Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Petani mengeluhkan sulitnya persyaratan program peremajaan sawit rakyat.
Dana PSR dianggap tidak cukup untuk perawatan.
Pemerintah akan membentuk satgas untuk mempercepat PSR.
JAKARTA – Target peremajaan sawit rakyat (PSR) sebesar 180 ribu hektare per tahun belum pernah tercapai. Sejak 2017 hingga 2022, total realisasi peremajaan perkebunan sawit rakyat bahkan hanya 278 ribu hektare. Padahal Kementerian Pertanian memperkirakan ada 2,8 juta hektare dari total sekitar 6,9 juta hektare kebun sawit milik rakyat yang berpotensi diremajakan karena tanamannya sudah relatif tua atau di atas 25 tahun dan produktivitasnya rendah.Â
Data olahan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menunjukkan grafik realisasi peremajaan sawit terus turun sejak mencapai puncaknya pada 2020. Kala itu, realisasi peremajaan sawit rakyat mencapai 91,4 ribu hektare. Setahun kemudian, realisasinya anjlok menjadi 27,7 ribu hektare dan menjadi 17,8 ribu hektare pada 2022.Â
"Jadi, pada tahun lalu hanya 9,2 persen dari target, terendah sepanjang sejarah," ujar Ketua Umum Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung, kepada Tempo, kemarin, 27 Februari 2023. Apabila ditinjau per wilayah, ia bahkan melihat provinsi dengan luas perkebunan kelapa sawit besar, seperti Riau, realisasi peremajaan sawit rakyatnya nol persen.
Tanaman-tanaman sawit yang sudah tua itu mempengaruhi produktivitas perkebunan rakyat. Saat ini rata-rata produksi perkebunan yang tanamannya sudah tua diperkirakan sebanyak 800 kilogram per hektare dengan rendemen sekitar 18 persen. Apabila telah diganti dengan tanaman baru, produktivitas diharapkan bisa meningkat menjadi 3,5 ton per hektare dengan rendemen rata-rata 28 persen—pada usia tanaman lima tahun.Â
"Jauh banget kan produktivitasnya," kata Gulat. Ia mengatakan rendahnya produktivitas tanaman sawit existing juga disebabkan oleh bibit yang kurang berkualitas dan jarak tanam yang tidak terencana dengan baik. Meski demikian, untuk melakukan peremajaan pun, petani mengalami berbagai kendala.
Kendala tersebut antara lain persyaratan bahwa lahan perkebunan harus dianggap bersih alias tidak berada di kawasan hutan serta tidak tumpang-tindih dengan hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha. Ia mengatakan pengurusan surat untuk menyatakan lahan tersebut sesuai dengan ketentuan membutuhkan proses dan waktu yang panjang.Â
"Badan Pertanahan Nasional (BPN) bahkan menerbitkan surat edaran yang menegaskan bahwa rekomendasi bisa PSR jika sudah memutakhirkan data melalui online dan mengukur ulang lahan yang diusulkan," ujar Gulat. Tak pelak, proses itu membutuhkan biaya dan waktu yang banyak bagi para petani.Â
Dalam prosesnya pun, kata Gulat, tak sedikit petani akhirnya undur diri karena melihat seringnya peserta PSR dipanggil aparat penegak hukum. Padahal semestinya peserta PSR sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan dan Sucofindo, serta hasil auditnya sudah sesuai dengan ketentuan. Ia mengatakan, tanpa adanya terobosan, target peremajaan kelapa sawit rakyat yang dicanangkan pemerintah sulit tercapai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo