Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menyarankan pemerintah supaya menjadikan momentum kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk mereformasi sistem transportasi publik. Lembaga pemerhati transportasi ini menilai sebaran transportasi publik di Indonesia belum merata dan kinerja pelayanannya belum baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Penyediaan transportasi massal masih difokuskan pada 10 kota besar, di mana belum seluruhnya mengakomodasi layanan bus rapid transit. Kinerja layanan transportasi publik juga masih rendah karena belum memprioritaskan transportasi massal," kata Ketua Forum Pembiayaan Transportasi MTI, Revy Petragradia, dalam konferensi pers, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Senior Transport Policy and Development Associate Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, Etsa Amanda, tekanan untuk mengurangi biaya transportasi akibat kenaikan harga BBM sebaiknya tidak ditanggapi dengan menurunkan tarif parkir, mensubsidi tarif ojek dan taksi online, pelonggaran kebijakan ganjil-genap, atau pemberian insentif tambahan lainnya untuk penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
"Strategi pengurangan biaya transportasi perlu difokuskan pada penyediaan transportasi publik yang terjangkau dan dapat diandalkan. Dalam jangka pendek, paling tidak pemerintah tetap perlu menjaga status quo dari kebijakan push strategy ini." Selain itu, untuk mengurangi ketergantungan terhadap BBM di masa depan, pemerintah diharapkan mempercepat transisi ke sistem transportasi berbasis listrik atau energi baru dan terbarukan.
"Kemudahan dalam memperoleh kendaraan pribadi dengan BBM perlu dikurangi, bahkan seharusnya sudah dicanangkan pelarangan penjualan (kendaraan BBM) dalam 10-20 tahun mendatang," kata Clean Fuel Specialist dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Julius Christian.
Pengendara antre untuk mengisi BBM di SPBU MT Haryono, Jakarta, 1 September 2022. TEMPO/Tony Hartawan
37 Persen Konsumen BBM adalah Sepeda Motor
Julius mengungkapkan sekitar 37 persen konsumen BBM adalah pemilik sepeda motor. Tidak adanya transportasi publik di kota-kota besar akan mendorong orang mencari alternatif moda transportasi yang tidak efisien dari segi konsumsi BBM. "Peningkatan kepemilikan sepeda motor merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam membuat kebijakan yang tepat dan penyediaan transportasi umum. Bahkan bisa mengakibatkan makin tingginya konsumsi BBM," ujar Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB).
Karena itu, ITDP Indonesia, MTI, KPBB, dan IESR kompak merekomendasikan kepada pemerintah agar memanfaatkan momentum kenaikan harga BBM dengan membenahi transportasi publik serta penggunaan energi baru dan terbarukan. Caranya, antara lain, dengan merealokasikan subsidi BBM ke transportasi publik berbasis rel ataupun jalan di kota-kota besar, penyediaan layanan transportasi publik yang merata, peningkatan kualitas layanan transportasi publik, dan percepatan elektrifikasi transportasi serta pengembangan energi baru dan terbarukan.
Pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan solar pada 3 September lalu. Organisasi Angkutan Darat (Organda) di berbagai daerah meminta kenaikan tarif. Di Jakarta, Organda berencana menaikkan tarif transportasi publik yang tidak terintegrasi dengan sistem JakLingko. Di Solo, Batik Solo Trans mengharapkan penyesuaian kontrak buy the service dari Kementerian Perhubungan. Di Yogyakarta dan Bandung, Trans Jogja dan Trans Metro Bandung berencana mengurangi jumlah armada serta waktu operasional.
Lembaga-lembaga pemerhati transportasi dan energi itu juga berharap pemerintah mengurangi insentif untuk kendaraan pribadi berbahan bakar minyak serta menyetujui pelarangan penjualan kendaraan pribadi pada jangka panjang, demi mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan BBM.
ERLITA NOVITANIA AWALIANDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo