Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu debitor pinjaman online warga Surabaya bernama Melia, yang turut melapor ke Polda Jatim pada Ahad lalu mengaku berutang kepada lebih dari 30 perusahaan aplikasi fintech.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Awalnya, kata Melia, ia hanya berutang ke satu aplikator dengan nilai pinjaman Rp 1,5 juta. "Karena terus ditagih, saya mendaftar ke aplikator lain untuk menutup utang yang terdahulu," ujarnya, Ahad, 25 Agustus 2019. "Begitu seterusnya sampai sekarang saya punya utang di 37 aplikator pinjol. Total utang saya sekarang mencapai Rp 30-an juta."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Melia juga mengeluhkan teror yang disebar oleh penagih utang melalui pesan pendek kepada telepon seluler teman-temannya karena belum membayar utang. Intimidasi dari para debt collector itu membuat Melia tak tahan harus menanggung malu dan akhirnya memutuskan keluar dari tempat kerjanya.
"Teror dari penagih utang sangat mengintimidasi. Teman-teman sekantor ikut diintimidasi oleh para penagih. Semua orang sekarang tahu kalau saya punya banyak utang," ucap mantan karyawati di sebuah perusahaan swasta di Kota Surabaya ini.
Advokat Tony Suryo yang ikut mendampingi 25 orang yang terjerat utang melalui pinjaman online ke Polda Jawa Timur kemarin menyebutkan, dari sejumlah kasus yang ada, para debitor diketahui tak hanya terbelit oleh tingginya bunga pinjaman. Sebab, dalam realisasinya, jumlah pinjaman yang dikucurkan bisa jauh di bawah yang diajukan oleh debitor, namun total nilai pinjaman yang harus dikembalikan sangat tinggi.
Aplikasi pinjaman online, kata Tony, memang memberi kemudahan pemberian utang karena salah satunya tanpa disertai syarat jaminan atau agunan. Promosi ini juga gencar disebar melalui media sosial seperti Facebook, Instagram, dan lain sebagainya.
Tapi bunga yang dikenakan cukup besar dan jatuh temponya pendek. Tony mencontohkan, dari utang yang diajukan debitor Rp 1,5 juta, bisa jadi cairnya hanya sebesar Rp 800 ribu. "Dan harus dilunasi selama seminggu senilai total Rp1,8 juta," katanya.
Tony menjelaskan tak ada masalah hukum dalam proses pemberian pinjaman itu. Masalah baru muncul ketika peminjam tidak bisa membayar sesuai jatuh tempo. Perusahaan dari aplikasi pinjaman online itu mengerahkan penagih utang. "Dengan cara meneror dengan kata-kata tidak senonoh melalui pesan pendek di telepon seluler maupun media sosial."
Penagih utang ini tidak hanya meneror ke nomor telepon seluler peminjam yang terlilit utang, melainkan juga ditujukan kepada nomor telepon seluler para kerabatnya. Lebih parah lagi, para penagih utang bisa melihat data-data yang tersimpan di dalam telepon seluler para debitor atau nasabahnya.
"Mereka bisa melihat nomor telepon mana saja milik para kerabat debitur bermasalah yang sering dihubungi dan kemudian menghubunginya satu persatu dengan menebar kata-kata tidak senonoh yang menjelekkan," kata Tony.
Sebelumnya, Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tongam L. Tobing, mengatakan perlu ada undang-undang yang mengatur mengenai layanan fintech khususnya pinjaman online.
"Kita membutuhkan Undang-Undang Fintech yang ada. Karena kalau kita liat fintech ilegal tidak ada undang-undang yang mengatakan tindak pidana," kata Tobing di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, pada Jumat, 2 Agustus 2019.
Tobing mengatakan, kehadiran fintech sendiri memang merupakan inovasi keuangan baru yang saat ini terus berkembang pesat. Kendati demikian, fintech juga menimbulkan keresahan bagi masyarakat akibat timbulnya kejahatan jenis baru yang menggunakan fintech.
Alhasil, Tobing memandang perlu adanya undang-undang yang mengatur mengenai fintech. Di mana, ada pasal yang mengatur perihal kegiatan fintech jika tidak berizin dan terdaftar di OJK, akan masuk dalam tindak pidana.
ANTARA