Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Sama-sama Gangguan Pramenstruasi, Ini Bedanya PMS dengan PMDD

Ketika rasa sedih dan marah berlangsung berlebihan, bisa jadi itu bukan sekadar PMS, tapi premenstrual dysphoric disorder atau PMDD.

2 September 2019 | 21.15 WIB

Ilustrasi wanita PMS. shutterstock.com
Perbesar
Ilustrasi wanita PMS. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Sindrom pra-menstruasi atau PMS muncul dalam bentuk berbeda-beda. Hal yang sering terjadi adalah Anda cenderung menjadi sangat sedih atau menangis. Namun, Anda perlu waspada ketika rasa sedih dan marah itu berlangsung berlebihan. Bisa jadi itu bukan sekadar PMS, tapi premenstrual dysphoric disorder atau PMDD.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Leena Nathan, dokter spesialis kandungan dan kebidanan UCLA Health, mengatakan para ilmuwan tidak sepenuhnya yakin mengapa wanita mengalami perubahan suasana hati sebelum menstruasi. Tapi perubahan hormon estrogen dan progesteron dalam aliran darah seminggu sebelumnya bisa mempengaruhi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ini tampaknya mengarah pada tingkat serotonin yang lebih rendah selama waktu itu,” kata dia seperti dikutip Bustle, Ahad, 1 September 2019.

Ada sekitar 200 gejalan PMS lain yang sering dialami perempuan. Namun, yang paling sering dialami adalah kemarahan.

Kemarahan ini tidak perlu dikhawatirkan. Hanya saja, jika Anda mengalami kemarahan hebat yang mengganggu kehidupan sehari-hari Anda seminggu sebelum menstruasi, Anda mungkin bukan sekadar mengalami PMS biasa.

"Jika suasananya ekstrem, itu disebut gangguan dysmorphic pramenstruasi," kata Leena Nathan.

PMDD adalah bentuk PMS yang lebih parah yang memiliki gejala yang sangat intens, termasuk pengalaman psikologis. PMDD jauh lebih jarang daripada PMS. Anda bisa membedakannya dengan PMS biasa dari tingkat keparahannya dan seberapa besar gangguan ini memengaruhi pekerjaan, hubungan, dan kehidupan sosial Anda.

Namun, lonjakan amarah saja tidak cukup mendiagnosis seseorang mengalami PMDD. Perlu ada gejala psikologis lainnya, dan dokter juga perlu memastikan bahwa gejala itu tidak disebabkan gangguan psikologis lainnya seperti depresi.

Baik PMS dan PMDD yang parah dapat diobati. Leena Nathan mengatakan, ia sering mengobati masalah mood ini dengan pil KB untuk mempertahankan keseimbangan hormon dalam darah. Studi yang ditinjau oleh Asosiasi Nasional untuk PMS juga menyimpulkan terapi perilaku kognitif, atau CBT, juga bermanfaat untuk orang dengan PMDD, bersama dengan obat-obatan. Tapi sebelum mengonsumsi obat-obatan, konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter Anda.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus