Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Koperasi di Era Jokowi Berguguran

Koperasi aktif berguguran pada era pemerintahan Jokowi. Banyak koperasi bermasalah ditengarai akibat aturan yang lemah.

16 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pada 2014, jumlah koperasi mencapai 209.488 unit. Sedangkan pada 2023, angkanya turun 79.328 menjadi Rp 130.119 unit.

  • Sepanjang 2014-2019, Kementerian Koperasi dan UKM membubarkan 82 ribu koperasi bermasalah sebagai upaya membenahi dan mereformasi kualitas koperasi.

  • Perkembangan koperasi di Indonesia berbanding terbalik dengan kondisi di dunia, yang koperasinya didominasi sektor riil.

KEMENTERIAN Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mengungkapkan bahwa jumlah koperasi mengalami penurunan dalam 10 tahun terakhir. Deputi Bidang Perkoperasian Ahmad Zabadi menuturkan, pada 2014, jumlah koperasi mencapai 209.488 unit. Sedangkan pada 2023, angkanya turun 79.328 menjadi Rp 130.119 unit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun data koperasi pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan akumulasi koperasi aktif dan tidak aktif. Per 2014, jumlah koperasi aktif tercatat sebanyak 147.249 unit. Angka ini pun masih lebih tinggi dari jumlah koperasi aktif per 2023. Padahal permodalan koperasi meningkat dari Rp 200,66 triliun menjadi Rp 254,17 triliun. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad menjelaskan, penurunan jumlah koperasi disebabkan oleh pembubaran koperasi yang bermasalah. Sepanjang 2014-2019, Kementerian Koperasi dan UKM membubarkan 82 ribu koperasi bermasalah sebagai upaya membenahi dan mereformasi kualitas koperasi.

"Banyak koperasi yang tercatat sebagai badan hukum, tapi tidak aktif. Setelah diverifikasi, baru diketahui bahwa koperasi-koperasi tersebut tidak lagi beroperasi," tutur Ahmad dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 10 Oktober 2024. Koperasi-koperasi yang dianggap sudah tidak aktif itu diproses untuk dihapus dan dibubarkan secara kelembagaan.

Di antara ribuan koperasi itu, Ahmad menyebutkan, ada delapan koperasi bermasalah yang gagal bayar hingga Rp 26 triliun. Delapan koperasi itu adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya, Koperasi Jasa Berkah Wahana Sentosa, KSP Sejahtera Bersama, KSP Pracico Inti Utama, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSP Intidana, KSP Timur Pratama Indonesia, dan KSP Lima Garuda.

Hingga saat ini, baru Rp 3,4 triliun yang dibayarkan kepada anggota koperasi tersebut. Penanganannya dilakukan Satuan Tugas Koperasi Bermasalah yang dibentuk pada 11 Januari 2022. Kementerian Koperasi juga bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut dugaan pencucian uang koperasi senilai Rp 500 triliun oleh 12 koperasi. 

Untuk menghindari terjadinya masalah serupa di masa mendatang, Kementerian Koperasi membentuk tim baru guna mendampingi dan memantau pembayaran ganti rugi kepada anggota koperasi yang bermasalah. Tim ini dibentuk setelah Satgas Koperasi Bermasalah selesai melaksanakan tugasnya.

Ahmad menyatakan Kementerian Koperasi akan tetap berfokus pada pembenahan koperasi. Selain berusaha mendorong kenaikan jumlah koperasi, Kementerian berupaya membenahi kualitas koperasi, khususnya di sektor riil. Sebab, koperasi sektor riil memiliki koefisien tumbuh tinggi dan potensi nilai tambah yang besar dibanding koperasi simpan-pinjam.

Jumlah Koperasi di Era SBY dan Jokowi

Terlebih, jumlah koperasi sektor riil, seperti pertanian dan perikanan, masih di bawah 30 persen. Sedangkan jumlah koperasi di Indonesia yang bergerak di sektor keuangan, termasuk usaha simpan-pinjam, lebih dari 70 persen. Ahmad menilai perkembangan koperasi di Indonesia berbanding terbalik dengan kondisi di dunia, yang koperasinya didominasi sektor riil.

Pengamat koperasi dari Universitas Pasundan, Bandung, Jawa Barat, Rully Indrawan, menilai penurunan jumlah koperasi pada era Joko Widodo dapat disebabkan oleh dampak jangka panjang pandemi Covid-19. Pandemi dan krisis ekonomi yang menyusul mengakibatkan banyak koperasi kesulitan beroperasi, bahkan terpaksa tutup, karena penurunan daya beli masyarakat, pembatasan kegiatan, serta faktor ekonomi lain.

Jumlah Koperasi di Era SBY dan Jokowi

Maraknya koperasi yang tidak berbadan hukum hingga dibubarkan pemerintahan Jokowi, menurut Rully, disebabkan oleh dua hal. Pertama, kemudahan perizinan sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Cipta Kerja belum berjalan. Akibatnya, sebagian koperasi memilih beroperasi tanpa badan hukum yang sah.

Kedua, Rully berpendapat bahwa pengawasan terhadap koperasi ilegal belum efektif. "Kondisi itu membuat koperasi ilegal bisa beroperasi tanpa ada sanksi atau tindakan tegas dari pihak berwenang sehingga jumlah koperasi yang tidak berbadan hukum makin banyak," ujarnya kepada Tempo, Selasa, 15 Oktober 2024.

Jumlah Koperasi di Era SBY dan Jokowi

Mantan Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM itu berharap pemerintah tidak hanya memperbaiki tata kelola koperasi, tapi juga meningkatkan literasi berkoperasi, membina koperasi nasional, meningkatkan aksesibilitas ke koperasi dunia, serta menyegarkan regulasi dan kebijakan.

Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy, mengimbuhkan, penurunan jumlah koperasi disebabkan oleh keterbatasan sumber daya dan dukungan yang diterima koperasi. "Perubahan preferensi masyarakat terhadap bentuk usaha atau lembaga keuangan lain juga memainkan peran penting dalam penurunan ini," tuturnya.

Menurut Yusuf, dampak penurunan jumlah koperasi pun cukup signifikan, seperti berkurangnya akses masyarakat terhadap layanan keuangan dan ekonomi. Pasalnya, penurunan jumlah koperasi dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi lokal dan mengurangi kohesi sosial.

Ia menjelaskan, koperasi sering kali berfungsi sebagai sumber daya sosial dan ekonomi bagi komunitas. Karena itu, penurunan jumlah koperasi dapat mengakibatkan hilangnya dukungan komunitas dan sumber daya sosial yang vital. Hal ini juga dapat mengurangi peluang usaha dan sumber daya bagi anggota koperasi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi anggota koperasi.

Di sisi lain, ekonom Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, menilai koperasi sulit bersaing sehingga jumlahnya berguguran. Ia berujar, mayoritas koperasi di Indonesia bergerak di bidang pembiayaan. Dengan adanya lembaga keuangan mikro, pinjaman daring (fintech peer-to-peer lending), dan lembaga pembiayaan lain, menurut dia, koperasi keuangan sulit memenangi persaingan.

Menurut Nailul, pembinaan koperasi juga masih jalan di tempat. Ia mengatakan banyak koperasi tidak aktif dan menjadi ladang pencairan bantuan pemerintah melalui dana Lembaga Pengelola Dana Bergulir. "Yang terjadi, ketika sudah menerima dana, ya, mereka hilang begitu saja. Ini masalah klasik yang tak juga terselesaikan," ucapnya. 

Nailul menekankan, jika pemerintah tidak segera membenahi masalah ini, peran koperasi akan makin terpinggirkan oleh badan usaha milik negara ataupun swasta. Apabila jumlah koperasi terus menurun, ekonomi Indonesia akan makin kehilangan identitasnya sebagai ekonomi gotong-royong.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus