Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berpijak dari kajian Komnas Perempuan.
Pembahasan di DPR dan reaksi publik di luar ekspektasi penyusun rancangan ini.
Meski masih panjang, masuknya RUU ini bisa dianggap sebagai tonggak penting dalam memerangi kekerasan seksual.
BAGI Andy Yentriyani, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual boleh jadi adalah peraturan perundang-undangan paling kompleks dalam sejarah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Betapa tidak, draf RUU yang diusulkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak enam tahun lalu itu, sampai masa sidang berakhir pada 2019, tak bisa diwujudkan DPR menjadi undang-undang. “Saya tidak tahu apa ada undang-undang yang sejelimet RUU ini,” kata Ketua Komnas Perempuan itu pada Rabu, 21 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan kelahiran Pontianak, 24 Januari 1977, itu membandingkan kompleksitas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang drafnya berjumlah 64 halaman, dengan RUU Cipta Kerja, yang tebalnya lebih dari 1.870 halaman. Namun parlemen mampu mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja, yang mengubah 82 undang-undang yang sudah ada, dalam waktu setahun. Kini, setelah memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Program Legislasi Nasional Prioritas pada 13 Maret lalu, DPR bakal mengulang prosesnya dari awal karena tidak mewarisinya dari DPR periode sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual punya riwayat cukup panjang. Komnas Perempuan, lembaga yang dibentuk pada 1998 untuk menangani kekerasan terhadap perempuan, merintisnya pada 2010 saat masih dipimpin oleh Yuniyanti Chuzaifah. Komnas Perempuan menugasi Sub-Komisi Kajian melakukan pemetaan kasus kekerasan terhadap perempuan sejak tahun 2000. Tugas tersebut ada di pundak Andy, yang saat itu memimpin Sub-Komisi Kajian.
Ketua Komnas Perempuan Periode 2020 – 2024 Andy Yentriyani di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Agustus 2020. TEMPO/Subekti
Berdasarkan pemetaan Andy, di awal era reformasi, laporan kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual, banyak terjadi dalam konteks konflik, seperti di Aceh; Poso, Sulawesi Tengah; dan Maluku. Trennya berubah setelah lahir Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada 2004. Laporan kekerasan dalam rumah tangga bertambah, khususnya penganiayaan fisik, termasuk pemerkosaan. “Dalam tiga tahun itu (2013-2015) kasus kekerasan seksual berjumlah rata-rata 298.224 per tahun,” ujar Andy, menyebut sebagian temuannya itu.
Kajian pemetaan kasus rampung saat masa kerja Komnas Perempuan berganti dari periode Yuniyanti Chuzaifah ke Azriana Manalu pada 2015. Saat itu, Andy purnatugas dari Komnas Perempuan, tapi tetap aktif mengadvokasi kasus kekerasan seksual melalui Forum Pengada Layanan—jejaring 112 organisasi di 32 provinsi di Indonesia yang menyediakan layanan penanganan kasus, perujukan, bantuan hukum, dan crisis center bagi perempuan korban kekerasan. Di bawah Azriana, kajian pemetaan kasus itu menjadi bahan draf RUU.
Komnas Perempuan menugasi Sri Nurherwati menyusun draf rancangannya. Sri bukan orang baru di Komnas Perempuan dan gerakan melawan kekerasan seksual. Ia pernah menjadi Koordinator Layanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Di Komnas Perempuan periode sebelumnya, ia duduk di Sub-Komisi Pemulihan. “Hasil kajian harus ditingkatkan menjadi usulan RUU,” katanya. Komnas menilai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang KDRT tidak memadai untuk mengatasi masalah kekerasan seksual yang cukup kompleks.
Untuk menyusun draf awal rancangan ini, Sri melibatkan orang luar, di antaranya Samsidar dari Forum Pengada Layanan; Sri Wiyanti Eddyono dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; dan Lucky Endrawati dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Dari dalam Komnas Perempuan antara lain ada Masruchah, Azriana Manalu, Emma Mukarramah, dan Irawati Harsono.
Samsidar lama beraktivitas di LBH APIK Aceh dan kemudian menjadi Ketua Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan. “Tugas kami mengkaji, menyusun, membongkar, mereformulasi rancangan berdasarkan pengalaman lapangan teman-teman Forum Pengada Layanan yang menangani, mendampingi kasus. Termasuk pengalaman Komnas Perempuan di berbagai wilayah konflik,” tutur Samsidar.
Ada sejumlah isu kunci dalam penyusunan RUU, terutama tentang definisi dan jenis kekerasan seksual yang masuk kategori pidana. Definisinya memuat ketentuan bahwa kekerasan seksual merupakan berbagai bentuk perbuatan yang bersifat merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lain terhadap tubuh dan hasrat seksual seseorang. Juga definisi bahwa ketentuan ini berlaku untuk semua gender dan salah satu penyebabnya adalah faktor ketimpangan relasi kuasa. “Saya merasa pembahasan dari sisi ‘akademis’ biasa-biasa saja,” ujarnya, Senin, 19 April lalu.
Komisioner Komnas Perempuan 2014-2019, Sri Nurherwati di Bogor, Jawa Barat, 20 April lalu. TEMPO/M Taufan Rengganis
Topik menarik lain adalah tentang jenis kekerasan seksual. Dari kajian Komnas Perempuan, awalnya ditemukan ada 15 jenis. Tugas tim perumus untuk menyaringnya, dengan melihat apa saja yang patut dijadikan tindak pidana atau jenis apa yang sebenarnya perlu diatasi dengan cara lain, misalnya pendidikan dan penyadaran publik. Dari diskusi panjang itu, kontrol seksual melalui pengaturan busana dan tentang sunat juga masuk daftar.
Menurut Sri Nurherwati, Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) mengatur busana apa yang harus dipakai perempuan masuk kategori kekerasan seksual. Seusai diskusi, akhirnya disepakati bahwa hal itu tak perlu memakai pidana. “Mekanismenya melalui perubahan kebijakan dan pendidikan bahwa kekerasan seksual itu bukan pada korban, melainkan cara pandang orang,” katanya.
Sunat perempuan juga awalnya masuk daftar 15 jenis kekerasan seksual. Meski sunat menimbulkan kesengsaraan bagi perempuan, sampai ada yang meninggal, masih ada yang mempraktikkannya. “Kalau ini jadi pidana, bisa menimbulkan kekacauan di masyarakat. Akhirnya disepakati ini masih bisa diatasi dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan agama bahwa sunat perempuan bukan perintah agama. Dari segi kesehatan juga tak membawa manfaat,” ucap Andy Yentriyani.
Anggota tim perumus rancangan yang mendapat tugas khusus dari Komnas Perempuan adalah Sri Wiyanti Eddyono, komisioner Komnas Perempuan periode 2007-2009 yang kini menjadi asisten profesor di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. “Saya diminta membantu merumuskan naskah akademik, yang bahannya diambil dari konsultasi dengan berbagai pihak sejak 2012 sampai 2015,” katanya. Ia membaca lebih dari 100 dokumen untuk penyusunan naskah akademik itu.
Adapun Lucky Endrawati, karena kompetensinya, diminta memberi masukan tentang hukum acara. “Kalau dari hukum pidana materiil dan substansi, teman-teman jaringan lebih tahu. Tinggal menghaluskan hukum acaranya,” tutur Lucky, Selasa, 20 April lalu. Untuk tugas ini, dia harus kerap bolak-balik Malang-Jakarta. “Saya sampai hafal jalan-jalan di Jakarta,” ujarnya, lalu tertawa.
Lucky menjelaskan, perundungan seksual ada dua jenis, yakni verbal dan fisik. Kebutuhan hukum acaranya berbeda. Perundungan fisik, kata Lucky, lebih gampang pembuktiannya. Di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 184 ayat 1 disebutkan mengenai lima alat bukti. “Untuk rancangan ini diusulkan diperluas. Kalau dalam KUHAP tidak secara spesifik ditulis soal keterangan korban, di rancangan ini keterangan korban itu dijadikan alat bukti sendiri,” ucapnya.
Samsidar mengaku tidak ingat berapa kali mereka menggelar rapat untuk menyusun draf rancangan itu. “Yang pasti, saat Ramadan 2016 itu kami ngebut. Buka puasanya di ruang rapat Komnas Perempuan.” Pembahasannya, kata dia, membuat mereka mengalami stres tingkat tinggi. “Stres karena ekspektasi tinggi terhadap draf itu untuk segera diselesaikan agar bisa disampaikan ke DPR.”
Pembahasan di tim perumus juga seru. Menurut Samsidar, sering kali semua berebut ingin berbicara dalam waktu yang sama. “Sampai saya bercanda, ‘Kalau ada yang ngomong bareng-bareng, enggak sabar nunggu yang lain, akan dipidana,’” ujarnya. Celetukan Samsidar itu disambut derai tawa anggota tim perumus lain.
Setelah selesai, draf akhirnya disampaikan ke DPR pada 6 Juni 2016 dan menjadi prioritas legislasi tahun 2017. Di luar dugaan, apa yang dianggap biasa oleh para perumus itu ternyata menjadi perbincangan, terutama mengenai definisi kekerasan seksual. Frasa bahwa ketentuan ini akan melindungi semua gender dianggap mendorong homoseksualitas serta melindungi kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Pencantuman adanya relasi kuasa juga dianggap mempertanyakan budaya patriarki sehingga dituduh kebarat-baratan.
Menurut Sri Nurherwati, pengusul rancangan ini mengambil contoh pengalaman perempuan sebagai korban kekerasan seksual. Tujuan undang-undang ini tentu bukan hanya untuk perempuan, tapi juga pihak lain yang mengalami nasib sama. Sebab, prinsipnya tidak boleh ada yang ditinggalkan. “Tidak terpikir akan ditafsirkan sejauh itu,” katanya. Andy Yentriyani menambahkan, frasa “semua gender” juga ditafsirkan bahwa rancangan ini mendorong homoseksualitas.
Rancangan ini pun dianggap kebarat-baratan karena mempersoalkan budaya patriarki, yang masih berakar kuat di masyarakat, sebagai akar masalah. Definisi itu dianggap membenturkan kepentingan laki-laki dan perempuan, termasuk kepentingan keluarga. “Ini bukan ingin membenturkan, tapi untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Ini disepakati karena pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi CEDAW,” kata Sri Nurherwati.
Tudingan lain adalah rancangan ini disebut mendukung perzinaan. Ini dipicu oleh penolakan untuk memasukkan klausul zina ke rancangan. Ada keinginan sekelompok orang yang hendak memperluas zina dalam KUHP yang hanya mengkategorikan zina jika salah satu pelakunya terikat pernikahan. Ada juga kelompok yang ingin zina dijadikan delik biasa, yaitu bisa diproses dan siapa saja bisa menjadi pelapornya, tidak harus yang merasa dirugikan.
Menurut Andy, hal itu soal berbeda. Menjadikan zina sebagai delik biasa belum tentu menyelesaikan masalah. “Ada istri yang tahu suaminya berselingkuh tapi belum tentu dia mau suaminya dipidana. Pertimbangannya macam-macam. Termasuk tak mau anaknya diberi stigma buruk karena ayahnya eks napi, selain faktor ketergantungan ekonomi,” tuturnya.
Sri Wiyanti Eddyono, di Yogyakarta, 16 April lalu. TEMPO/ Shinta Maharani
Andy menambahkan, mengenai hubungan di luar nikah, hal itu tidak tepat dimasukkan karena bisa mengaburkan makna kekerasan seksual yang diatur dalam rancangan ini. “Zina, perselingkuhan harus kita atasi sebagai persoalan sosial dan, ayo, dikemukakan, tapi bukan di ruang regulasi kekerasan seksual,” ujarnya.
Rancangan itu menjadi kontroversi dan banyak hoaks yang beredar seputarnya. Pembahasan di DPR dan respons pemerintah dinilai tak sesuai dengan harapan para aktivis perempuan. Setelah masuk program legislasi nasional prioritas, pembahasannya di Komisi VIII, yang mempunyai ruang lingkup tugas di bidang agama, sosial, kebencanaan, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, juga seret. Penyusunan daftar isian masalah oleh pemerintah pun alot. Sampai masa sidang DPR berakhir September 2019, rancangan ini masih jauh dari kemungkinan menjadi undang-undang.
Kabar buruk itu tak menghentikan upaya para aktivis perempuan. Masa tugas Sri Nurherwati selesai pada 2020, Andy Yentriyani kembali ke Komnas Perempuan dan menjadi ketua. Dengan sejumlah lobi, rancangan itu kembali masuk Program Legislasi Nasional 2021. Komnas Perempuan kembali menyampaikan usul baru dengan memperbaiki naskah sebelumnya. “Meski jalannya masih panjang, memang boleh disebut tonggak. Ini juga hasil kerja bersama gerakan perempuan,” kata Andy.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo