Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

20 Tahun Reformasi: Ekonomi Limbung Diguncang Krisis

Anjloknya kurs rupiah menyeret Indonesia dalam pusaran krisis ekonomi. Bagaimana kini setelah 20 tahun reformasi?

14 Mei 2018 | 09.03 WIB

Suasana kerusuhan dan penjarahan di pusat perbelanjaan di Jakarta, 13 Mei 1998 lalu. dok.TEMPO/Rully Kesuma
Perbesar
Suasana kerusuhan dan penjarahan di pusat perbelanjaan di Jakarta, 13 Mei 1998 lalu. dok.TEMPO/Rully Kesuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta -Gelombang krisis yang datang begitu cepat masih menghantui hingga kini, setelah 20 tahun reformasi. Kala itu dunia usaha tumbang dalam sekejap setelah kurs rupiah anjlok dihantam dolar AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Krisis ekonomi 1998 atau dikenal dengan krisis moneter diawali dengan nilai tukar rupiah yang terpuruk sejak setahun sebelumnya. Krisis menular dengan cepat pada awal 1997. Di awali dengan melemahnya mata uang Baht Thailand dan menyeret rupiah yang merosot sejak Mei 1997 menembus 4.650 per dolar AS. Padahal di akhir tahun sebelumnya, rupiah masih bertengger di kisaran 2.300 per dollar AS.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga negara yang mengalami dampak paling parah akibat krisis moneter adalah Indonesia, Thailand dan Korea Selatan. Di sejumlah negara Asia Tenggara lain seperti Hongkong, Malaysia, Laos, dan Filipina juga terpengaruh krisis, meski tak terlalu parah. Sedangkan Cina, Taiwan, Brunei, Vietnam dan Singapura hampir tak merasakan dampak krisis.

Ekonom Universitas Gajah Mada Tony Prasentiantono mengenang pada pertengahan Juni 1998, kurs rupiah mencapai level terendah menembus 16.650 per dolar AS. "Kenapa terjadi krisis pada 1998? Karena ada satu indikator yang terluput dari perhatian BI saat itu, yakni utang luar negeri oleh swasta yang jatuh tempo," ujar Tony dalam sebuah acara diskusi bertajuk 'Gonjang-Ganjing Rupiah' di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu, 9 Mei 2018.

Utang luar negeri swasta dituding menjadi biang kerok penyebab krisis. Peraturan devisa saat itu memperbolehkan pihak swasta bebas berutang ke luar negeri dan tidak tercatat.

"Saat utang pemerintah dan swasta yang jatuh tempo tidak balance dengan cadangan devisa, maka terjadi depresiasi rupiah yang sangat dalam. Ini satu titik lemah Bank Indonesia, Bank Dunia, dan IMF saat itu," tutur Tony. Bank Indonesia hanya mengetahui jumlah utang luar negeri swasta berdasarkan laporan yang diserahkan oleh perbankan.

Baca: Pengamat Kritik Anies-Sandi Ubah Nama Halte Bus 12 Mei Reformasi 

Pada saat krisis, rasio utang luar negeri Indonesia mencapai 8,67 kali dari cadangan devisa dan 1,27 kali terhadap produk domestik bruto. Mengutip laporan tahunan Bank Indonesia 1998, jumlah kredit macet di perbankan nasional mencapai Rp 10,2 triliun per April 1997, naik sebesar 7,7 persen dibandingkan akhir tahun 1996.

Akibatnya saat kurs rupiah jeblok, utang valas perbankan membengkak. Di saat yang sama, debitur kesulitan membayar kewajiban valasnya kepada perbankan.

Lepas dari badai krisis 1998, Indonesia kembali mengalami guncangan kedua sepuluh tahun berikutnya. Pada 2008, ekonomi RI terseret kasus subprime mortgage di Amerika Serikat. Kredit macet di sektor properti di AS membuat sejumlah negara termasuk Indonesia terkena imbasnya.

Lesunya ekonomi global membuat ekspor ikut loyo. Kondisi ini diperparah dengan naiknya harga bahan bakar minyak pada Juni 2008, tingkat suku bunga mencapai 9,5 persen dan kurs rupiah yang melemah hingga 12.800 per dolar AS.

Setelah 20 tahun reformasi, ancaman krisis kembali menghantui akibat kurs rupiah kembali melemah dalam beberapa pekan terakhir. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hampir menembus 14.000.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengingatkan ancaman krisis bisa kembali terjadi. Siklus krisis di Asia memiliki rentang waktu sekitar 10 tahunan, sedangkan di Amerika Serikat dan Eropa jaraknya hanya 5 tahunan. "Dengan rentang waktu yang semakin dekat, bisa jadi krisis datang lebih cepat dari perkiraan," Kata Bhima.

Menurut Bhima, salah satu faktor penyebab kemungkinan krisis datang lebih cepat adalah pemulihan ekonomi AS, akibat reformasi pajak oleh Presiden Donald Trump yang terlalu cepat sehingga terjadi overheating. Sementara itu, faktor lainnya adalah respon bank sentral AS (The Fed) yang berencana melanjutkan pengetatan moneter sekaligus pengurangan stimulus.

Dampak dari faktor tersebut kepada Indonesia, kata Bhima, adalah terjadinya capital outflow secara besar-besaran karena berpindahnya dana ke AS. Akibatnya, nilai tukar rupiah terus melemah serta menurunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan pasar surat utang.

Peringatan serupa diungkapkan Tony. Dia menilai saat ini kondisi pelemahan rupiah mirip dengan gejala krisis ekonomi pada 1998. Saat itu, fundamental ekonomi Indonesia juga berada di posisi baik-baik saja serupa dengan saat ini.

Setelah kiris 1998, ujarnya, Indonesia sudah mulai belajar dan mencatatkan utang swasta. Dengan data yang ada, diharapkan bisa mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Kendati demikian, struktur ekonomi Indonesia saat ini dinilai kurang kuat karena tidak berorientasi kepada ekspor.

"Kalau kita melihat negara Asia Timur seperti Taiwan dan Korea, mata uang mereka itu lebih stabil karena ekonominya berorientasi kepada ekspor," ujarnya.

Untuk itu, ujar Tony, dalam jangka panjang, perekonomian Indonesia harus mulai berorientasi pada industrialisasi dan ekspor. Sementara untuk jangka pendek, ujarnya, Bank Indonesia harus segera menaikkan suku bunga acuan.

"Menaikkan suku bunga ini harus segera dilakukan. Jika tidak, pasar akan semakin grogi. BI tak bisa terus-menerus mengandalkan cadangan devisa yang terus tergerus," ujar Tony.

Tony menilai saat ini BI sudah terlambat untuk menaikkan suku bunga, sementara cadangan devisa terus tergerus karena BI harus mengintervensi pasar akibat pelemahan rupiah. "Suku bunga rendah itu sudah banyak ditinggalkan negara lain. Kalau kita tidak segera, ketinggalan jauh kita," ujarnya.

Adapun Bhima mengatakan, Indonesia sudah lebih siap menghadapi krisis dibandingkan 1998 atau 2008. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) dapat menjadi instrumen untuk mengantisipasi kegagalan sistemik perbankan.

Selain itu, Bhima merasa cadangan devisa yang saat ini masih sebanyak Rp 126 miliar dolar AS cukup untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. "Saya optimistis kita bisa survive lewat mitigasi risiko dengan memperkuat cadangan modal bank. Pengawasan bank secara sistemik juga harus diperketat, sama halnya dengan koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang harus ditingkatkan," ujarnya.

Pemerintah juga tak tinggal diam menghadapi kurs rupiah yang merosot. Pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah bersama dengan Bank Indonesia terus menguatkan fondasi ekonomi RI. Hal itu dilakukan guna merespon kondisi pasar yang saat ini sedang melakukan penyesuaian, salah satunya terhadap perubahan kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.

"Fondasi kami perkuat, kinerja diperbaiki sehingga apa yang disebut sentimen pasar itu relatif bisa netral terhadap Indonesia," tutur Sri Mulyani.

ADAM PRIREZA | DEWI NURITA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus