Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Derasnya inovasi dalam menciptakan sistem pembayaran yang semakin kompleks dan seamless membutuhkan mitigasi risiko yang lebih kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) perihal Digital Payment Infinity: The Future of Seamless Transaction yang diterima Tempo, Kamis, 1 Agustus 2021, BI menyoroti berbagai tantangan yang muncul seiring dengan digitalisasi sistem pembayaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tantangan ini mencakup kejahatan siber dan fraud, rendahnya literasi digital, perlindungan data pribadi dan etika digital, serta perlindungan konsumen.
1. Kejahatan Siber dan Fraud
Kejahatan siber dan penipuan atau fraud telah menjadi ancaman utama dalam era digitalisasi. Data dari IMF yang dikutip BI menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah kasus kejahatan siber di Indonesia. Pada 2020, tercatat 276 kasus kejahatan siber, yang kemudian meningkat menjadi 284 kasus pada 2024. Peningkatan ini sejalan dengan penggunaan internet di Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya. Kejahatan siber ini pun menimbulkan merugikan konsumen dan merusak kepercayaan pada sistem keuangan digital.
Kerugian akibat kejahatan siber dan fraud ini tercatat mencapai US$ 5,41 miliar. Dengan kurs rata-rata Rp 15 ribu per dolar AS, kerugian tersebut setara dengan sekitar Rp 81,15 triliun. Angka ini menunjukkan besarnya dampak finansial dari kejahatan siber yang harus dihadapi oleh Indonesia.
2. Rendahnya Literasi Digital
Rendahnya literasi digital juga menjadi tantangan besar dalam menghadapi era digitalisasi sistem pembayaran. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tahun 2022, indeks literasi digital Indonesia hanya berada pada angka 3,54 dari skala 5. Aspek keterampilan (skill) mendapat skor 3,52, etika (ethics) 3,68, keamanan (safety) 3,12, dan budaya (culture) 3,84. Rendahnya literasi digital ini menunjukkan banyak masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya memahami risiko dan manfaat dari teknologi digital sehingga meningkatkan kerentanan terhadap kejahatan siber.
Selanjutnya: 3. Perlindungan Data Pribadi dan Etika Digital....
3. Perlindungan Data Pribadi dan Etika Digital
Perlindungan data pribadi dan etika digital menjadi prioritas dalam mitigasi risiko siber. BI mencatat Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan kasus kebocoran data tertinggi di dunia.
Amerika Serikat tercatat sebagai negara dengan kasus kebocoran data tertinggi. Negara-negara besar seperti Rusia dan India menyusul masalah serupa. China dan Iran menunjukkan tren yang sama, di mana kebocoran data pribadi menjadi ancaman serius yang dapat mengganggu arus digitalisasi di berbagai sektor. Prancis, Inggris, dan Filipina juga tidak luput dari ancaman ini.
4. Penguatan Perlindungan Konsumen
Bank Indonesia menekankan pentingnya penguatan perlindungan konsumen untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pembayaran digital. Langkah-langkah yang dilakukan mencakup:
Massive, Technology-Based, Responsive, Consumer-Centric: Penguatan perlindungan konsumen dengan pendekatan yang masif, berbasis teknologi, responsif, dan berpusat pada konsumen. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif dan efisien bagi konsumen layanan digital.
Edukasi Perlindungan Konsumen: Bank Indonesia juga terus melanjutkan program edukasi dan literasi keuangan digital pada masyarakat. Data BI menunjukkan sekitar 70 persen atau sekitar 192 juta penduduk Indonesia yang berusia produktif membutuhkan edukasi perlindungan konsumen. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat agar dapat menggunakan layanan digital secara bijak dan aman.
Penguatan Sinergi dan Kolaborasi: Bank Indonesia berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk kementerian dan lembaga, otoritas, asosiasi, serta industri, untuk memperkuat sinergi dalam perlindungan konsumen. Kolaborasi ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dan terpercaya.