Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara, memandang harga vaksin gotong royong yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 500 ribu per dosis atau Rp 1 juta per vaksinasi akan menimbulkan celah kepentingan. Dibandingkan dengan harga vaksin Sinovac untuk program vaksinasi gratis, harga tersebut dinilai terlampau mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Harga Sinovac saja Rp 245 ribu. Jadi vaksin gotong royong menimbulkan dua celah ketimpangan, yang pertama antara perusahaan yang memiliki kemampuan finansial dan usaha kecil,” ujar Bhima saat dihubungi pada Selasa, 11 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sektor usaha dengan kemampuan finansial rendah, kata dia, cenderung sulit menjangkau akses vaksin bagi para pekerjanya. Sektor usaha ini umumnya merupakan yang paling terdampak Covid-19, termasuk UMKM.
Ketimpangan juga terjadi untuk perusahaan yang bergerak di industri padat karya. Dengan jumlah karyawan besar, pengusaha akan kewalahan menyiapkan anggaran untuk semua pekerja. “Apa iya akan digratiskan?” ujar Bhima.
Walhasil, kondisi ini mengakibatkan munculnya opsi potong gaji karyawan untuk vaksinasi. Bhima mempertanyakan pengawasan pemerintah terhadap kemungkinan timbulnya potensi kebijakan ini di lingkungan industri.
“Pengawasannya bagaimana kalau sampai dipotong dari gaji atau tunjangan? Sejauh ini paling sulit mengawasi potongan gaji karyawan,” tuturnya.
Bhima melanjutkan, ketimpangan kedua ialah perihal akses vaksin perusahaan yang diduga akan cenderung memprioritaskan pihak manajemen, direksi, dan golongan staf senior. Sementara itu pekerja level bawah disinyalir belum tentu memperoleh jatah dalam waktu yang relatif cepat.
“Kalau satu kantor tidak divaksin semua kan percuma juga. Sedangkan kalau di vaksin semua karyawan akan jadi beban kas perusahaan,” ujar Bhima.
Bhima meminta pemerintah saat ini lebih dulu berfokus pada pelaksanaan vaksin gratis dan menunda vaksin gotong royong. Suplai vaksin yang ada, kata dia, lebih baik difokuskan untuk kelompok prioritas.
Jika akan menggelar vaksin gotong royong, Bhima mengusulkan pemerintah menunggu adanya pemberian paten gratis dari perusahaan vaksin. “Sekarang ada 100 negara yang menuntut WTO agar paten vaksin digratiskan khususnya bagi negara berkembang. Tujuannya agar bisa produksi vaksin sendiri dengan biaya murah,” katanya.