Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia kembali menjadi negara paling dermawan di dunia versi World Giving Index atau WGI 2023. Indonesia berada di peringkat pertama untuk keenam kalinya secara berturut-turut dengan skor 68, sama dengan skor yang diraih pada 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti filantropi dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) Hamid Abidin menyebut, laporan tersebut membuktikan bahwa kegiatan filantropi atau kedermawanan sosial di Indonesia masih diakui sebagai yang terbaik di dunia, meski kurang didukung regulasi pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tantangan terbesar justru datang dari regulasi yang seharusnya berperan memfasilitasi dan mendukung kemajuan sektor filantropi. Karena, skor ini terbukti berkontribusi dan berperan penting membantu pemerintah mengatasi berbagai masalah sosial," kata Hamid dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 10 November 2023.
Hamid menyebut, pascakasus kasus penyelewengan dana sosial lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT), pemerintah khususnya Kementerian Sosial memperketat perizinan dan pelaporan sumbangan melalui penerapan Peraturan Menteri Sosial atau Permensos No. 28/2021 mengenai Penyelenggaraan PUB (Pengumpulan Uang atau Barang). Sayangnya, Permensos ini disusun mengacu pada Undang-undang 9/1961 tentang PUB (Pengumpulan Uang atau Barang) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29/1980 tentang Penyelenggaraan Sumbangan yang sudah usang dan tak sejalan dengan perkembangan filantropi.
Menurutnya, kebijakan ini menghambat dan menyulitkan banyak lembaga filantropi untuk menggalang sumbangan masyarakat karena mereka dipaksa untuk patuh terhadap regulasi yang sudah usang dan tidak tidak bisa diterapkan. Kebijakan PUB ini juga berpotensi mengkriminalisasi pegiat lembaga filantropi, khususnya mereka yang terlibat dalam penanganan bencana.
"Selain itu, mekanisme perizinan dan pelaporan 3 bulan sekali yang diterapkan dalam regulasi tersebut juga menyulitkan mereka untuk mendukung program-program jangka Panjang pemerintah, termasuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGS," ucap Hamid.
Hamid menilai pemerintah dan DPR abai, kurang peduli, dan tidak mendukung perbaikan regulasi tersebut. Padahal, terungkapnya kasus ACT telah membuat Komisi 8 DPR RI maupun Kementerian Sosial berkomitmen dan berjanji untuk segera merevisi regulasi tersebut. Namun faktanya DPR tidak memasukkan revisi UU PUB dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Prioritas 2023-2024, sementara pemerintah juga tidak berinisiatif mengajukan revisi Undang-undang tersebut ke DPR.
Menurut Hamid, pemerintah dan DPR menerapkan standar ganda dalam memperlakukan filantropi. “Pada saat membutuhkan dukungan dan sumber daya, misalnya saat terjadi bencana atau krisis ekonomi, pemerintah mendekati pegiat filantropi dan mendorong mereka terlibat dan berkontribusi. Namun, di sisi lain, pemerintah menerapkan kebijakan yang restriktif yang justru menghambat perkembangan sektor filantropi dan menghalangi mereka untuk membantu pemerintah," ujar Hamid.
Hamid mendesak pemerintah untuk segera membenahi regulasi sektor filantropi, salah satunya dengan merevisi UU PUB dan peraturan turunannya yang mengatur tentang penggalangan sumbangan. Kalapun revisi Undang-undang tidak dimungkinkan dalam waktu dekat, pemerintah bisa merevisi Peraturan Pemerintah dan Permenkes yang menjadi turunannya. Hal itu merupakan solusi jangka pendek yang bisa ditempuh karena di PP dan Permensos itulah banyak diatur hal-hal teknis yang kurang sesuai dengan perkembangan zaman dan menghambat kemajuan sektor filantropi.
Sebagai informasi, World Giving Index atau WGI adalah laporan tahunan tentang kedermawanan di seluruh penjuru dunia yang diterbitkan oleh Charities Aid Foundation (CAF). Laporan ini disusun dengan menganalisis hasil survei lebih dari 2 juta responden di 142 negara di seluruh dunia yang dikumpulkan oleh Gallup sejak 2009. Analisis data untuk laporan WGI 2023 dilakukan berdasarkan jajak pendapat secara global yang melibatkan 147.186 responden untuk menggambarkan kondisi kedermawanan di berbagai penjuru dunia selama tahun 2022.