Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Centre For Strategic and International Studies (CSIS) Novia Xu menyebut dana Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk transisi energi Indonesia terlalu rendah. Dana hibah JETP hanya senilai US$ 160 juta atau sekitar 0,8 persen dari dana total yang dijanjikan sekitar US$ 20 miliar.
Padahal, Novia menuturkan, dana hibah penting untuk membiayai persiapan proyek transisi energi. Mulai dari studi kelayakan, pelatihan para pekerja, dan berbagai program mitigasi risiko transisi energi yang berkeadilan.
"Dana hibah yang terlalu rendah berpotensi memberikan beban pada APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara)," ujar Novia dalam diskusi Risiko dan Tantangan Implementasi JETP yang digelar di Auditoriom CSIS Jakarta, Kamis, 3 Agustus 2023.
Dalam paparannya, Novia mengatakan, proporsi dana hibah yang tidak mencapai 1 persen dari total pendanaan JETP terlalu kecil untuk dapat membantu pemerintah Indonesia menginisiasi dan mendorong program transisi energi dengan baik.
Di tengah kecilnya porsi dana hibah ini, ketersediaan pendanaan publik juga masih dipertanyakan. Novia mengatakan, hambatan utama dari penyediaan dana publik JETP adalah prioritas bantuan keuangan atau penyediaan dana konsensional di masing-masing negara maju yang terlibat JETP.
Selanjutnya: Selain dari melalui dana hibah....
Selain dari melalui dana hibah atau pendanaan publik, transisi energi di Indonesia sebenarnya bisa dibantu oleh pendanaan komersial. Hanya saja, menurut Novia, iklim investasi di Indonesia belum cukup kondusif. Padahal, untuk menarik investor, perlu iklim investasi sektor energi yang mendukung, khususnya pada ketenagalistrikan.
"Selama ini yang banyak dikeluhkan para investor adalah tarif atau harga energi terbarukan yang tidak kompetitif bagi perkembangan industri EBT, serta persyaratan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) yang dianggap terlalu memberatkan bagi pelaku industri," ujar Novia dalam paparannya.
Di samping itu, Novia melanjutkan, bank-bank internasional sering melihat Indonesia sebagai negara yang memiliki risiko tertentu untuk berinvestasi. Walhasil, mereka sering memerlukan penjaminan pemerintah sebelum menanamkan modal. Sementara itu, Menteri Keuangan telah menyatakan bahwa pemerintah tidak ingin membebani APBN terlalu besar dari kemitraan JETP.
"Akibatnya, meski JETP mampu memobolisasikan pendanaan baru, belum tentu akan disetujui jika pendanaan tersebut dalam bentuk pinjaman yang memerlukan jaminan pemerintah," ujar Novia.
Pilihan Editor: Kementerian ESDM Bakal Implementasikan Bioetanol E5, Dimulai di Surabaya dan Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini