Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SABTU pekan lalu, ada demonstrasi kecilkecilan di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sekitar 30 poster diacung-acungkan oleh mahasiswa UGM. Kali ini bukan melabrak SDSB, tapi memprotes sepak terjang BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara "Mimbar Bebas" yang diselenggarakan Senat Mahasiswa FISIP UGM itu tampak berusaha menciptakan suasana dramatis. Terkesan ada keprihatian yang mendalam akan nasib petani cengkeh. BPPC dianggap gagal dan perlu dibubarkan saja. BPPC bahkan dianggap tak ubahnya VOC, perusahaan monopoli dagang di zaman penjajahan Belanda tiga abad silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Unjuk rasa mahasiswa itu tentu ada kaitannya dengan pernyataan Ketua BPPC Tommy Soeharto di depan DPR, 26 Februari silam. Tommy mengusulkan agar 40%w50% cengkeh hasil panen tahun ini dibakar, dan 30% kebun cengkeh dikonversi ke tanaman lain. Alasannya, stok cengkeh BPPC sudah menumpuk sampai 170.000 ton.
Aksi yang dilancarkan 250 mahasiswa di UGM itu sangat kontras dengan hasil seminar yang diselenggarakan secara "ilmiah" oleh Pusat Penelitian Universitas Sam Ratulangi di Manado, akhir Februari berselang. Seminar yang diikuti oleh berbagai pelaku bidang percengkehan ini (ada petani, KUD, instansi pemerintah yang terkait, BPPC, kepala cabang BRI Manado, dan pengusaha industri kretek) secara prinsip mendukung kedua usul Tommy tersebut.
Seminar itu bahkan menyatakan, BPPC harus jalan terus. Namun, hal ini tidak mencegah segelintir orang yang sempat mengusulkan agar BPPC dibubarkan saja. Mereka yang tekun mengikuti masalah cengkeh tentu mengetahui bahwa suara antiBPPC sudah tercetus sejak tahun lalu.
Pakar ekonomi seperti Dr. Anwar Nasution dan Dr. Sjahrir sejak dini telah meragukan kemampuan BPPC untuk menstabilkan harga cengkeh. Terakhir Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo angkat suara, menegaskan bahwa tidak mungkin bagi BPPC mengatur tingkat produksi sekaligus mengendalikan harga cengkeh.
Sidang kabinet terbatas bidang ekuin Rabu pekan lalu tentulah membahas hal yang sama. Namun, usai sidang yang berlangsung tiga jam itu, para menteri berusaha menghindar dari wartawan, tak terkecuali Menteri Perdagangan Arifin Siregar. "Semua masalah kita serahkan kepada Badan Cengkeh Nasional. Kita tunggu saja hasilnya," kata Arifin, datar dan singkat.
Masalahnya tidak menjadi lebih jelas, karena Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kumhal Djamil, yang juga menjabat ketua Badan Cengkeh Nasional, sampai berita ini diturunkan belum memberi tanggapan. Hanya Menteri Pertanian Wardoyo yang secara tegas menyatakan bahwa usul Ketua BPPC tidak bisa diterima begitu saja. Diingatkannya, masalah cengkeh harus ditangani secara hati-hati dan keputusan akhir berada di tangan Badan Cengkeh Nasional (BCN).
Menurut Wardoyo, Departemen Pertanian dan Biro Pusat Statistik sedang melakukan survei untuk mengetahui apakah memang telah terjadi stok cengkeh yang begitu besar (lihat Keputusan Ada Pada BCN). Data suplai cengkeh dari BPPC dan Departemen Pertanian memang sangat berbeda.
Dalam seminar di Manado, Dirjen Perkebunan Rachmat Soebiapradja menyodorkan data suplai cengkeh (19851991) sebesar 465.699 ton. Itu sudah termasuk impor sebanyak 17.899 ton pada tahun 1985-1987. Sementara itu, data kebutuhan pabrik rokok, yang diperoleh Departemen Pertanian dari Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), pada periode yang sama stok cengkeh berjumlah 436.651 ton.
Praktis, kelebihan suplai cengkeh mestinya cuma sekitar 29.000 ton. Entah bagaimana, stok BPPC dikatakan tak kurang dari 170.000 ton. Pengusaha Probosutedjo, yang pernah menangani tata niaga cengkeh lewat PT Mercu Buana, meragukan data BPPC. "Saya kira perlu ada pihak yang memeriksa apakah benar stok cengkeh sebanyak itu ada di BPPC," ujar Probo, sebagaimana dikutip harian Suara Karya edisi 4 Maret 1992. "Silakan mengecek. Stok 170.000 ton itu ada di gudang. Angka itu hasil audit Sucofindo, bukan dari kami," ujar Sekretaris Jenderal BPPC, Jance Worotitjan, kepada Iwan Qodar Himawan dari TEMPO.
Menurut Jance, semua kunci gudang BPPC dipegang PT Sucofindo (BUMN Departemen Perdagangan). Tampaknya, kebenaran dan kejelasan mengenai stok ini harus dituntaskan. Untuk itu, perlu ditunggu hasil Departemen Pertanian dan BPS. Tapi nasib petani cengkeh harus segera diperhatikan. Jika BPPC tak mampu lagi menampung cengkeh mereka, cepat atau lambat petani akan terjerumus dalam kondisi ekonomi yang rawan. Apalagi di hari-hari menjelang Idulfitri, yang jatuh 5 April mendatang.
Sementara itu, seperti dikatakan oleh Jance, BPPC sedang digerogoti kesulitan uang tunai (cashflow). Lalu, adakah jalan keluarnya? Menurut Jance, BPPC terpaksa meminta suntikan KLBI lagi sekitar Rp 600 milyar atau mencari dana dari luar negeri. Tapi langkah ini agaknya tidak akan memecahkan masalah.
Menurut pakar pemasaran Hernawan Kertajaya, kelemahan BPPC ada pada manajemennya. "Staffing, controlling, dan planningnya harus dibenahi secara menyeluruh," kata bekas manajer pemasaran HM Sampoerna yang kini menjabat ketua Asosiasi Manajemen di Surabaya ini. Selain itu, jiwa kewiraswastaan KUD-KUD perlu ditingkatkan. "Jangan hanya berproduksi tapi tak bisa menjual. Mereka harus dibina agar kuat dalam melakukan tawar-menawar lawan pedagang," tambah Hernawan.
Menteri Perdagangan Arifin Siregar kabarnya telah lima kali berusaha mempertemukan kubu BPPC dengan pabrik rokok, tapi gagal. Baru dalam seminar di Manado pihak pabrik kretek muncul. Di situ, salah satu gaya bisnis, yakni tawarmenawar, sudah dicoba oleh Ketua Gappri Soegiharto Prajogo. Dia mengusulkan, beberapa komponen harga cengkeh perlu dipangkas. Usul ini pernah dikemukakannya pada kesempatan lain, tapi tidak ditanggapi oleh BPPC.
Toh, dalam seminar di Manado, Soegiharto mengulangnya. Katanya, harga cengkeh dari petani tetap dipertahankan (Rp 7.000-Rp 8.500 sesuai dengan mutu). Namun, dana penyertaan KUD di BPPC serta imbal jasa KUD yang ditentukan Rp 1.500 agar dipotong 50% menjadi Rp 750. Begitu pula biaya operasional yang Rp 70 diturunkan menjadi Rp 20 per kg.
Sumbangan rehabilitasi cengkeh (SRC), yang Rp 500 mesti dihapus, karena cengkeh tak perlu dikembangkan lagi. BPPC boleh meminta imbal jasa Rp 500, tapi kutipan biaya kemasan Rp 50 perlu diturunkan menjadi Rp 10 per kg. Dengan demikian, harga pokok BPPC yang sekitar Rp 10.520 akan turun menjadi Rp 9.180 per kg.
Adapun biaya penyusutan yang 3% dianggap tidak perlu. Sedangkan asuransi, bunga bank, serta biaya transportasi belum dipermasalahkan. Sikap Gappri yang bersedia tawarmenawar ini mestinya disambut BPPC secara terbuka. Jika BPPC masih merasa perlu bersikap pongah, tak mustahil Gappri akan terus bertahan dengan kiat-kiat yang tak kurang akal. "Saya sangat yakin, tujuan utama mereka adalah cari untung," kata seorang pejabat yang berkomentar tentang BPPC.
Jika sinyalemen ini benar, maksud Pemerintah untuk menjadikan BPPC sebagai koperasi raksasa agaknya tak akan kesampaian. Max Wangkar, Iwan Qodar Himawan, Dwi S. Irawanto, Linda Djalil, dan Biro Surabaya
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo