Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -ExxonMobil memilih hengkang dari proyek pengembangan gas East Natuna karena dinilai tak sesuai keekonomian.
Baca: Komitmen ExxonMobil Percepat Eksplorasi Blok East Natuna
Vice President Public & Government Affairs ExxonMobil Indonesia, Erwin Maryoto mengatakan setelah menyelesaikan kajian yang dilakukan bersama konsorsium, perusahaan tak ingin melanjutkan kegiatan maupun pembahasan soal East Natuna.
Adapun, ExxonMobil bersama PTT EP Thailand dan PT Pertamina (Persero) sebagai pemimpin konsorsium melakukan kajian (technology and market review/TMR) sejak awal 2016. Kajian yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi teknologi juga aspek komersial sehingga proyek bisa dikembangkan sesuai dengan skala ekonomi.
Sayangnya, dari kajian yang diselesaikan pada Juni 2017 itu didapatkan bahwa proyek tidak layak investasi.
"Setelah menyelesaikan technology and market review dan mengkaji temuannya, ExxonMobil tidak lagi berkeinginan untuk meneruskan pembahasan atau kegiatan lebih lanjut terkait East Natuna," ujarnya saat dihubungi Bisnis, Selasa 18 Juli 2017.
Seperti diketahui, sebelumnya kedatangan Senior Vice President ExxonMobil Corporation Mark W. Albers dan Wakil Presiden Amerika Serikat Michael R Pence pada April 2017 ditutup tanpa adanya investasi baru dari perusahaan migas asal Amerika Serikat atau membawa kabar positif tentang proyek ini.
Padahal, pemerintah menginginkan agar pengembangan gas di perairan Natuna bisa segera terealisasi karena lokasinya yang terdepan dan potensi gasnya yang besar.
Sebelumnya, terdapat opsi untuk meneken kontrak kerja sama pada 2016. Namun, hal itu urung dilakukan karena kajian pasar dan teknologi atau TMR masih berjalan.
Adapun, opsi pengembangan terpisah antara minyak dan gasnya karena dikhawatirkan pengembangan struktur minyak akan mengganggu struktur gas. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Blok East Natuna menyimpan potensi sebesar 222 trilion cubic feet (Tcf) dengan hanya 46 Tcf gas di antaranya yang bisa diproduksi. Pasalnya, 72 persen komposisinya adalah karbondioksida. Dengan demikian, diperlukan teknologi pemisahan juga injeksi karbondioksida yang bisa memproduksi secara efisien.
Keputusan di East Natuna, kata Erwin, tak akan mempengaruhi pada kegiatan lainnya. Lebih lanjut, pihaknya masih berkomitmen melanjutkan investasi di Indonesia. Erwin pun menyebut ExxonMobil masih terbuka dengan peluang-peluang baru lainnya di Indonesia.
Berdasarkan data SKK Migas, saat ini, ExxonMobil melalui Mobil Cepu Limited menjadi operator di Blok Cepu. Produksi minyak Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu berkontribusi sebesar 25 persen dari produksi minyak nasional yakni 808.000 barel per hari (bph) dengan realisasi 199.800 bph pada akhir Juni 2017.
Baca: ExxonMobil Masih Pertimbangkan Skema Gross Split
"Kami tetap berkomitmen pada operasi ExxonMobil di Indonesia dan terus mencari dan mengkaji peluang baru di Indonesia," katanya.
BISNIS.COM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini