Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua pekan terakhir Muhammad Ikhsan, produsen rokok kretek rumahan di kawasan Malang, Jawa Timur, resah gelisah. Harga cengkih, satu di antara bahan baku utama usahanya, perlahan merambat naik.
Pada awal tahun, harga per kilogram di tingkat pedagang masih Rp 30 ribu-40 ribu. Pekan lalu sudah Rp 56 ribu. ”Kecenderungannya akan terus naik,” kata Ikhsan kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Puyeng saya, Mas,” Abdul Hamid, pengusaha rokok rumahan lainnya, menimpali.
Itulah kini yang dirasakan para pengusaha pabrikan rokok kecil—dengan produksi di bawah 6 juta batang per tahun. Ini bermula dari anjloknya hasil panen cengkih tahun lalu secara merata di beberapa daerah sentra cengkih, seperti Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Manado, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Tengah, Ambon, dan Sumatera Barat.
Dari total 431,1 ribu hektare lahan di Indonesia, menurut catatan Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, hasil panen hanya 28,4 ribu ton, seperempat hasil tahun 2005, atau rekor terendah dalam 26 tahun terakhir. ”Dalam beberapa tahun ke depan, hasil panen tak akan beda jauh,” kata Sujaya Permana, Kepala Sub-Direktorat Tanaman Rempah Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian.
Dampaknya baru terasa dalam dua pekan terakhir. Tak hanya di Malang, di daerah lain pun harga cengkih menari-nari. Di Sumatera Barat, misalnya, pekan lalu harga cengkih sempat menyentuh Rp 80 ribu per kilogram—tertinggi dalam empat tahun terakhir—dari harga normal Rp 40 ribu. ”Kenaikan harga ini akan terus merembet ke daerah lain,” kata Rizki Muis, Direktur Budidaya Tanaman Rempah dan Penyegar Departemen Pertanian.
Sujaya menengarai, selain faktor cuaca, anjloknya panen tahun lalu juga akibat keengganan petani merawat tanaman. ”Mereka kekurangan vitamin,” katanya. Adapun ”kekurangan vitamin” yang dimaksud Sujaya adalah harga jual cengkih yang rendah di tingkat petani, cuma Rp 30 ribu.
Untuk menghasilkan satu kilogram cengkih kering, kata Sujaya, butuh biaya perawatan hingga Rp 25 ribu, meliputi pembelian pupuk, pestisida, dan pengairan. Dengan harga jual Rp 30 ribu di tingkat petani, keuntungan hanya Rp 5.000. Jumlah ini tak mencukupi untuk menambal biaya tenaga. ”Yang untung pedagang itu,” kata Soetardjo, Ketua Asosiasi Petani Cengkih Indonesia.
Di tingkat tengkulak, dalam kondisi normal harganya Rp 40 ribu. Tapi saat ini harga itu melonjak karena petani sudah tak punya stok cengkih. ”Yang punya stok itu pedagang,” kata Soetardjo. Menurut dia, petani akan kembali bergairah jika harga di tingkat mereka ditetapkan minimal Rp 37.500 hingga Rp 45 ribu.
Kebutuhan cengkih dari tahun ke tahun terus saja meningkat. Permintaan pabrikan rokok kretek saja, yang pada 2003 masih 77,85 ribu ton, tahun lalu sudah mencapai 94,05 ribu ton. ”Pada 2009 diperkirakan kebutuhannya mencapai 120 ribu ton,” kata Sujaya.
Sebaliknya, hasil panen cenderung menurun. Pada 2003, dari total 442,33 ribu hektare lahan di Indonesia, bisa dipanen 117,68 ribu ton cengkih kering. Tahun berikutnya, hasil panen itu susut menjadi 111,4 ribu ton dari 429,9 ribu hektare lahan, dan hanya naik sedikit pada 2005 menjadi 113,6 ribu ton dari 431,1 ribu hektare lahan.
Untuk saat sekarang, memang baru pabrikan rokok seperti Ikhsan dan Abdul Hamid yang terimbas langsung menipisnya persediaan cengkih. Pabrikan besar masih tenang. ”Kami masih memiliki stok 160 ribu ton, cukup untuk satu-dua tahun ke depan,” kata Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia.
Tapi, menyusutnya hasil panen cengkih tak urung mengkhawatirkan pengusaha kelas atas juga. ”Saya takut terjadi under supply,” kata Angky Camaro, Managing Director PT HM Sampoerna, satu di antara produsen rokok kretek terbesar di negeri ini. Karena itu, pemerintah mulai berancang-ancang. ”Menjelang akhir bulan ini kami akan bertemu dengan Departemen Perindustrian untuk membahas kekurangan pasokan cengkih ini,” kata Rizki Muis.
Danto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo