Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

"Produk Kaleng"

Bambang Eka Wijaya, 35, wartawan Sinar Indonesia Baru, Medan, mencoba mendirikan semacam sindikat kolumnis. Usaha yang sama pernah dirintis mahasiswa ITB.

3 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARTAWAN Bambang Eka Wijaya, 35 tahun, mencoba mendirikan semacam sindikat kolumnis. Dari Medan dia sudah menyebarkan hampir 330 formulir daftar isian kepada penulis terkenal di seluruh Indonesia. Sesudah sebulan, hanya 12 orang -- termasuk M. Natsir, Ayip Bakar dan Mulyana W. Kesuma-yang menyatakan bersedia mensuplai tulisan. Kepada penulis dijanjikannya imbalan Rp 25 ribu--dengan potongan 10% sebagai ganti biaya administrasi dan pelayanan--untuk setiap naskah yang disetujuinya. Menurut dia, artikel (800 sampai 2.000 kata) itu akan diedarkannya ke berbagai koran yang diminta menerbitkannya secara serentak pada tanggal yang ditetapkannya. Koran yang memuatnya cuma akan membayar Rp2.500. Tapi dari koran besar dimintanya imbalan lebih besar, tapi masih akan terhitung murah. Terutama pers daerah jadi sasaran pemasarannya. Jika upaya semacam itu tak ditempuh, "sampai kiamat koran seperti Aceb Post (Banda Aceh) dan Mercu Suar (Medan) tak akan menerima tulisan Mahbub Junaidi," katanya, "kecuali mengutipnya dari koran ibukota yang sudah memuatnya." Bambang menganggap kolom yang baik akan membantu meningkatkan kualitas suatu penerbitan. "Kalau rencana saya itu sudah berjalan, gengsi koran daerah, sekalipun beroplah kecil, akan naik," katanya lagi. Tapi beberapa koran di Medan itu sendiri tak tertarik. Ammary Irabi, Wakil Pemimpin Redaksi Waspada mengatakan korannya sudah memiliki penulis tetap, "tak mungkin menerima tulisan yang terbit bersamaan (di berbagai media)." Syamsudin Manan, Pemimpin Redaksi Mimbar Umum menganggap tulisan berbobot seperti dikemukakan Bambang belum tentu cocok dimuat di korannya. "Bukan dari kolom saja mutu suatu koran bisa dinilai," tambah Sofyan, Pemimpin Redaksi Analisa. Sempat Dibreidel Namun Bambang tampaknya mau mengedarkan artikel sebagai suatu "produk kaleng" (canned product), yang bermutu tapi tidak mahal bagi pengisi halaman. The New York Times, misalnya, memuat kolom Art Buchwald yang terbit juga di banyak koran lainnya. Melebarkan pasaran bagi para penulis Indonesia usaha Barnbang bisa dianggap baik. Tapi siapa Bambang? Ayah dari empat anak ini sekarang bekerja di koran Sinar Indonesia Baru (Medan) sebagai redaktur pelaksana. Gara-gara sajak karangannya (Bulan Anggur), yang dianggap menghina Islam setelah dimuat di SIB, koran itu sempat dibreidel selama 36 hari di tahun 1978. Sindikat kolomnis Indonesia juga pernah dirintis orang atau kelompok lain. Umumnya usaha begitu tak berusia lama. Yang tanpa editor, tapi masih bertahan setelah dua tahun, ialah Cbarade di Bandung. Sekelompok mahasiswa ITB mendirikannya. Dari tangan mereka ini sudah lahir 105 judul tulisan ilmiah populer-- 102 di antaranya dimuat di koran Pikiran Rakyat (Bandung). Hanya sekitar Rp 10 ribu per tulisan. Buat sementara hanya PR yang selalu menampung produk Charade. "Kami ingin memajukan koran daerah," kata Djadjat Suhardja, koordinatornya. "Bukan duit yang menjadi tujuan," tambah Roy Indarsyah, anggotanya. Namun kini mereka mulai mencari editor. Kalau tanpa duit, siapa mau?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus