Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR empat belas tahun Purwacaraka berkhidmat membuka kursus musik. Tapi, selama rentang waktu itu, pertumbuhan Purwacaraka Music Studio tetap terasa lambat. Hingga 2002, kursus musiknya baru memiliki tiga cabang—dua milik pribadi di Bandung, satu cabang di Jakarta hasil kerja sama dengan sejawatnya.
Bahkan jauh sebelum memiliki cabang, pada 1994 kursus musik yang dikelolanya nyaris tutup. ”Sebab, tak pernah mendatangkan untung,” katanya, pekan lalu. Hanya kecintaannya terhadap musiklah yang membuat sekolah itu bertahan. Ia terpaksa menerapkan subsidi silang: pendapatan dari sumber lain, seperti hasil tampil di televisi, sebagian digunakan menambal biaya operasional Purwacaraka Music Studio.
Tapi, pada 2002, terjadi titik balik. Ketika itu PT Prima Waralaba, perusahaan yang bergerak di pemasaran waralaba, menawari Purwacaraka mewaralabakan kursus musiknya. ”Karena belum pernah, tidak ada salahnya mencoba,” kata Purwacaraka. Pembagiannya: Prima Waralaba mengurus manajemen dan pemasaran, Purwacaraka mengelola urusan musik.
Ternyata, keputusan abang kandung penyanyi Trie Utami ini jitu. Meski di tahun pertama sempat tersendat—peminatnya kurang dari sepuluh orang—pertumbuhan gerai Purwacaraka Music Studio tiap tahun melonjak. Selama empat tahun, jumlah waralabanya sudah meliputi 65 gerai, tersebar dari Medan hingga Makassar.
Jumlah itu, kata Koma Untoro, Direktur PT Prima Waralaba, akan bertambah dalam satu-dua bulan ke depan. ”Sudah ada lima memorandum of understanding (MOU) baru,” kata Koma. Calon gerai baru itu antara lain di Padang dan Manado.
Peminat waralaba Purwacaraka Music Studio memang tak sedikit. ”Lima puluh peminat antre sejak dua tahun lalu,” kata Koma. Namun, Purwacaraka dan Prima Waralaba terpaksa menunda pemberian waralaba karena sebagian besar peminat ingin membuka kursus musiknya di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Padahal, dari 65 kursus musik yang sudah ada, 40 tumplek di kawasan itu. Sedangkan Purwacaraka punya prinsip, pendirian satu gerai tak boleh mengganggu—apalagi membunuh—gerai yang lain. ”Kita harus ukur potensi pasar tiap area,” ujar alumni Teknik Industri ITB itu. ”Sebab, waralaba sekolah musik berbeda dengan bisnis makanan, yang lokasinya bisa saling berhadapan.”
Selain lokasi yang tidak boleh berdekatan, Purwacaraka juga menerapkan syarat lain. Misalnya, peminat waralaba harus menyediakan modal awal Rp 300 juta-400 juta. Dana itu, antara lain, untuk membayar biaya waralaba berdasarkan potensi lokasi yang diajukan, sekitar Rp 50 juta-100 juta dengan masa kontrak lima tahun, serta pembelian peralatan musik Rp 70 juta.
Demi menjaga kualitas, pembelian alat-alat musik dilakukan sendiri oleh Purwacaraka. Standar akustik ruang kelas juga di bawah pengawasannya. Jumlah kelas yang disyaratkan minimal delapan, dengan target 300 murid. Kursusnya meliputi kelas vokal, piano klasik, piano pop, drum, keyboard, gitar klasik, gitar elektrik, biola, dan bas.
Sebagai imbalan, penerima waralaba akan memperoleh kurikulum pendidikan yang disusun oleh Purwacaraka. Bahkan ada ujian kenaikan tingkat yang langsung ditanganinya. ”Seperti keyboard, piano pop, dan biola,” ujarnya.
Perekrutan dan penyeleksian guru juga dilakukannya sendiri. Tak mengherankan bila hampir setiap pekan, Purwacaraka mengaudisi 10-15 calon guru. Tiap bulan, setiap guru yang terpilih akan menerima honor 40 persen dari pendapatan kelas yang ditanganinya.
Dengan konsep waralaba ini, Purwacaraka menerima royalti 10 persen dari pendapatan bulanan tiap gerai. Purwacaraka enggan mengungkapkan jumlah. Tapi, dengan asumsi biaya kursus tiap murid rata-rata Rp 200 ribu per bulan, Purwacaraka paling sedikit memperoleh Rp 390 juta per bulan. Bahkan bisa lebih, karena jumlah murid di beberapa gerai ada yang mencapai 600-700 murid. Belum termasuk pendapatan dari sekolah musik nonwaralaba—milik pribadi dan model kerja sama.
Namun, Purwacaraka mengingatkan, tidak seluruh royalti dan biaya waralaba masuk ke kantongnya. Tentu ada pembagian dengan Prima Waralaba. Lagi pula, ”Bisnis ini bukan bisnis yang bombastis,” katanya. ”Hasilnya sedang-sedang saja, kalah dengan waralaba makanan.”
Yandhrie Arvian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo