almarhum) pernah melukiskan kepada Tempo betapa CMIP merupakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan penuh kekeluargaan. Kahin sesekali mengundang tokoh intelektual Indonesia untuk berbagi wawasan dengan para mahasiswa dan peneliti di sana. "Haji Agus Salim dan Soedjatmoko pernah diminta memberi kuliah," tulisnya melalui surat elektronik.
Merujuk pada berbagai pemberitaan kala itu, Indonesia dilukiskan berada dalam perang sipil ketika kelompok kanan yang didukung badan intelijen Amerika (CIA) berusaha memojokkan kelompok kiri dan Presiden Sukarno.
Setahun setelah peristiwa Gerakan 30 September, Ben bersama Ruth McVey dan Fred Bunnell, rekannya di Indonesia Project, menerbitkan sebuah makalah setebal 191 halaman berjudul "A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia". Paper ini menyimpulkan bahwa peristiwa 1965 merupakan akibat dari perselisihan internal Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia tidak terlibat. Makalah ini di Indonesia dikenal sebagai Cornell Paper dan memicu kontroversi.
Pada 1966 itu pula CMIP meluncurkan sebuah jurnal berisi kajian tentang Indonesia. Jurnal Indonesia tersebut bertahan hingga kini. Isinya berbagai hasil studi tentang sejarah politik dan evolusi sosial di Indonesia, terutama sepanjang abad ke-20 hingga sekarang. Publikasi tersebut merentang dari tema antropologi, sejarah, linguistik, literatur, musik, sampai ilmu politik.
Sejarawan Taufik Abdullah, yang belajar di Cornell pada 1965-1970 (sempat pulang sebentar pada 1978), mengatakan Jurnal Indonesia merupakan sumbangan terbesar Ben bagi Indonesia Project. "Jurnal itu digagas Kahin, tapi yang mengurus semuanya Ben. Kahin cuma penasihat," ucapnya. Musim gugur tahun ini, Jurnal Indonesia menerbitkan edisinya yang ke-100.
Sebagai direktur, Ben punya ruangan khusus yang tak sebegitu besar di One O Two. Halim H.D. mengenang, selain sebagai tempat kerja, di sana Ben sering memberi kuliah untuk para mahasiswanya. Ruangan itu penuh buku dan kertas yang berserakan. Halim bekerja di Indonesia Project selama tiga musim panas. Tugasnya membaca koran Indonesia di perpustakaan universitas dan membuat resume. Apa saja yang dianggap menarik, dari berita, opini, pengumuman, sampai berita dukacita, mereka dokumentasikan.
Secara rutin, setiap Jumat siang, ada diskusi di kantor tersebut. Para peneliti dan mahasiswa boleh memaparkan gagasan ataupun hasil riset mereka di sini. Dan Ben meneruskan kebiasaan Kahin mengundang intelektual Indonesia untuk memberi kuliah atau sekadar berdiskusi. "Diskusi yang dikemas informal membuat acara itu sangat menarik," ujar Halim.
Kawan seapartemen Ben di Ithaca pada 1960-an, Toenggoel P. Siagian, mengatakan Cornell Paper yang berbicara tentang peristiwa pembunuhan jenderal pada 1965 menurut versi mereka juga mula-mula mereka bahas dalam rapat siang di CMIP. Mereka menyebutnya pertemuan brown bag karena peserta rapat membawa makan siangnya sendiri. "Tulisan itu dicetak ulang pakai stensilan. Setelah selesai diskusi, dibuang. Tidak ada niat untuk diterbitkan," katanya mengenang. Tapi kemudian, menurut Ben, seorang teman Kahin di Washington membocorkannya kepada pihak militer Indonesia.
Melalui e-mail kepada Tempo pekan lalu, Takashi Shiraishi mengatakan, meski namanya Indonesia Project, yang mereka lakukan tidak persis seperti proyek yang dimengerti kebanyakan orang. "Yang sebenarnya kami lakukan adalah menerbitkan jurnal tiga bulanan tentang Indonesia dan secara rutin mengumpulkan daftar nama para pemimpin militer," ujar ahli Indonesia asal Jepang dan penulis buku Zaman Bergerak itu.
Awalnya, menurut Shiraishi, itu proyek Ben. Setelah dia bergabung, sejak akhir 1980-an, tanggung jawab mengumpulkan dan menyusun data tersebut ia ambil alih. Juga aktif di Indonesia Project, Audrey Kahin, istri Profesor Kahin, dan James Siegel, antropolog ahli Aceh, yang merupakan teman baik Ben. Siegel dan Ben pernah menggelar seminar tentang Pramoedya Ananta Toer.
Kuliah-kuliah Ben di Indonesia Project selalu menyenangkan. "Banyak bacaan tak terduga," kata Shiraishi, yang sekarang memimpin National Graduate Institute for Policy Studies di Tokyo. Mereka, misalnya, diperkenalkan dengan ulasan Sumarside Murtono tentang Mataram, penjelasan Reinhard Bendix mengenai konsep kekuatan tradisional Max Weber, hingga tulisan Marx, Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.
Dalam pergaulan di Indonesia Project, Ben sering disapa Benson. Sebaliknya, dia suka memanggil para mahasiswanya "kids".
Philipus Parera, Reza Maulana, Amandra Megarani (Jakarta), Ahmad Rafiq (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo